Minggu, 17 Januari 2016

SUJIONO, SH., MH

SUJIONO, SH., MH

Kedudukan Barang Bukti dalam Sistem Pembuktian



Kedudukan Barang Bukti dalam Sistem Pembuktian

Dalam sub bab ini penulis akan membahas mengenai kedudukan barang bukti dalam sistem pembuktian menurut KUHAP.  Terkait erat dengan masalah ini adalah mengenai kedudukan dari barang bukti dalam suatu putusan  pengadilan pidana.
Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, KUHAP tidak memberikan definisi tentang apakah yang dimaksudkan dengan istilah “barang bukti”, tetapi dalam Pasal 1 KUHAP tidak diberikan definisi tentang istilah tersebut.
Tulisan-tulisan mengenai hukum pidana, istilah “barang bukti” ini sering juga disebut dalam bahasa asing, yaitu Bahasa Latin: corpus delicti.  Dalam suatu kamus elektronik, corpus delicti dijelaskan sebagai “facts of crime: the body of facts that show that a crime has been committed, including physical evidence such as a corpse”[1] (fakta-fakta kejahatan: keseluruhan fakta yang menunjukkan bahwa suatu kejahatan telah dilakukan, yang mencakup bukti fisik seperti sesosok mayat).
Dalam kamus yang lain, terlebih dahulu diberikan definisi tentang istilah corpus, yaitu1. A human or animal body. 2. A collection of writings, generally on one subject or by one author. 3. The main part or mass of anything[2] (1. Tubuh manusia atau hewan. 2. Suatu himpunan tuoisan, umumnya atas satu pokok atau oleh seorang penulis).  Kemudian terhadap istilah corpus delicti diberikan penjelasan the essential fact of the commission of a crime, as, in a case murder, the finding of the body of the victim[3] (fakta penting tentang dilakukannya suatu kejahatan, misalnya dalam kasus pembunuhan ditemukannya tubuh korban).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa corpus delicti merupakan fakta (fact) tentang dilakukannya kejahatan, di mana fakta ini berupa bukti fisik (physical evidence).  Dalam Bahasa Indonesia, digunakannya istilah barang bukti sudah langsung menunjukkan bahwa hal itu berupa suatu barang atau benda.
Beberapa contoh barang bukti dalam perkara pidana, yaitu:
1.      Barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, misalnya senjata api atau senjata tajam yang digunakan untuk membunuh atau melukai korban.
2.      Barang yang merupakan hasil suatu tindak pidana, misalnya surat palsu.
3.      Benda yang menjadi obyek dalam tindak pidana, misalnya narkotika dan psikotropika yang menjadi obyek dalam jual beli narkotika/prikotropika;
Dengan demikian, barang bukti merupakan bukti yang terkait amat erat berkenaan dengan bersalahnya seorang terdakwa.  Senjata api atau senjata tajam yang digunakan untuk membunuh atau melukai korban, merupakan bukti kesalahan terdakwa telah membunuh atau melukai korban dengan senjata api atau senjata tajam tersebut.  Narkotika/prikotropika yang menjadi obyek dalam suatu jual beli narkotika/psikotropika, merupakan bukti tentang bersalahnya terdakwa melakukan tindak pidana narkotika. 
Pasal-pasal KUHAP yang di dalamnya terdapat istilah “barang bukti”, yaitu:
1.      Pasal 5 ayat (1) huruf a butir 2: Salah satu wewenang Penyelidik adalah mencari barang bukti;
2.      Pasal 8 ayat (3) huruf b: Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum;
3.      Pasal 18 ayat (2): Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik peinbantu yang terdekat;
4.      Pasal 21 ayat (1): Salah satu alasan perlunya penahanan adalah dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran  bahwa tersangka atau terdakwa akan merusak atau menghilangkan barang bukti;
5.      Pasal 181 ayat (1): Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadaƱya apakah Ia mengenal benda itu; yang dilanjutkan dengan Pasal 181 ayat (1):  Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi;
6.      Pasal 194 ayat (1): Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi;
7.      Pasal 203 ayat (2): Dalam Acara Pemeriksaan Singkat, penuntut umum menghadapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa dan barang bukti yang diperlukan;
Tetapi, walaupun istilah barang bukti disebutkan dalam sejumlah pasal KUHAP, dan dalam putusan pengadilan harus selalu ditetapkan dengan tegas tentang apa yang akan dilakukan terhadap barang bukti, namun dalam pasal-pasal KUHAP tidak ada yang menegaskan tentang kedudukan dari suatu barang bukti.
Berbeda halnya dengan alat bukti, yang secara tegas disebutkan dalam pasal tentang sistem pembuktian, yaitu Pasal 183 KUHAP, di mana ditentukan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Alat-alat bukti yang sah, oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP, hanya dibatasi pada:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa. 
Dari sudut tidak adanya ketentuan dalam  pasal-pasal KUHAP tentang kedudukan suatu barang bukti, dapat muncul kesan bahwa pembentuk KUHAP memandang barang bukti sebagai suatu tambahan semata-mata terhadap alat-alat bukti yang sah.  Dengan kata lain, barang bukti  itu sendiri bukan merupakan suatu alat bukti, melainkan merupakan bukti tambahan belaka terhadap alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, yaitu sebagai bukti tambahan terhadap alat bukti keterangan saksi,  keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. 
Sebenarnya, jika kita mempelajari keseluruhan pasal-pasal KUHAP, barang bukti memiliki kedudukan penting dalam suatu putusan pengadilan.  Mengenai putusan pemidanaan, dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa surat putusan pemidanaan memuat:
a.   kepala putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b.   nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c.   dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d.   pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa,
e.   tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f.    pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g.   hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h.   pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i.    ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j.    keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k.   perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l.    hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;
Selanjutnya dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP tercantum pada huruf d bahwa sebagai salah satu hal yang harus dimuat dalam putusan pemidanaan adalah pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. 
Menurut ketentuan dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP, pokok ini merupakan salah satu pokok yang akan mengakibatkan putusan batal demi hukum jika tidak dimuat dalam putusan pemidanaan yang bersangkutan.
Istilah yang digunakan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP tersebut adalah istilah “alat pembuktian”.  Dalam pasal ini tidak hanya disebut tentang “alat bukti” saja, melainkan “alat pembuktian”. 
Pasal lainnya di mana juga ada digunakan istilah “alat pembuktian”, yaitu Pasal 82 ayat (3) huruf d KUHAP yang mengatur mengenai Praperadilan. Pada Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP tersebut ditentukan bahwa, dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.
Dari rumusan Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP ini jelas bahwa selain benda yang disita tetapi yang tidak termasuk alat pembuktian, ada juga benda yang disita yang termasuk alat pembuktian. 
Jadi, dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan istilah alat pembuktian mencakup juga benda yang disita.  Sekalipun dalam pasal ini yang digunakan adalah istilah “benda yang disita”, bukan istilah “barang bukti”, tetapi jelas bahwa yang dimaksudkan dengan “benda yang disita” itu adalah apa yang dalam hukum acara pidana dinamakan “barang bukti”.
Konsekuensinya, pengertian “alat pembuktian” dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, juga mencakup semua yang dapat dijadikan bukti, yaitu meliputi baik alat bukti maupun barang bukti.
Dengan demikian, digunakannya istilah alat pembuktian dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, yang mencakup alat bukti dan barang bukti, menunjukkan barang bukti memiliki kedudukan penting dalam sistem pembuktian.  Walaupun demikian, tidak disebutkannya istilah barang bukti dalam Pasal 183 KUHAP tentang sistem pembuktian dan tidak adanya ketentuan dalam KUHAP untuk perlakuan khusus terhadap barang bukti, menimbulkan kesan bahwa barang bukti hanya sekedar bukti tambahan terhadap alat bukti.
Berbeda halnya dengan prosedur pemeriksaan di depan pengadilan di negara-negara dengan sistem Common Law, yang dikenal juga dengan istilah sistem Anglo-Saxon, seperti Amerika Serikat.
Konsep mereka tentang corpus delicti sebagai fakta, yaitu fakta telah dilakukannya suatu kejahatan, membawa konsekuensi bahwa fakta itu harus diperiksa terlebih dahulu sebelum pemeriksaan berkenaan dengan soal siapa pelaku kejahatan.
Dalam kasus pembunuhan (murder), maka di depan pengadilan harus dipastikan terlebih tentang adanya mayat dan apa (benda) yang digunakan melakukan pembunuhan.  Mayat atau sisa mayat tidak perlu dibawa ke depan pengadilan tetapi ada suatu keterangan seperti visum et repertum.  Untuk alat yang digunakan untuk membunuh, misalnya pistol dan peluru, maka pistol dan peluru harus di bawa ke depan pengadilan sebagai corpus delicti dan didengar keterangan ahli balistik.
Jika pembunuhan dilakukan dengan menggunakan suatu parang, maka petugas polisi yang pertama kali menemukan parang itu perlu didengar terlebih dahulu, bagaimana caranya ia menemukan alat (parang) itu dan bagaimana kondisi alat (parang) itu waktu ditemukan.
Pemeriksaan terhadap corpus delicti dilakukan terlebih dahulu sebelum mendengar keterangan saksi (witness).  Hal ini karena fakta tentang benar-benar telah terjadi suatu kejahatan harus dipastikan terlebih dahulu baru dapat melangkah pada pembuktian mengenai siapa pelakunya.
Mengenai barang bukti dalam hubungannya dengan apa yang perlu dimuat dalam suatu putusan pengadilan, pada Pasal 194 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa,
Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.

Dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP ini dengan jelas dan tegas ditentukan bahwa jika dalam suatu perkara pidana terdapat barang bukti, maka dalam putusan, baik putusan pemidanaan, bebas maupun lepas dari segala tuntutan hukum, harus ditetapkan tentang apa yang harus dilakukan terhadap barang bukti tersebut. 
Kemungkinan-kemungkinan yang disebut dalam pasal ini adalah sebagai berikut:
1.    Diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebu; kecuali,
2.    Jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
Tetapi, walaupun istilah barang bukti disebutkan dalam sejumlah pasal, dan juga dalam putusan pengadilan harus selaslu ditetapkan dengan tegas tentang apa yang akan dilakukan terhadap barang bukti, namun dalam pasal-pasal KUHAP tidak ada yang menegaskan tentang kedudukan dari suatu barang bukti.
Dari aspek tidak adanya ketentuan dalam  pasal-pasal KUHAP tentang kedudukan suatu barang bukti, dapat berarti bahwa pembentuk KUHAP memandang barang bukti sebagai suatu tambahan semata-mata terhadap alat-alat bukti yang sah.  Dengan kata lain, barang bukti (corpus delicti) itu sendiri bukan merupakan suatu alat bukti, melainkan merupakan bukti tambahan terhadap alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, yaitu sebagai bukti tambahan terhadap alat bukti keterangan saksi,  keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa


[1]Corpus delicti”, Microsoft® Encarta® Reference Library 2003. © 1993-2002 Microsoft Corporation.
[2] Funk & Wagnalls Standard Desk Dictionary, Volume 1, Harper & Row Publishers Inc, 1984, hal.143.
[3] Ibid.

Selasa, 05 Januari 2016

Tujuan dan Filosofis Eksistensi Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia



A.   Tujuan dan Filosofis Eksistensi Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Terkait aparat kepolisian yang melakukan tindakan-tindakan yang kurang sesuai dengan UU tidak sedikit terjadi di masyarakat. Banyak pendapat dari masyarakat tentang aparat Kepolisian yang  sengaja memanfaatkan jabatannya untuk  melakukan tindakan-tindakan yang tidak semestinya baik itu masih dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya maupun diluar tugasnya sebagai pelindung masyarakat. Entah itu semua benar atau tidak namun dari segala apa yang berkembang dalam masyarakat mari fokuskan permasalahan pada masalah kesalahan penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan dan penuntutan yang dilakukan penyidik yang didalamnya termasuk juga aparat Kepolisian yang  semua ini berujung pada lahirnya lembaga Praperadilan sebagai suatu kontrol pada tindakan penyidik menyangkut perbuatan-perbuatan yang diatur dalam Praperadilan itu.
Penangkapan, penahanan, penyitaan dan lain sebagainya yang bersifat mengurangi dan membatasi kemerdekaan dan hak asasi tersangka. Karenanya, tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan lembaga praperadilan ini adalah untuk menghindari adanya pelanggaran dan perampasan hak asasi tersangka atau terdakwa.Demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, Undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Setiap upaya paksa yang dilakukan penyidik penuntut umum terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat:
1.  Tindakan paksa yang dibenarkan Undang-undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka,
2.  Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan Undang-undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka.
Karena upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan tu harus dilakukan secara bertanggungjawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process of law). Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan Undang-undang merupakan perkosaan terhadap hak asasi tersangka.
Setiap tindakan perkosaan yang ditimpakan kepada tersangka adalah tindakkan yang tidak sah, karena bertentangan dengan hukum dan undang-undang (illegal). Akan tetapi, bagaimana mengawasi dan menguji tindakan paksa yang dianggap bertentangan dengan hukum. Untuk itu perlu diadakan suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menentukan sah atau tidaknya tindakan paksa yang .
Saat diwawancarai penulis AKP Apri Fajar, SIk ( Kasat Reskrim Polres Kukar ) menuturkan, bahwa bisa saja dalam hal penangkapan dan penahanan  tanpa adanya surat perintah namun penyidik memiliki pertimbangan bahwa tersangka kemungkinan akan melarikan diri maka ditangkap, apabila terjadi tidak menerima atas tindakan petugas perihal penangkapan dan penahanan silahkan mengajukan pemeriksaan Praperadilan sesuai aturan yang ada.[50]
Menyangkut Praperadilan banyak sekali hal-hal atau tuduhan miring kontroversial  menyangkut  pelaksanaannya. Tuduhan-tuduhan  tersebut menyangkut antara lain seperti masalah gugurnya permohonan Praperadilan, dugaan adanya konspirasi terselubung antara pihak Hakim dengan termohon Praperadilan, hingga masalah pada ganti kerugian yang dianggap tidak sebesar kerugian yang sesuai dengan realitas yang diderita  pemohon, hingga begitu rumitnya birokrasi mendapatkan ganti kerugian.
          Sidang praperadilan yang diadakan atas permintaan tersangka atau terdakwa ataupun keluarganya atau pula atas kuasanya merupakan suatu forum yang terbuka. Yang dipimpin seorang hakim atau lebih untuk memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum yang telah melakukan upaya paksa agar mempertanggungjawabkan tindakannya dimuka forum yang bersangkutan, apakah benar-benar beralasan dan berlandaskan hukum. Dengan sistem pengujian melalui sidang terbuka ini, maka tersangka atau terdakwa dijamin hak asasinya berupa  hak dan upaya hukum untuk melawan perampasan atau pembatasan kemerdekaan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh penyidik ataupun penuntut umum. Dalam forum itu penyidik atau penuntut umum wajib membuktikan bahwa tindakannya sah dan tidak melanggar hukum. Untuk keperluan tersebut tentu saja pihak penyidik ataupun penuntut umum harus membuktikan bahwa dia memiliki semua syarat-syarat hukum yang diperlukan, baik berupa syarat-syarat formal maupun materiil, seperti misalnya surat perintah penangkapan atau penahanan, adanya dugaan keras telah melakukan tindak pidana yang didukung oleh bukti permulaan yang  cukup, ataupun dalam hal penahanan dengan alasan yang nyata dan konkrit bahwa si pelaku akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau menggulangi kejahatannya.
          Melalui forum praperadilan ini  juga dipenuhi syarat keterbukaan (transparancy) dan akuntabilitas publik (public accountabiliti) yang merupakan syarat-syarat tegaknya sistem peradilan yang bebas dan tidak memihak serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas publik ini maka dapat dicegah timbulnya praktek-praktek birokrasi yang tertutup dan sewenang-wenang dalam menahan orang ataupun memperpanjang penahanan juga dapat dicegah terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam proses membebaskan penahanan. Melalui forum  terbuka ini masyarakat dapat ikut mengontrol jalannya proses pemeriksaan  dan pengujian kebenaran dan ketepatan tindakan penyidik maupun penuntut umum dalam menahan seseorang ataupun dalam hal pembebasan, mengontrol alasan-alasan dan dasar hukum hakim praperadilan yang memerdekakannya.
Menurut H. Madli, SH ( selaku panitera Muda Pidana ) menyatakan, bahwa terhadap pemeriksaan Praperadilan sejauh nii tidak ada yang diputus dikabulkan, amar putusanya kalau tidak ditolak, berarti digugurkan. Seperti Perkara No. Nomor 02/Pen.Pra/2012/PN.Tgr pemohon Arifudin Semangga als Datuk yang diputus Gugur.[51]
Keberadaan Lembaga Praperadilan dianggap bahwa lembaga ini melindungi hak-hak masyarakat yang hak asasinya dilanggar oleh aparat penegak hukum serta melalui lembaga ini juga dapat membawa oknum aparat penegak hukum tersebut untuk dimintai pertanggungjawabannya dalam bentuk ganti kerugian dan rehabilitasi atas dugaan kesewenang-wenangan dalam menggunakan kekuasaaanya. Maksud dan tujuan luhur dari Praperadilan tersebut teryata penerapannya belum berjalan maksimal.
Pedoman yang menentukan kewenangan mengadili bagi setiap Pengadilan Negeri atau yang ditinjau dari segi Kompetentie Pengadilan sebagaimana diatur di dalam Bab X Bagian II Pasal 84 yang menyatakan:
Ayat (1)  :          Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala mengenai tindak pidana yang dilakukan di daerah hukumnya
Ayat (2)  :          Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat dia diketemukan atau ia ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipandang lebih dekat pada tempat Pengadilan Negeri itu dan pada tempat kedudukan Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya tindak pidana itu dilakukan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 124 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 77 jo. Pasal 79 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981/KUHAP dimana kewenangan Pengadilan Negeri Tenggarong yang berwenang melakukan pemeriksaan terhadap kasus Praperadilan yang telah dilakukan oleh Termohon yang telah melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon yang dituduh/disangka telah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Kenyataannya Pemohon pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2012 betul terbukti membawa senjata tajam (parang/mandau), akan tetapi perbuatan Pemohon bukanlah merupakan suatu perbuatan pidana sebagaimana dimaksudkan oleh Termohon. Karena Termohon
Mengenai pertimbangan hukumnya, hakim Wahyudi Said, SH., MH, menyatakan pemohon dalam Surat Permohonannya pada pokoknya mendalilkan bahwa, Permohonan Praperadilan ini masuk dalam yurisdiksi Pengadilan Negeri Tenggarong dengan alasan bahwa penangkapan dan penahanan masuk dalam wilayah yurisdiksi Pengadilan Negeri Tenggarong. Sesuai dengan ketentuan Pasal 77 KUHAP menentukan bahwa Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, kemudian Pasal 78 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa yang melaksanakan wewenang tersebut adalah Praperadilan. Selanjutnya Pasal 84 ayat (1) dan (2) KUHAP menentukan bahwa Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya atua bisa pula di luar daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, atau tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan Negeri tersebut daripada Pengadilan Negeri di dalam daerahnya tindak pidana dilakukan.[52]
Menurut Wahyudi Said, SH., MH, selaku Wakil Ketua PN Tenggarong ( Hakim yang memeriksa perkara Praperadilan No. 02/Pen.Pra/2012/PN.Tgr dengan Pemohon Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga ), berpendapat bahwa  ada kemungkinan kesalahan adalah berasal dari gugatan atau tuntutan dari pemohon itu sendiri, ada kemungkinan pemohon kurang begitu memahami berbagai hal  yang termasuk kajian dalam Praperadilan karena apa yang dilakukan oleh Hakim adalah selalu berdasar pada aturan yang berlaku yaitu KUHAP. Menanggapi statistik tentang Praperadilan yang ada maka Wahyudi Said, SH., MH, menyatakan kalau memang dalam kenyataan memang banyak yang ditolak seharusnya pemohon harus mengerti bahwa itulah kenyataan yang sebenar-benarnya, pemohon harus introspeksi, berbesar hati terhadap kenyataan tersebut, dan harus lebih menguasai serta  memahami karakteristik dari KUHAP atau Praperadilan itu sendiri, tidak boleh menyalahkan pihak lain tanpa adanya bukti yang konkrit, jangan sampai menyalahkan sesuatu yang memang merupakan realita yang sebenar-benarnya terjadi. Apabila dalam kenyataan menurut Undang-Undang permohonan Praperadilan tersebut memang harus ditolak hal tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat hanya untuk membela satu pihak, hakim selaku orang yang memutuskan harus memutuskan seadil-adilnya dan bertindak sesuai dengan Undang-Undang.[53]
Beliau menambahkan bahwa terkadang pemohon kurang memahami norma-norma dalam Praperadilan. Ada kalanya pemohon juga terbakar rasa emosional dengan menyatakan dalam tuntutan atau gugatannya tentang tindakan-tindakan yang tidak sesuai dalam KUHAP, namun pada persidangan tuduhan yang dimaksudkan tidak terbukti atau dapat dimentahkan, hal tersebut yang membuat gugatan Praperadilan tidak kuat, tidak diterima atau tidak dikabulkan oleh Hakim. Rasa emosional tersebut setelah sidang Praperadilan diputuskan masih terbawa oleh pemohon Praperadilan, yang kemudian tanpa adanya fakta dan bukti yang kuat ia mengatakan telah terjadi suatu konspirasi antara Termohon dengan Hakim. Hal tersebut sebenarnya tidak hanya terjadi pada kasus Praperadilan namun juga terjadi di kasus-kasus lainnya, namun karena melihat data-data dari Praperadilan terdahulu yang memang gugatan yang ditolak lebih banyak maka isu-isu miring yang tidak bisa dipertanggungjawabkan tentang Praperadilan banyak beredar di masyarakat. Mungkin masyarakat baru mengerti apabila masyarakat juga melihat upaya pembuktian masing-masing pihak dalam persidangan. [54]
Hal yang juga paling sering dituduhkan pada lembaga Praperadilan ini adalah bahwa putusan Hakim selalu dicampuri oleh pihak penegak hukum  yang terkait dalam Praperadilan seperti dari pihak termohon Praperadilan. Hal ini merupakan indikasi lumpuhnya fungsi Praperadilan. Artinya yang berlaku bukanlah fungsi “check and balance” atau saling control diantara sesama aparat penegak hukum tetapi fungsi hukum yang menghilangkan obyektifitas antar sesama aparat penegak hukum dan penegakan keadilan yang menjadi tujuannya akan berubah menjadi suatu bentuk kerja sama untuk saling mengamankan dan menghalalkan segala cara.
Menanggapi hal tsb, Wahyudi Said, SH., MH  beranggapan tuduhan-tuduhan seperti itu sangat tidak beralasan dan tidak memiliki dasar yang kuat karena tidak ada bukti. Jika kita memahami hukum maka apabila kita menuduh sesuatu maka harus ada bukti yang kuat atau awalnya ada bukti permulaan yang cukup. Menurutnya Pengadilan adalah lembaga yang memiliki wibawa yang besar. Didalamnya pasti terdapat orang-orang yang mempunyai komitmen besar untuk bertanggung jawab yang menjaga wibawa Pengadilan tersebut apalagi kini ada kode etik profesi, pasti masing-masing profesi hukum mampu menjaga agar tidak menyalahi kode etik tersebut karena yang dituduhkan seperti tindakan diatas juga termasuk pelanggaran kode etik profesi jadi sangat kecil tuduhan itu benar terjadi.[55]
Dalam praktek terjadi pengajuan permohonan Praperadilan oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan.Yang terjadi sebelum pemeriksaan dalam Praperadilan selesai, perkara pidana pokoknya diajukan/dilimpahkan  ke meja Pengadilan dan terkesan tergesa-gesa disidangkan sehingga gugatan Praperadilan menjadi gugur dan berakibat tersangka tetap dalam tahanan, adahal ada kemungkinan Praperadilan akan memberi putusan (penetapan) bahwa penangkapan atau penahanan tersebut tidak sah.
Apabila proses pemeriksaan Praperadilan didasarkan semata hanya karena masalah teknis saja maka akan mudah untuk menggagalkan dan menggugurkan permohonan praperadilan. Misal dengan segera memasukkan perkara pidana pokoknya ke pengadilan maka otomatis pemeriksaan praperadilan menjadi gugur, meskipun tersangka sudah menjadi korban praktek penahanan yang tidak sah. Hal seperti inilah dianggap sesuatu yang tidak adil bagi para pemohon Praperadilan.
Menanggapi  permasalahan  tentang  gugurnya  tuntutan/gugatan Praperadilan seperti diatas, Wahyudi Said, SH., MH, mengatakan bahwa jika memang gugatan tersebut memang kemudian gugur karena perkara pidana pokoknya dilimpahkan maka hal tersebut tidak bisa dipersalahkan karena hal seperti tersebut memang sudah diatur dalam KUHAP yakni Pasal 82 ayat (1) d KUHAP.Apabila kemudian Hakim melanggar hal tersebut dengan tidak menggugurkan gugatan Praperadilan justru akan membuat suatu masalah karena Hakim sebagai alat Negara dalam menegakkan hukum justru tidak menerapkan aturan yang dibuat oleh Negara, karena Hakim dalam memutuskan harus berdasar pada aturan yang dibuat Negara yakni dalam hal ini adalah KUHAP sebagai pedomannya. Apabila dilihat Pasal 82 ayat (1) KUHAP memang sepertinya terkesan masih sangat melindungi para penegak hukum yang terkait dalam masalah Praperadilan karena begitu mudahnya atau masih ada celah bagi penegak hukum untuk menghindar dari jeratan hukum itu sendiri. Sepertinya terkesan masih ada perlindungan bagi penegak hukum yang melakukan kesalahan dalam tindakannya yang tidak sesuai dengan prosedur yang benar. Mengamati praktek-praktek seperti itu, sudah waktunya untuk ditinjau dan diperbarui kembali yang substansinya merugikan pencari keadilan, kalau tidak ingin orang mengatakan bahwa lembaga praperadilan adalah lembaga dengan bayangan semu sebuah idealisme hukum yang mustahil terwujud dalam realitas atau dalam kenyataan.[56]
Ketentuan ini membatasi wewenang Praperadilan karena proses pemeriksaan Praperadilan ”dihentikan” dan perkaranya menjadi gugur pada saat perkara pidana pokoknya mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri. Kalau proses Praperadilan yang belum selesai lalu dihentikan dan perkaranya yang sedang diperiksa menjadi dianggap gugur atas dasar alasan teknis karena perkara pidana pokok sudah mulai disidangkan, yang bukan alasan prinsipiil, maka tujuan Praperadilan menjadi tidak berfungsi, kabur dan hilang. Karena tujuan Praperadilan memberikan keputusan penilaian hukum tentang pemeriksaan pendahuluan terhadap tersangka seperti yang dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP, yang keputusannya menjadi dasar untuk membebaskan tersangka dari penangkapan dan/atau penahanan yang tidak sah serta tuntutan ganti rugiUntuk menjamin agar KUHAP dapat dilaksanakan dengan baik sebagaimana yang dicita-citakan, maka dalam KUHAP diatur lembaga baru dengan nama PRAPERADILAN. Praperadilan memberi wewenang tambahan kepada Pengadilan Negeri untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus-kasus pidana yang berkaitan dengan penggunaan "upaya paksa" seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dll, yang dilakukan oleh Penyidik dan atau Penuntut umum.
Pada dasarnya apabila ada penangkapan terhadap seseorang, jika memenuhi syarat-syarat penangkapan atau penahanan maka kita sebagai warganegara yang taat hukum harus mematuhinya. Masalah kita terbukti bersalah atau tidak itu menjadi masalah lain. Jika memang kita tidak bersalah maka kita bisa mengajukan praperadilan, Hal itu merupakan suatu prosedur yang benar dan sesuai dengan UU. Jika Praperadilan gugur kita masih bisa mendapat hak kita yaitu melalui  perkara pokok yang dilimpahkan ,jadi sebenarnya kita masih bisa mendapat keadilan.[57]
Jika pemohon beralasan tidak melakukan tindak pidana yang disangkakan, maka itu menjadi urusan dari penyidik yang harus membuktikan dengan mengajukan minimal bukti permulaan yang cukup seperti yang tertulis pada Pasal 17 KUHAP yakni suatu perintah penangkapan pada seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana bukti permulaan yang cukup.
Saat ini terjadi perbedaan penafsiran tentang bukti permulaan yang cukup karena KUHAP tidak memberikan penjelasan tentang hal itu. UU mungkin tidak memberi definisi/pengertian yang jelas  apa itu bukti permulaan. Memang perlu adanya keseragaman penafsiran untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sebab bisa terjadi suatu hal yang dianggap bukti permulaan yang cukup namun oleh pemohon atau Hakim praperadilan yang memeriksanya menganggap belum cukup bukti yang artinya suatu bukti yang diajukan itu tidak/kurang dapat dikategorikan sebagai bukti permulaan untuk menduga seseorang sebagai pelakunya. [58]
  1. Penangkapan yang tidak sah
Untuk menguji apakah suatu penangkapan bertentangan atau tidak dengan undang-undang maka harus merujuk kepada ketentuan Pasal   16-19 KUHAP. Dalam pasal tersebut dijumpai syarat sah penangkapan.Setiap penangkapan yang tidak sesuai atau mengabaikan ketentuan dalam pasal-pasal tersebut dinyatakan tidak sah, tidak berdasar pada undang-undang dan dengan sendirinya diartikan berlawanan dengan hukum. Adapun syarat-syarat penahanan seperti:
1.    Ada surat perintah penangkapan
Surat perintah penangkapan yang sah dan resmi  yang memuat
dengan terang :
a.  Identitas tersangka,
b.  Alasan penangkapan,
c.  Uraian singkat perkara tindak pidana yang dipersangkakan,
d.  Tempat dimana tersangka diperiksa.
2.  Perintah penangkapan didasarkan pada dugaan yang keras dan bukti permulaan yang cukup. Syarat ini harus dipenuhi.Apabila tidak maka tindakan penangkapan dianggap bertentangan dengan Pasal 17 KUHAP.
3.  Paling lama 1 hari.
Batas maksimum penangkapan adalah 1 hari, apabila lebih maka dianggap bertentangan dengan undang-undang (Pasal 19 ayat (1) KUHAP).
3.    Penangkapan terhadap pelanggaran, baru dapat dilakukan setelah  dipanggil secara sah 2 kali berturut-turut. Hal ini diatur dalam Pasal 19 ayat (2) KUHAP.
4.    Tembusan Surat perintah penangkapan diberikan pada keluarga tersangka. Menurut Pasal 18 ayat (3) tembusan surat perintah penangkapan harus segera diberikan pada keluarga tersangka. Jika ketentuan ini dilanggar maka penangkapan bertentangan dengan UU.
  1. Penahanan yang tidak sah
Untuk penahanan yang tidak sah dikaitkan dengan tuntutan ganti kerugian terdapat hal-hal penting mengenai syarat sah penahanan yakni :
1.    Adanya dugaan keras sebagai pelaku tindak pidana berdasar bukti yang cukup . Mengingat prinsip penahanan yakni temukan dan kumpulkan dulu alat bukti yang cukup. Atas dasar itulah Pasal 21 ayat (1) KUHAP memperkenankan penahanan.
2.    Penahanan dilakukan dengan surat perintah penahanan  atau penetapan Setiap penahanan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam tingkat pemeriksaan mesti berlandaskan surat perintah penahanan dan surat penetapan penahanan (Pasal 21 ayat(2) KUHAP).
3.    Penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang disebutkan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yakni :
a.    Tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberi bantuan yang ancaman hukumannya pidana penjara 5 tahun atau lebih,
b.    Melakukan atau percobaan maupun memberi bantuan terhadap tindak pidana yang diperinci satu persatu dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP.
4.    Penahanan tidak melebihi masa penahanan yang ditentukan dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28,Pasal 29 KUHAP.
5.    Penahanan tidak melebihi hukuman yang dijatuhkan. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP60
c.    Tindakan lain tanpa alasan berdasar Undang-undang
Yang termasuk hal-hal ini adalah :
1.  Kerugian yang ditimbulkan pemasukan rumah
2.  Penggeledahan yang tidak sah menurut hukum
3.  Penyitaan yang tidak sah menurut hukum
d.  Dituntut dan diadili tanpa alasan undang-undang
Alasan ini sangat luas, meliputi segala kekeliruan penerapan hukum.Untuk mencari tahu kekeliruan dalam penerapan hukum ini dapat dijumpai terutama pada yurisrudensi seperti :
1.  Surat dakwaan batal demi hukum
2.  Dakwaan Jaksa tidak dapat diterima
3.  Apa yang didakwakan tanpa didukung alat bukti yang sah
4.  Apa yang didakwakan bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran
5.  Apa yang didakwakan tidak sesuai dengan tindakan yang dilakukan
6.  Kekeliruan mengenai orangnya (error in persona)
e.  Penghentian penyidikan atau penuntutan
Jika melihat penjelasan diatas berarti tersebut tidak memahami apa maksud dari Praperadilan. Boleh saja ia beralasan tidak melakukan suatu tindakan pidana yang disangkakan padanya namun disini harus dilihat dulu apakah penangkapan atau penahanan yang dilakukan sah atau tidak. Jika ternyata memang sah atau telah memenuhi syarat/prosedur apalagi ternyata penangkapan tersebut disertai bukti permulaan yang cukup maka kemungkinan ganti kerugian Praperadilan yang diajukan akan ditolak sekalipun pemohon berargumen ia menderita kerugian meteriil karena tidak dapat bekerja atau lain sebagainya.
Bukti permulaan yang cukup ialah permulaan untuk menduga adanya tindak pidana yang dilakukan tersangka. Arti bukti permulaan  (prima facie evident) berarti bukti sedikit yang menduga ada tindak pidana, misalnya kepada seseorang kedapatan benda/barang curian maka petugas penyidik dapat menduga keras bahwa pada seseorang itu telah melakukan tindak pidana berupa pencurian atau penadahan.
Menurut Kompol Sukarman, SH bukti permulaan yang cukup bisa  dirumuskan yakni terdiri laporan Polisi dengan minimal salah satu alat bukti lainnya berupa :[59]
a. Barang bukti yang ada
b. BAP tersangka/saksi
c. BAP di tempat kejadian perkara (TKP)
Beliau menambahkan bahwa saat ini penyidik maupun penuntut umum tidak dapat sembarangan dalam menahan seseorang dan lama penahananpun dibatasi dengan konsekuensi kalau penahanan melewati batas waktu yang ditentukan maka orang yang ditahan tersebut harus dibebaskan. Penahanan tanpa surat perintah dapat dipraperadilankan, tertuduh yang dinyatakan tidak bersalah dapat dimintakan ganti kerugian dan rehabilitasi. Pendeknya Penyidik atau Penuntut umum itu makin memahami KUHAP khususnya mengenai Praperadilan, bertindak dengan hati-hati serta sangat menghargai hak tersangka atau terdakwa sebagai manusia yang harus ditempatkan secara proporsional atau sebagaimana mestinya.[60]
Menurut Wahyudi Said, SH., MH, ditolaknya permohonan praperadilan  mungkin juga terjadi disebabkan oleh keterangan dari pemohon yang mungkin tidak sesuai dengan fakta, karena itu wajar pula penasehat hukum dapat salah dalam melakukan persepsi dan membuat- membuat kesalahan membuat rumusan permohonan Praperadilan yang diajukan sebab kuasa hukum pemohon hanya mendengar dari keterangan pemohon, dari situlah dapat disimpulkan kuasa hukum pemohon kurang menguasai duduk perkara yang sebenarnya karena ternyata orang yang dibelanya ternyata tidak memberi informasi yang sebenar-benarnya.[61]
Sifat Tuntutan ganti rugi sebenarnya tidak mutlak harus ada, hal ini sesuai Pasal 8 PP 27 tahun 1983, Jadi apabila tuntutan ganti kerugian didasarkan pada hal-hal yang dianggap menyesatkan atau bersifat menipu maka hakim akan menolak tuntutan ganti kerugian. Misal seseorang yang dibebaskan dari dakwaan karena penipuan tetapi sebenarnya dalam persidangan terbukti bahwa terdakwa melakukan tindak pidana penggelapan. Akan tetapi dalam surat dakwaan  tidak dicantumkan tindak pidana penggelapan sehingga terdakwa tersebut harus dibebaskan.[62]
Menurut Wahyudi Said., SH., MH, terkadang juga pemohon melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan praperadilan yang hanya menitikberatkan pada segi finansial atau materi saja. Maksudnya disini permohonan ganti kerugian yang dibuat terkadang terlalu mengada-ada, terkesan membesar-besarkan dan kurang proporsional dalam menuntut ganti kerugian  sebagaimana mestinya. Setelah dalam upaya pembuktian ternyata isi permohonan tersebut tidak dapat dibuktikan dan oleh karena itulah permohonan praperadilan tersebut dinyatakan ditolak atau tidak dikabulkan oleh Hakim Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Tenggarong Nomor 02/Pen.Pra/2012/PN.Tgr dengan Pemohon Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga akhirnya gugur karena perkara pokoknya telah dilimpahkan oleh Kejaksaan Negeri Tenggarong ke Pengadilan Negeri Tenggarong pada hari Selasa tanggal 25 September 2012 di bawah register Pidana No. 394/Pid.B/2012/PN.Tgr dimana dengan adanya Pelimpahan Perkara tersebut dengan pelimpahan tersebut otomatis gugatan Praperadilan gugur karena bukan lagi kewenangan Praperadilan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penjatuhan putusan yang berbeda. Oleh karena itu lebih tepat pemeriksaan Praperadilan dihentikan dengan jalan menggugurkannya dan sekaligus semua yang berkenaan ditarik dalam kewenangan Pengadilan Negeri untuk memutuskannya.[63]
Pemohon masih dapat menuntut haknya misalnya dalam mendapatkan ganti kerugian, karena semua permintaan tersebut akan ditampung kembali oleh Pengadilan negeri yang memeriksa perkara pokok. Misalnya tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan,atau penyitaan. Hal ini semua dapat langsung diperiksa Pengadilan Negeri dalam sidang. Dapat saja hakim beranggapan penangkapan atau penahanan tidak sah maka dengan perintah hakim terdakwa dapat dibebaskan dari tahanan. Demikian juga apabila Hakim beranggapan penyitaan tidak sah maka Hakim dapat memberikan lagi benda-benda yang disita pada pihak-pihak yang berhak mendapatkan kembali barang-barang tersebut. Sedangkan mengenai ganti kerugian akibat penangkapan, penahanan, penuntutan, dan diadili atau karena tindakan lain tanpa alasan yang sah atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya sudah diajukan dan diperiksa di sidang Pengadilan, dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri berdasar Pasal 95 ayat (1) jo ayat (3) KUHAP. Demikian pula rehabilitasinya dapat diajukan kembali  berdasar Pasal  97 KUHAP.
Jadi pengguguran permintaan yang disebabkan oleh perkara pidananya telah diperiksa di sidang Pengadilan sama sekali tidak mengurangi dan menghapus hak yang bersangkutan. Yang tidak didapat dalam praperadilan dapat dialihkan pengajuannya pada Pengadilan Negeri. Hanya saja proses dan tata cara makin panjang, terutama mengenai tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi pengajuan baru diperkenankan UU setelah lebih dahulu perkaranya diputus dan memiliki kekuatan tetap, sedang jika hal itu diajukan kepada praperadilan prosesnya lebih singkat dan cepat.
Menurut H. Djasman Kasto, SH,[64] selaku Pengacara pemohon, dikarenakan penangkapan dan penahanan terhadap Arifuddin Semmangga oleh anggota Kepolisian Resort Kukar dan Polsek Marang Kayu pada tanggal 15 Agustus 2012 itu tanpa Surat Perintah dari Pimpinannya (Kapolres Kukar), maka yang bersangkutan mohon melalui kuasa hukumnya untuk memohon praperadilan ke Pengadilan Negeri Tenggarong. Atas dasar permohonan yang bersangkutan maka kuasa hukumnya dengan berbekal Surat Kuasa Khusus dari Arifuddin Semmangga, maka pada tanggal 10 September 2012 Kuasa Hukum Pemohon melakukan pendaftaran permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Tenggarong yang terdaftar dengan Nomor 02/Pid.Pra/2012/PN.Tgr.
Ditambahkan bahwa pemeriksaan praperadilan bisa gugur. Artinya pemeriksaan-pemeriksaan praperadilan dihentikan sebelum putusan dijatuhkan. Atau pemeriksaan dihentikan tanpa putusan. Hal inilah yang diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d, yang berbunyi “ Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedang pemeriksaan mengenai permintaan praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur ”.Memperhatikan ketentuan, gugurnya pemeriksaan praperadilan.Itulah yang menyebabkan gugurnya pemeriksaan permintaan praperadilan. Apabila perkara pokok telah diperiksa pengadilan negeri, sedang praperadilan belum menjatuhkan putusan, dengan sendirinya permintaan praperadilan gugur. Ini dimaksudkan untuk menghindari putusan yang berbeda.Oleh karena itu, lebih tepat pemeriksaan praperadilan dihentikan dengan jalan menggugurkan permintaan, dan sekaligus semua hal yang berkenaan dengan perkara itu ditarik kedalam kewenangan Pengadilan Negeri untuk menilai dan memutusnya.[65]
Permintaan putusan yang dijatuhkan praperadilan dalam tingkat pemeriksaan penyidikan tidak dapat menggugurkan hak tersangka, karena yang bersangkutan masih tetap berhak mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan dalam tingkat penuntutan, jika itu memang ada alasan yang dibenarkan oleh undang-undang. Dalam tingakat penuntutan masih bisa diajukan permintaan atas alasan tentang sah atau tidaknya penahanan yang dilakukan penuntut umum, atau penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan tetap berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan penuntut umum.
Oleh karena itu, dalam suatu kasus perkara, bisa terjadi dua kali permintaan pemeriksaan praperadilan. Bahkan bukan hanya dua kali saja, tetapi bias beberapa kali. Yang menggugurkan hak pemohon mengajukan permintaan, hanya ditentukan oleh pemeriksaan perkara yang bersangkutan disidang Pengadilan negeri. Apabila perkara telah diperiksa di sidang Pengadilan Negeri, gugur haknya untuk mengajukan permintaan pemeriksaan kepada praperadilan.[66]
Dari pihak keluarga Pemohon telah pula mengajukan permohonan penangguhan penahanan kepada Termohon, yang dapat dikatakan tidak mendapat tanggapan yang positif bahkan Termohon melakukan permohonan untuk perpanjangan penahanan ke Jaksa Penuntut Umum dan oleh Jaksa Penuntut Umum permohonan tersebut telah terlanjur dikabulkan sehingga membawa akibat Pemohon tetap ditahan terus di Polres Kukar.
Sebagai akibat Pemohon tetap dilakukan penahanan oleh Termohon, maka Pemohon menderita kerugian materiel dan immateriel.
1.    Kerugian Materiel
     Bila dinilai sehari Pemohon bekerja mendapatkan upah sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) sehari, sedangkan penahanan dilakukan selama 60 (enam puluh) hari (sejak penahanan penyidik dan perpanjangan penahanan yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum), maka kerugian materiel jelas 60 x Rp. 100.000,- = Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).
2.    Kerugian Immateriel
     Pemohon menyadrai bahwa kerugian immateriel sebetulnya tidak dapat dinilai dengan mata uang rupiah, namun demikian dalam kasus Praperadilan ini Pemohon menilai bahwa nama baik Pemohon di masyarakat senilai Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Dengan demikian kerugian Pemohon keseluruhannya ialah sebesar Rp. 6.000.000,- + Rp. 1.000.000.000,- = Rp. 1.006.000.000,- (satu milyar enam juta rupiah). Melihat kondisi fisik Pemohon dewasa ini dimana selalu mengeluh dan sering sakit-sakitan, di samping itu dimana sebetulnya Pemohon telah berusia 85 tahun, akan tetapi karena ada kekeliruan pada saat pembuatan Kartu Tanda Penduduk sehingga di dalam KTP tercatat/tertulis 17 Desember 1944 dan baru berusia 68 tahun. Dan selama Pemohon berada di dalam Rutan Polres Kukar teraniaya terutama hak kebebasannya dan hak-hak hukumnya.
Selanjutnya permasalahan tentang kebingungan dalam mengajukan permohonan ganti kerugian  menyangkut kewenangan pemeriksaan juga menjadi salah satu kendala seperti contohnya perkara Praperadilan Nomor 02/Pen.Pra/2012/PN.Tgr yang gugur karena wewenang pemeriksaan bukan lagi praperadilan namun pengadilan negeri  yang dikarenakan perkara pokoknya telah dilimpahkan.
Berkaitan dengan tuntutan ganti kerugian  tentang sahnya penangkapan, penahanan, serta tindakan lain tanpa berdasarkan yang sah menurut UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan dengan syarat :
a.  Perkaranya hanya sampai pada tingkat penyidikan, atau
b.  Perkaranya hanya sampai pada tingkat penuntutan seperti disebut Pasal 138 ayat (1) KUHAP, atau
c.  Perkaranya tidak diajukan ke sidang Pengadilan
Tuntutan ganti kerugian yang disebut dalam Pasal 77 huruf b :
a.  Atas alasan penghentian penyidikan,atau
b.  Atas alasan penghentian penuntutan
b.  Pengadilan negeri yang berwenang
Akan menjadi wewenang Pengadilan Negeri ketika permohonan praperadilan gugur karena perkara pokoknya telah diajukan ke sidang Pengadilan. Setelah perkara pokok diajukan, diperiksa kemudian diputus    Pengadilan kewenangan praperadilan beralih pada kewenangan Pengadilan Negeri.
Pada tata cara ini tuntutan ganti kerugian sekaligus diajukan berbarengan dengan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan. Pada tata cara pengajuan ini, pemohon menyatukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya tindakan upaya paksa dengan permintaan ganti kerugian. Dalam permohonan, tersangka meminta agar praperadilan  sekaligus memeriksa dan memutus tentang sah atau tidak upaya paksa, dan atas alasan itu sekaligus diminta ganti kerugian. Cara pengajuan ganti kerugian dirumuskan pasal 95 ayat (2) KUHAP. Dengan cara ini ketidakabsahan tindakan paksa dan tuntutan ganti kerugian diajukan dalam satu permohon. Praperadilan akan memeriksa dan memutusnya bersamaan dalam satu proses.
Ditambahlkan bahwa hakim lebih banyak mempehatikan perihal dipenuhi tidaknya syarat-syarat formil semata-mata dari suatu penangkapan atau penahanan, seperti misalnya ada atau tidak adanya surat perintah penahanan (Pasal 21 ayat (2) KUHAP) dan sama sekali tidak menguji dan menilai syarat materiilnya. Padahal syarat materiil inilah yang menentukan apakah seseorang dapat dikenakan upaya paksa berupa penangkapan atau penahanan oleh penyidik atau penuntut umum.Tegasnya hakim pada praperadilan seolah-olah tidak peduli apakah tindakan penyidik atau jaksa penuntut umum yang melakukan penangkapan benar-benar telah memenuhi syarat-syarat materiil, yaitu adanya dugaan keras telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Ada tidaknya bukti permulaan yang cukup ini dalam praktek tidak pernah dipermasalahkan oleh hakim, karena umumnya hakim praperadilan menganggap bahwa hal itu bukan menjadi tugas dan wewenangnya, melainkan sudah memasuki materi pemeriksaan perkara yang menjadi wewenang hakim dalam siding pengadilan negeri.Demikian juga dalam hal penahanan, hakim tidak menilai apakah tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup benar-benar ada alasan yang kongkrit dan nyata yang menimbulkan kekhawatiran bahwa yang bersangkutan akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti ataupu mengulangi perbuatannya. Para hakim umumnya menerima saja bhwa hal adanya kekhawatiran tersebut semata-mata merupakan urusan penilaian subjektif dari pihak penyidik atau penuntut umum, atau dengan lain perkataan menyerahkan semata-mata kepada hak dikresi dari pihak penyidik dan penuntut umum.[67]
Mengenai pada siapa  ganti kerugian ini dibebankan, Wahyudi Said, SH., MH, menyatakan bahwa yang nantinya membayar apabila permintaan ganti kerugian dikabulkan bukanlah langsung termohon, karena termohon disini sifatnya adalah alat Negara maka yang bertanggung jawab adalah Negara. [68]
Melihat dari Pasal 11 PP no 27 tahun 1983 dan SK Menkeu no 983/KMK.01/1983 menetapkan sehubungan dengan Pasal 95 KUHAP adalah beban dari Bagian Pembayaran dan Perhitungan Anggaran Belanja Negara Rutin.
Untuk melaksanakan pembayaran pemerintah menunjuk Departemen Keuangan yang bertanggung jawab mengalokasikan ganti kerugian atas beban Anggaran Belanja Rutin Negara, namun kekurangan yang sering dikeluhkan adalah proses birokrasi yang berbelit sehingga menimbulkan proses yang cukup lama.
Wahyudi Said, SH., MH menerangkan penetapan praperadilan memuat alasan dasar pertimbangan hukum, juga harus memuat amar. Amar yang harus dicantumkan dalam penetapan disesuaikan dengan alasan permintaan pemeriksaan. Alasan permintaan yang menjadi dasar isi amar penetapan. Amar yang tidak sejalan dengan alasan permintaan, keluar dari jalur yang ditentukan undang-undang. Amar penetapan praperadilan, bisa berupa pernyataan yang berisi :[69]
  1. Sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan.
Jika dasar alasan permintaan yang diajukan pemohon berupa permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan yang disebut Pasal 79, maka amar penetapannya pun harus memuat pernyataan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan.
  1. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
Jika alasan yang diajukan pemohon berupa permintaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, berarti amar penetapan praperadilan memuat pernyataan mengenai sah atau tidaknya tindakan penghentian penyidikan atau penuntutan.
  1. Diterima atau ditolaknya permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi.
Disinipun demikian halnya, jika dasar alasan permintaan pemeriksaan mengenai tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi, berarti amar penetapan memuat dikabulkan atau ditolak permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi.
  1. Perintah pembebasan dari tahanan.
Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 82 ayat (3) huruf a. agar penetapan praperadilan memuat amar yang memerintahkan tersangka segera dibebaskan dari tahanan. Amar yang demikian merupakan keharusan dalam kasus permintaan pemeriksaan yang berhubungan tentang sah atau tidaknya penahanan. Jika tersangka atau keluarganya mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penahanan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum dan praperadilan berpendapat penahanan tidak sah, amar putusan praperadilan harus memuat pernyataan dan perintah seperti, penahanan tidak sah dan perintah membebaskan tersangka dari tahanan.
Dengan dicantumkannya amar yang berisi perintah membebaskan tersangka dari tahanan, penyidik atau penuntut umum harus segera membebaskan dari tahanan.
  1. Perintah melanjutkan penyidikan atau penuntutan.
Mungkin ada yang berpendapat, amar ini tidak mutlak dicantumkan dalam penetapan praperadilan. Alasanya, dengan adanya penetapan yang menyatakan penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, dalam pernyataan putusan yang demikian sudah terkandung perintah yang mewajibkan penyidik melanjutkan penyidikan atau yang mewajibkan penuntutan dilanjutkan. Karena itu, sekiranya praperadilan menjatuhkan putusan yang menyatakan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah, amar penetapan tidak mesti memuat pernyataan yang memerintahkan penuntut umum melanjutkan penuntutan. Akan tetapi, untuk sempurna serta berpedoman pada bunyi rumusan Pasal 82 ayat (3) huruf b, tidak ada salahnya mencantumkan amar yang demikian.
  1. Besarnya ganti kerugian.
Apabila alasan pemeriksaan praperadilan berupa permintaan ganti kerugian baik oleh karena tidak sahnya penangkapan atau penahanan, amar putusan praperadilan mencantumkan dengan jelas jumlah ganti kerugian yang dikabulkan.
  1. Berisi pernyataan pemulihan nama baik tersangka.
Jika alasan permintaan pemeriksaan berhubungan dengan rehabilitasi, amar putusan memuat pernyataan pemulihan nama baik pemohon kalau permohonannya dikabulkan.
  1. Memerintahkan segera mengembalikan sitaan.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 82 ayat (3) huruf d. apabila alasan permintaan pemeriksaan praperadilan menyangkut sah atau tidaknya tindakan penyitaan yang dilakukan penyidik sebab dalam penyitaan ada yang termasuk benda yang tidak tergolong alat pembuktian. Atau sama sekali tidak tersangkut dengan tindak pidana yang sedang diperiksa cukup alasan untuk menyatakan benda yang disita tidak termasuk sebagai benda alat pembuktian. Putusan praperadilan harus memuat amar yang memerintahkan benda tersebut segera dikembalikan kepada tersangka atau kepada orang dari siapa benda itu disita.

Bahwa tidak semua upaya paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk diuji dan dinilai kebenaran dan ketepatannya oleh lembaga praperadilan, misalnya tindakan penggeldahan, penyitaan, dan pembukaan serta pemeriksaan surat-surat tidak dijelaskan dalam KUHAP, sehingga menimbulkan ketidak jelasan siapa yang berwenang memeriksanya apabila terjadi pelanggaran. Disini lembaga praperadilan kurang memperhatikan kepentingan perlindungan hak asasi tersangka atau terdakwa dalam hal penyitaan dan penggeledahan, padahal penggeledahan yang sewenang-wenang merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat tinggal orang (privacy), dan penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik seseorang.[70]
Berkenaan dengan keabsahan penggeledahan dan penyitaan, pembukaan dan pemeriksaan surat apakah dapat di mohonkan praperadilan, hal ini menjadikan perbedaan pendapat dalam penerapan :
i.      Ada yang berpendirian tindakan upaya paksa yang termasuk yurisdiksi praperadilan untuk menguji keabsahannya, hanya terbatas pada tindakan penangkapan dan penahanan atas alasan orang yang ditahan atau ditangkap tidak tepat (error in persona),
ii.     Sedang tindakan upaya paksa penggeledahan atau penyitaan dianggap berada di luar yurisdiksi praperadilan atas alasan dalam penggeledahan atau penyitaan terkandung intervensi pengadilan berupa :
     Dalam proses biasa, harus lebih dahulu mendapat surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 38 ayat (1) KUHAP), dan
     Dalam mendesak, boleh lebih dahulu bertindak, tetapi harus meminta persetujuan Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 38 ayat (2) KUHAP)
H. Djasman Kasto, SH menambahkan bahwa, sehubungan dengan adanya intervensi Ketua Pengadilan Negeri dalam penggeledahan dan penyitaan, dianggap tidak rasional dan bahkan kontroversial untuk menguji dan mengawasi tindakan itu di forum praperadilan. Tidak logis praperadilan menilai tepat tidaknya penggeledahan atau penyitaan yang dilakukan yang telah diijinkan oleh pengadilan, padahal masalah yang sering terjadi dalam penggeledahan dan penyitaan antara lain:
1.    PENGGELEDAHAN
Masalah yang sering terjadi:
-    Tidak ada ijin Pengadilan.
-    Tidak ada saksi.
-    Petugas belum bisa membedakan penggeledahan dalam keadaan biasa dengan keadaan perlu dan mendesak, dll.
2.  PENYITAAN
Masalah yang sering terjadi:
-    Tidak didukung dengan ijin sita dari Pengadilan.
-    Tidak ada saksi dan tidak dibuat Berita Acara.
-    Petugas masih sulit membedakan penyitaan dalam keadaan biasa dan dalam keadaan perlu dan mendesak (tertangkap tangan).
-    Barang yang disita tidak ada  kaitannya dgn tindak pidana yang terjadi, dll
3.  Keabsahan Pembukaan dan pemeriksaan surat-surat penting yang bahkan tidak dijelaskan oleh KUHAP.[71]
 Argumentasi tersebut tidak seluruhnya mencakup penyelesaian permasalahan yang mungkin timbul dalam penggeledahan dan penyitaan. Bertitik tolak dari asumsi kemungkinan terjadinya penyimpangan di luar batas surat ijin yang diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri, terhadap penggeledahan dan penyitaan seharusnya dapat diajukan ke forum praperadilan, baik yang berkenaan dengan tuntutan ganti kerugian maupun yang berkenaan dengan sah atau tidaknya penyitaan dengan acuan penerapan :
1)    Dalam hal penggeledahan atau penyitaan tanpa ijin atau persetujuan Ketua Pengadilan Negeri seharusnya mutlak menjadi yurisdiksi praperadilan untuk memeriksa keabsahannya, 
2)    Dalam hal penggeledahan atau penyitaan telah mendapatkan ijin atau persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri, seharusnya tetap dapat diajukan di forum praperadilan, dengan lingkup kewenangan yang lebih sempit yakni :
     Praperadilan tidak dibenarkan menilai surat ijin atau surat persetujuan yang dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri tentang hal itu ;
     Yang dapat dinilai oleh praperadilan, terbatas pada masalah pelaksanaan surat ijin atau surat persetujuan tersebut, dalam arti apakah pelaksanaannya sesuai atau melampaui surat ijin yang diberikan.[72]
     Tindakan penyitaan yang dilakukan terhadap barang pihak ketiga, dan barang tersebut tidak termasuk sebagai alat atau barang bukti. Dalam kasus yang seperti itu pemilik barang harus diberi hak untuk mengajukan ketidak absahan penyitaan. Menutup atau meniadakan hak orang yang dirugikan dalam penyitaan dimaksud, berarti membiarkan dan membenarkan perkosaan hak oleh aparat penegak hukum (penyidik) terhadap hak milik orang yang tidak berdosa.[73]
Menurut H. Madli, SH, bahwa sejauh ini belum ada yang memohon pemeriksaan praperadilan dalam hal keabsahan penggeledahan dan penyitaan.[74] Dan hal tersebut dibenarkan oleh Wahyudi Said, SH., MH.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut penulis menarik kesimpulan tujuan dan filosofis eksistensi lembaga praperadilan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan :
1.    Hasil usaha tuntutan terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia, terutama mereka yang terlibat di dalam perkara pidana. Oleh karena itu, tujuan dibentuknya praperadilan ini tidak lain adalah demi tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan ini juga berfungsi sebagai alat kontrol terhadap penyidik atau penuntut umum terhadap penyalahgunaan wewenang yang diberikan kepadanya.
2.    Suatu bentuk implementasi respon masyarakat terhadap langkah-langkah yang dilakukan oleh negara/pemerintah. Dalam hal ini sistem peradilan pidana sebagai sarana bagi masyarakat yang dirugikan hak-haknya melakukan upaya hukum untuk memperjuangkan keadilan, perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia.Perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia tersebut sudah merupakan hal yang bersifat universal dalam setiap negara hukum. Karena pengakuan, jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah salah satu essensi pokok yang menjadi dasar legalitas suatu negara hukum.
1.   Lembaga Praperadilan sebagai lembaga Kontrol untuk pelaksanaan Asas Accusatoir dalam KUHAP
     
Asas accusatoir telah memperlihatkan suatu pemeriksaan terbuka, dimana setiap orang dapat menghadiri dan menyaksikan jalannya pemeriksaan. Terdakwa mempunyai hak yang sama nilainya dengan penuntut umum, sedangkan hakim berada di atas kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara pidana menurut hukum pidana yang berlaku.
Sebagai realisasi prinsip accusatoir di pengadilan terlihat terdakwa bebas berkata-kata. Bersikap sepanjang untuk membela diri dan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, seringnya terdakwa diam tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Adanya penasihat hukum yang mendampingi terdakwa untuk membela hak-haknya. Selain itu, terdakwa bebas mencabut pengakuan-pengakuan yang pernah ia kemukakan di luar sidang dan ini dapat dikabulkan sepanjang hal itu logis dan beralasan.
Prinsip accusatory adalah menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan :
1. Adalah sebagai subjek; bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukan atau diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat dan harga diri,
2. Yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan (tindakan pidana), yang dilakukan tersangka atau terdakwa, ke arah itulah pemeriksaan ditujukan.
Asas praduga tak bersalah bila ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan prinsip akusator atau accusatory procedure (accusatorial system). Dengan prinsip ini penegak hukum tidak dapat semena-mena termasuk dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan kerena apabila hal tersebut tidak sesuai dengan amanat undang –undang maka yang bersangkutan dapat di praperadilankan termasuk ganti rugi. Sehingga praduga tak bersalah yang dianut KUHAP, memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk menggunakan prinsip akusator dalam setiap tingkat pemeriksaan. Aparat penegak hukum sebaiknya menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang inkuisator atau inquisitorial system yang menempatkan tersangka atau terdakwa dalam pemeriksaan sebagai obyek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang. Prinsip inkuisator ini dulu dijadikan landasan pemeriksaan dalam periode Herziene Inlandsche Reglement (HIR), prinsip inkuisitor ini sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan yang wajar bagi tersangka atau terdakwa untuk membela diri dan mempertahankan hak dan kebenarannya, sebab dari sejak semula aparat penegak hukum:
1.  Sudah apriori menganggap tersangka atau terdakwa bersalah. Seolah-olah si tersangka sudah divonis sejak saat pertama diperiksa dihadapan penyidik
2.  Tersangka atau terdakwa dianggap dan dijadikan obyek pemeriksaan tanpa mempedulikan hak-hak asasi manusia serta hak-haknya untuk membela dan mempertahankan martabat serta kebenaran yang dimilikinya. Akibatnya sering terjadi dalam praktek, seorang yang benar-benar tidak bersalah terpaksa menerima nasib sial, meringkuk dipenjara. Oleh karena itu, saat ini yang dipakai KUHAP dalam pemeriksaan adalah asas atau prinsip akusator.
Di dalam buku pedoman pelaksanaan KUHAP ditegaskan latar belakang, motivasi, dan urgensi diintrodusirnya fungsi penyelidikan sebagai rangkaian, atau tindakan awal dari penyidikan dalam menemukan titik terang siapa pelakunya (dader) yaitu:
a.    Adanya perlindungan dan jaminan terhadap Hak Asasi Manusia.
b.    Adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa.
c.    Ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi.
d.    Tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan, dengan konsekuensi digunakannnya upaya paksa, perlu ditentukan lebih dahulu berdasarkan data dan keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.
Dahulu, dipakai sistem inkisitor (inquisitoir) yang mana tersangka atau terdakwa menjadi obyek pemeriksaan sedangkan hakim dan penuntut umum berada pada pihak yang sama. Dalam sistem saling berhadapan (adversary system) ini, ada pihak terdakwa yang terdapat penasehat hukumnya, sedangkan dipihak lain terdapat penuntut umum yang atas nama negara menuntut pidana. Adapun dasar dari penuntut umum ini menuntut pidana adalah dari data yang diperoleh atau hasil dari penyidikan yang diberikan polisi sebelum pemeriksaan hakim. [75]
Saksi-saksi yang diajukan biasanya terbagi tiga yaitu, saksi yang memberatkan terdakwa (a charge), biasanya diajukan oleh penuntut umum, saksi yang meringankan terdakwa (a de charge), biasanya diajukan terdakwa atau penasehat hukumnya, dan ada pula saksi yang tidak memberatkan dan tidak meringankan terdakwa, seharusnya saksi golongan ke tiga ini ialah saksi ahli. Yang terpenting diantara pihak ini tentulah terdakwa, karena yang akan menjadi fokus pemeriksaan di sidang pengadilan.
Dalam perkara pidana sebenarnya terlibat beberapa pihak, diantara pihak-pihak yang saling berhadapan itu terdapat hakim yang tidak memihak kedua pihak. Sistem saling berhadapan ini disebut sistem pemeriksaan akusator (accusatoir). Asas Akusator dalam pemeriksaan pengadilan memiliki jaminan yang luas terutama dalam hal bantuan hukum, bahkan pembicaraan tersangka dan penasehat hukumnya tidak dapat didengar penyidik maupun penuntut umum. Asas Akusator Terbatas pada asas yang dianut di Indonesia, dimana penasehat hukum dapat melihat dan mendengar seluruh proses pemeriksaan.[76]
Berdasarkan uraian diatas, penanganan serta proses penyelesaian pemeriksaan dilembaga praperadilan jangan sampai mengabaikan keterkaitan dan keterpaduan disetiap tahap pemeriksaan yang ada, selain itu hal yang dinilai penting yaitu sikap peduli (care) penegak hukum terhadap kasus-kasus yang ada untuk dengan cepat dan sepenuh hati serta mengedepankan rasa bertanggungjawab yang penuh agar penyelesaian pemeriksaan, cepat terselesaikan sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh semua pihak baik itu penyidik dan penuntut umum maupun terdakwa atau tersangka, serta guna terciptanya keadilan yang dicita-citakan. Aparat penegak hukum dalam tahap pemeriksaan praperadilan jangan sampai mengesampingkan hak-hak tersangka atau terdakwa, seperti yang terdapat pada prinsip-prinsip dalam KUHAP, salah satunya prinsip akusator dimana tersangka harus dijadikan sebagai subjek pemeriksaan dan kesalahannya yang dijadikan objek pemeriksaan tersebut. Oleh karena itu, dalam hal memeriksa dan menyelesaikan suatu kasus tindak pidana harus memahami “manusia dan kemanusian” yang wajib dilindungi harkat dan martabat kemanusiannya. Sekalipun menyadari bahwa tujuan tindakan penegak hukum tidak boleh mengorbankan hak dan martabat tersangka atau terdakwa. Begitupun sebaliknya, demi untuk melindungi dan Sistem Akusator yaitu sistem saling berhadapan, dimana terdakwa menjadi subyek pemeriksaan, artinya terdakwa memiliki hak. Sehingga apabila terjadi ketidak absahan penangkapan dan penahanan yang dilakukan petugas, yang bersangkutan dapat mengajukan pemeriksaan Praperadilan.
Praperadilan merupakan suatu lembaga baru yang diintrodusir oleh KUHAP. Adapun fungsi yang dimiliki oleh lembaga peradilan adalah melakukan pengawasan horisontal terhadap adanya tindak penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh instansi kepolisian selaku penyidik dan instansi kejaksaan selaku penuntut umum. Pengawasan tersebut dilakukan karena merupakan bagian dari implementasi Integrated Criminal Justice System sebagai control dari asas accusatoir.

B.   Implementasi Lembaga Praperadilan untuk Perlindungan Hukum Hak-Hak Tersangka Khususnya Perlindungan dari Upaya Paksa        

Menurut penulis, sebenarnya praktik penerapan KUHAP dalam proses peradilan pidana di Indonesia sudah mencerminkan kemajuan dan kecenderungan untuk memperhatikan dan menghormati hak-hak asasi tersangka atau terdakwa. Yang penting menjadi landasan adalah memeriksa, meneliti beberapa pokok masalah KUHAP yang perlu disesuaikan dan disempurnakan untuk diperbaiki atau direvisi agar lebih aktual.
Lembaga Praperadilan diperuntukan demi mendapatkan rasa keadilan dan penegakan hukum serta agar tindakan hukum dari para penegak hukum tidak semena-mena terhadap masyarakat kecil, maka tindakan dari Aparat Penegak Hukum yang ada di daerah , agar tindakannya betul-betul berdasarkan hukum yang berlaku dan tidak berdasarkan kewenangan saja selagi memangku jabatannya atau selaku aparat.
Alasan dasar permohonan praperadilan adalah :
  1. PENANGKAPAN
Sebelum  dilakukan suatu penangkapan oleh pihak kepolisian maka keabsahan penangkapan ada pada syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan syarat materiil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu tindak pidana. Sedangkan syarat formil adalah adanya surat tugas, surat perintah penangkapan serta tembusannya.
Syarat formil :
1.    Penangkapan dilakukan dengan Surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa, tidak salah mengenai orangnya.
2.    Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada.( Tertangkap tangan tetapi  ada Surat Perintah Penangkapan )
3.    Tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
4.    Penangkapan sebagaimana dimaksud dapat dilakukan untuk paling lama satu hari, Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24 jam, tersangka tetap diperiksa dan tidak ada surat perintah untuk melakukan penahanan, maka tersangka berhak untuk segera dilepaskan.
5.    Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah .
Syarat materiil : Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup seperti : seminimnya 2 alat bukti, ada tidaknya tindak pidananya, sehingga ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.

2.  PENAHANAN
a.  Syarat  Subyektif
Dinamakan syarat subyektif karena hanya tergantung pada orang yang memerintahkan penahanan tadi, apakah syarat itu ada atau tidak. Syarat subyektif ini terdapat dalam Pasal 21 Ayat (1), yaitu:
1)  Tersangka/terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana;
2)  Berdasarkan bukti yang cukup;
3)  Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa: 
a)  Akan melarikan diri        
b)   Merusak atau menghilangkan barang bukti
c)   Mengulangi tindak pidana.
b.  Syarat Obyektif.
Dinamakan syarat obyektif karena syarat tersebut dapat diuji ada atau tidak oleh orang lain. Syarat obyektif ini diatur dalam Pasal 21 Ayat (4) KUHAP yaitu:
1)  Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
2)  Tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari lima tahun, tetapi ditentukan dalam:
a)  Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:  Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1) , Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1). Pasal 372, Pasal    378, Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, Pasal 506;
b)  Pelanggaran terhadap Ordonantie Bea dan Cukai;
c)  Pasal 1, 2 dan 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 (Tindak Pidana Imigrasi) antara lain: tidak  punya dokumen imigrasi yang sah, atau orang yang memberikan pemondokan atau bantuan kepada orang    asing yang tidak mempunyai dokumen imigrasi yang sah;
d)   Tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Berdasarkan uraian kedua syarat tersebut yang terpenting adalah syarat obyektif sebab penahanan hanya dapat dilakukan apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 21 Ayat (4) KUHAP itu dipenuhi. Sedangkan syarat yang terkandung dalam Pasal 21 Ayat (1) KUAHP biasanya dipergunakan untuk memperkuat syarat yang terkandung dalam Pasal 21 Ayat (4) KUHAP dan dalam hal-hal sebagai alasan mengapa tersangka dikenakan perpanjangan penahanan atau tetap ditahan sampai penahanan itu habis. Dalam melaksanakan penahanan terhadap tersangka/ terdakwa, maka pejabat yang berwenang menahan harus dilengkapi dengan  Surat perintah penahanan dari Penyidik, Surat perintah penahanan dari Jaksa Penuntut Umum atau Surat penetapan dari Hakim yang memerintahkan penahanan itu.
Tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan Surat Perintah penahanan atau penahanan lanjutan yang berisikan Identitas Tersangka/Terdakwa, Alasan Penahanan, Uraian Singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan, dan Tempat dimana Tersangka/Terdakwa ditahan. Tembusan Surat Perintah Penahanan atau Penahanan Lanjutan atau Penetapan Hakim itu, harus diberikan kepada keluarga Tersangka/Terdakwa dengan didukung bukti penerimaan ( Ekspedisi )
Tidak didukung dengan bukti yang cukup, melebihi limit waktu penahanan, penahanan bukan untuk kepentingan pengadilan (perkara sudah P.21  tetapi perpanjangan penahanan masih dilakukan.
Untuk lebih memahami implementasi Lembaga Praperadilan, maka penulis mencoba mengkaji Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Tenggarong Nomor 02/Pen.Pra/2012/PN.Tgr dengan Pemohon Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga yang amar putusannya menyatakan gugur permohonan pemeriksaan praperadilan dari Pemohon Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga dan Membebankan biaya perkara kepada Pemohon sebesar Nihil, dengan fakta hukum sebagai berikut:
Terhadap perkara Pemohon Praperadilan atas nama Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga telah dilimpahkan oleh Kejaksaan Negeri Tenggarong ke Pengadilan Negeri Tenggarong pada hari Selasa tanggal 25 September 2012 di bawah register Pidana No. 394/Pid.B/2012/PN.Tgr dimana dengan adanya Pelimpahan Perkara tersebut dan telah dicatat dalam register maka proses pemeriksaan oleh Pengadilan Negeri telah dimulai.
Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyatakan bahwa “dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan Pemeriksaan mengenai Permintaan Kepada Praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur”.
Dengan didasarkan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP dihubungkan dengan fakta hukum tersebut di atas dimana perkara aquo sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Tenggarong dan sudah dicatat dalam register maka permohonan pemeriksaan praperadilan ini haruslah dinyatakan gugur dengan membebankan biaya perkara kepada Pemohon sebagaimana amar putusan ini.[77]

Setelah melihat tayangan video penangkapan Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga, penulis berpendapat :
1.    Bahwa Sdr. Arifuddin Semmangga sedang asik berbicara dengan seorang petugas dan terasa tidak ada masalah, setelah selang sekitar 30 menit datanglah sekelompok orang mungkin sekitar 20-30 orang berpakaiaan putih-putih yang mengaku dari Polres Kukar yang langsung menangkapnya, dengan tuduhan menbawa senjata tajam.
Apabila kita memahami bunyi pasal 17 KUHAP yang menyatakan bahwa ‘’Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup “. Istilah diduga keras berarti tidak boleh asal menduga, tidak boleh hanya menduga –duga saja melainkan dugaan keras bahwa seseorang akan melakukan tindak pidana, padahal Sdr. Arifuddin Semmangga tidak pernah mencabut dari sarungnya jadi bagaimana bisa dilakukan penangkapan dan atas dasar apa ? Siapa tahu barang tersebut adalah mainan?. Terkecuali Sdr. Arifuddin Semmangga mencabut dari sarungnya mungkinada indikasi melakukan tindak pidana. Sedangkan bukti permulaan yang cukup ini seminimnya dua alat bukti yang salin bersesuaian.
Kenapa petugas ini tidak melakukan Penyelidikan terlebih dahulu, untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana, kemudian Penyidikan jadi tidak asal saja.Kalau atas dalih petugas bahwa Sdr. Arifuddin Semmangga tertangkap tangan, apakah dapat dikatakan tertangkap tangan apabila yang menangkap sekitar 20-30 orang, itupun harus ada tindak pidana yang dilakukan.
2.    Melihat bahwa Sdr. Arifuddin Semmangga memiliki pondok disitu dan makan minum, tinggal disitu harusnya petugas berkesimpulan bahwa Sdr. Arifuddin Semmangga memang seorang petani, dan apabila memang benar bahwa yang dibawanya adalah parang untuk bertani, memotong batang singkong. Tentunya petani tidak melanggar membawa parang tsb, karenan penjelasan tentang senjata tajam yang dimaksud telah dijelaskan di dalam ayat 2 nya ( Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 ) yaitu bukan alat pertanian.
3.    Bahwa Sdr. Arifuddin Semmangga sudah tua renta, umurnya sekitar 84 Tahun, bagaimana mungkin akan melarikan diri.
Kesimpilan dari penulis bahwa apa yang dilakukan Petugas adalah melawan hukum, Upaya paksa yang dilakukan telah melanggar hak-hak manusia. Petugas seharusnya berpedoman ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dimana Penyidik di dalam melaksanakan tugasnya wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku sebagaimana digariskan di dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d jo. ayat (3) KUHAP. Apalagi bila mengkaji Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana digariskan di dalam:
Pasal 1 ayat (6) yang menyatakan:
“Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.

Pasal 13 menyatakan:
“Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a.    Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b.    Menegakkan hukum; dan
c.    Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.
Dari hasil Wawancara Penulis dengan Para Pihak yang bersangkutan diperoleh data :
1.    Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga ( Pemohon Praperadilan ) menyatakan: [78]
Bahwa, saya petani yang setiap harinya selalu mengerjakan pekerjaan di tanah/kebunnya di KM. 29 RT. 21 Dese Sebuntal, Kecamatan Marang Kayu, Kabupaten Kutai Kartanegara yang dikerjakan sejak tahun 1997 sampai dengan sekarang ini, dan saya memiliki Pondok dikebunya, tinggal, berteduh dan memasak di pondoknya. Pada tanggal 15 Agustus 2012 sewaktu saya sedang asik bekerja di kebun tersebut, tiba-tiba didatangi beberapa orang petugas kepolisian dari Polsek Marang Kayu dan Polres Kukar Tenggarong yang langsung melakukan penangkapan terhadap dirinya yang selanjutnya Pemohon dibawa ke Tenggarong dan dilakukan penahanan di Rutan Polres Kukar Tenggarong hingga saat sekarang ini (sejak mengajukan permohonan Pemeriksaan Praperadilan yang mungkin berlanjut sampai dengan adanya putusan Praperadilan ini).
Saya ditangkap di kebun dan petugas tidak menunjukkan/membawa Surat Perintah Penangkapan bahkan sewaktu ditanyakan masalah surat penangkapan tersebut, Petugas mengatakan jangan banyak bicara ikut saja dan selanjutnya saya disikap oleh salah seorang petugas dan dipaksa agar mengikuti saja dan menuju ke kendaraan. Selanjutnya langsung dibawa ke Mapolres Kukar Tenggarong dan setelah beberapa waktu lamanya barulah Pemohon disodorkan surat, ternyata adalah Surat Perintah Penangkapan.
Oleh karena saya tidak merasa bersalah telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang dituduhkan maka saya tidak bersedia menandatangani Surat Perintah Penangkapan serta Berita Acara Penangkapan maupun Berita Acara Penahanan yang disodorkan oleh Petugas Kepolisian di Kantor Polres Kukar.
Saya dalam pemeriksaan di Polres Kukar oleh Penyidik tidak didampingi kuasa hukum. Pemohon melalui keluarganya juga telah mengajukan permohonan Penangguhan Penahanan, tetapi ditolak. Padahal pemohon sekarang berusia 68 Tahun berdasarkan KTP yang seharusnya berusia 84 Tahun.
2.    Sdr. Zainal bin Arifudin ( anak Kandung Pemohon yang tidak mengetahui kejadian penangkapan Pemohon) yang menyatakan : [79]
Bahwa, benar keseharian bapak adalah di kebun bertani, tinggal dan menetap di pondoknya. Bapak memiliki Tanah seluas 43 Ha, yang terletak di KM. 29 RT. 21 Dese Sebuntal, Kecamatan Marang Kayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, dengan surat Kelompok Tani dan garapan Tahun 1997 ( Surat Asli ditunjukan kepada Penulis ).
Permasalahan ini dipicu dari Bapak menutup jalan hauling PT. MSJ karena merasa jika jalan hauling tersebut dibuat di atas tanah kebunnya yang sampai sekarang belum jelas mengenai ganti ruginya. Bapak juga pernah menutup jalan hauling tsb dengan menggunakan tali rafia pada tahun 2012. Dan permasalahan Bapak dengan PT. MSJ sudah berlangsung sejak 2008.
Bapak pernah mendapat ganti rugi dari PT. MSJ dengan total sebesar Rp. 93.000.000,- (sembilan puluh tiga juta rupiah), tetapi mengenai ganti rugi lahan belum sama sekali.
3.    Sdr. Akbar bin Arifuddin ( anak Kandung Pemohon yang mengetahui kejadian penangkapan Pemohon) yang menyatakan : [80]
Bahwa, benar Saya melihat proses penangkapan terhadap Bapak saya pada sore hari tanggal 15 Agustus 2012 di jalan hauling PT MSJ di daerah Marang Kayu Kabupaten Kutai Kartenegara dan saksi sempat merekam kejadian tersebut, penangkapan tersebut terjadi di jalan hauling PT. MSJ  yaitu kebun milik Bapak, berawal pada waktu bapak  menutup jalan hauling dengan menggunakan tali rafia sambil membawa parang di pinggang, setelah itu Bapak kembali bekerja di kebunnya memotong-motong batang ubi kayu untuk ditanam. Tidak lama kemudian Polisi berpakaian preman datang dan membentak-bentak Bapak di jalan hauling tersebut, kemudian petugas tersebut lalu menangkap bapaknya dan membawa ke Polres Kutai Kartanegara bersama dengan saya. Sesampainya di Polres, saya dan Bapak diperiksa dalam ruangan terpisah, kemudian bapak di tahan.
4.    Sdr. Indrajid Wahyu Bramantyo karyawan PT. MSJ menyatakan : [81]
Bahwa, benar Sdr. Arifuddin Semmangga sering menutup jalan hauling PT. MSJ. Padahal permasalahan antara PT MSJ dengan masyarakat sekitar sudah diselesaikan dan diserahkan kepada Pemerintah Daerah dan ada rekomendasi dari Pemerintah Daerah bahwa kawasan tersebut masuk dalam kawasan hutan dan kepada para penggarap hanya diganti tanam tumbuh di atasnya. Dan Sdr. Arifuddin Semmangga  telah menerima ganti rugi sebesar Rp. 88.000.000,- ( delapan puluh delapan juta rupiah ).
5.    Brigpol I Made Sampun ( Anggota  Polres Kukar yang melakukan penangkapan ) menyatakan : [82]
Bahwa, benar kejadian penangkapan tersebut terjadi pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2012 sekitar jam 16.30 sore hari di jalan Hauling PT MSJ di daerah Marang Kayu Kabupaten Kukar, berdasarkan Surat Perintah untuk mengamankan daerah tersebut karena ada penutupan jalan hauling. Saya melihat Sdr. Arifuddin Semmangga sedang berbicara dengan petugas di jalan hauling tersebut sambil membawa parang yang digantung di pinggang kirinya. Kemudian saya menangkapnya dan membawa ke Polres Kukar untuk diserahkan kepada Penyidik.
Sdr. Arifuddin Semmangga telah tertangkap tangan membawa parang sehingga langsung saya amankan, tidak perlu memerlukan Surat Perintah Penangkapan.
6.    Brigpol Bambang Wahyudi ( Penyidik Polres Kukar ) menyatakan : [83]
Bahwa, benar pada tanggal 15 Agustus 2012 masuk laporan polisi model A an terlapor Sdr. Arifuddin Semmangga. Kemudian saya mengadakan pemeriksaan kepada Sdr. Arifuddin Semmangga tanpa didampingi kuasa hukumnya dan berdasarkan hasil pemeriksaan lalu dikeluarkan penahanan. Saya melihat brang bukti parang tersebut dan mencabut parang tersebut dari sarungnya dimana satu sisinya tajam dan sisi lainnya tumpul, lalu memperlihatkan parang tersebut kepada Sdr. Arifuddin Semmangga dan diakui sebagai parang yang dibawanya.
7.    Kompol Muh. Daud, SH., MH ( Kuasa Termohon ) menyatakan : [84]
Bahwa, petugas sesuai dengan Surat Perintah Kapolres Kutai Kartanegara Nomor: Sprin/969/VIII/2012, tanggal 15 Agustus 2012 tentang sedang melaksanakan tugas dan tanggung jawab pengamanan di lokasi kerja PT. Mahakam Sumber Jaya di Desa Sebuntal, Kecamatan Marang Kayu, Kabupaten Kutai Kartanegara dan pada saat sedang melaksanakan pengamanan tersebut mendapati Sdr. Arifuddin Semmangga sedang melakukan penutupan jalan houling di lokasi kerja PT Mahakam Sumber Jaya tersebut dengan membawa 1 (satu) bilah parang lengkap dengan sarungnya yang terbuat dari plastik yang diikatkan di pinggangnya maka Sdr. Arifuddin Semmangga diamankan dan ditangkap.
Sdr. Arifuddin Semmangga ditangkap oleh petugas dalam keadaan tertangkap tangan dan bukan dalam keadaan sedang asik bekerja di kebun, dan proses penangkapan dan penahanannya sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pada saat Proses penangkapan  Sdr. Arifuddin Semmangga sedang membawa senjata tajam yang tidak dilengkapi dengan surat ijin membawa senjata tajam yang dikeluarkan oleh aparat yang berwenang sehingga apabila petugas tidak mengamankan maka akan bertentangan dengan undang-undang.
Surat Perintah Penangkapan Kapolres Kutai Kartanegara Nomor SP.Kap/130/VIII/2012/Reskrim dan Berita Acara Penangkapan tanggal 15 Agustus 2012 an. Tersangka Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga dan Surat Perintah Penahanan Kapolres Kutai Kartanegara Nomor SP.Han/97/VIII/2012/Reskrim dan Berita Acara Penahanan tanggal 16 Agustus 2012 an. Tersangka Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga adalah Sah Menurut Hukum. Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga tidak mau menandatangani Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan
Benar bahwa, Kapolres Kukar tidak mengabulkan permohonan penangguhan penahanan Pemohon juga sudah sesuai dengan ayat (1) Pasal 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi, Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Oleh karena Sdr. Arifuddin Semmangga dikhawatirkan akan mengulangi lagi tindak pidana tersebut. Sdr. Arifuddin Semmangga diduga keras melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dengan ancaman 10 tahun penjara.
Bahwa, Sdr. Arifuddin Semmangga terlalu prematur mengajukan tuntutan ganti rugi karena:
Bahwa sampai saat ini belum ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap perkara pokoknya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi “Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP hanya diajukan dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap”, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat pemberitahuan penetapan praperadilan.
Bahwa dari isi Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tersebut di atas jelaslah bahwa Pemohon baru dapat mengajukan ganti rugi setelah perkara pokoknya mempunyai putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yaitu putusan pengadilan yang memutuskan tentang sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan tersebut.
8.    Kompol Supartono, SH ( Kuasa Termohon ) menambahkan : [85]
Bahwa, yang dimaksud senjata tajam adalah dimana satu sisinya tajam dan sisi lainnya tumpul, memang kepolisian tidak melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang senjata tajam dan surat ijin membawa senjata tajam.
Padahal perlu-tidaknya seorang tersangka atau terdakwa didampingi penasihat hukum semata-mata hanyalah soal hak, yaitu hak untuk didampingi penasihat hukum. Kalau seorang tersangka atau terdakwa menyatakan tidak bersedia didampingi penasihat hukum, sekalipun hal itu diberikan atas penunjukan pengadilan melalui sebuah penetapan tertulis (misalnya dalam hal ancaman pidana terhadap terdakwa diatas 15 tahun), hal tersebut tidak berlaku sepanjang tersangka atau terdakwa tetap keberatan dan tidak bersedia didampingi penasihat hukum.
9.    H. Djasman Kasto, SH ( Kuasa Hukum Pemohon Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga ) menyatakan : [86]
Bahwa, Sdr Arifuddin Semmangga adalah petani yang setiap harinya selalu mengerjakan pekerjaan di tanah/kebunnya di KM. 29 RT. 21 Dese Sebuntal, Kecamatan Marang Kayu, Kabupaten Kutai Kartanegara yang dikerjakan sejak tahun 1997 sampai dengan sekarang ini. Pada tanggal 15 Agustus 2012 sewaktu sedang asik bekerja di kebun tersebut, tiba-tiba didatangi beberapa orang petugas kepolisian dari Polsek Marang Kayu dan Polres Kukar Tenggarong yang langsung melakukan penangkapan terhadap dirinya yang selanjutnya Arifuddin Semmangga dibawa ke Tenggarong dan dilakukan penahanan di Rutan Polres Kukar Tenggarong hingga saat sekarang ini (sejak mengajukan permohonan Pemeriksaan Praperadilan yang mungkin berlanjut sampai dengan adanya putusan Praperadilan ini). Yang mana petugas tidak menunjukkan/membawa Surat Perintah Penangkapan bahkan sewaktu ditanyakan masalah surat penangkapan tersebut, Petugas mengatakan jangan banyak bicara ikut saja dan selanjutnya Sdr Arifuddin Semmangga disikap oleh salah seorang petugas dan dipaksa agar mengikuti saja dan menuju ke kendaraan. Selanjutnya langsung dibawa ke Mapolres Kukar Tenggarong dan setelah beberapa waktu lamanya barulah disodorkan surat, ternyata adalah Surat Perintah Penangkapan, dan dituduh telah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 yang berbunyi:
“Barangsiapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata penusuk (slag steck of stoot wapen), dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun”.

Sedangkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 berbunyi:
“Dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk dalam pasal ini, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dimaksudkan untuk dipergunakan pertanian atau untuk pekerjaan-pekerjaan rumah tangga atau untuk kepentingan melakukan dengan sah pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib (merkwaargheid)”.

Apabila kita mengkaji dari kasus yang menyangkut masalah senjata tajam, ternyata ada kasus yang sama dengan kasusnya Pemohon sampai pada tingkat Kasasi yang telah diputuskan oleh Majelis Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 103.K/Kr/1975 tanggal 12 Agustus 1976 yang menyatakan:
 “Buat seorang petani, arit, cangkul, dan parang adalah alat pekerjaan sehari-hari yang tidak dapat dianggap termasuk senjata tajam yang dimaksud oleh Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951”.

Selanjutnya Sdr.Arifuddin Semmangga tidak merasa bersalah sehingga tidak bersedia menandatangani Surat Perintah Penangkapan serta Berita Acara Penangkapan maupun Berita Acara Penahanan yang disodorkan oleh Petugas Kepolisian di Kantor Polres Kukar. Kalaupun tuduhan itu benar, dimana ternyata membawa parang (mandau) hanyalah dipergunakan untuk bekerja di kebun, bukan dipergunakan untuk mengancam seseorang atau orang lain.
Dan petugas hanya membaca suatu ketentuan perundang-undangan hanya sebagian-sebagian/sepotong-sepotong saja, sehingga tidak menguasai/memahami apa yang dimaksud dengan senjata tajam sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, dan tidak dibenarkan untuk ditafsir sendiri. Apabila petugas tetap berpendapat/berpendirian seperti tersebut di atas (para petani dilarang membawa, memiliki, menguasai, menggunakan senjata tajam) berarti secara langsung atau tidak langsung Termohon menghambat program Pemerintah Cq Menteri Pertanian dan Tanaman Pangan untuk meningkatkan kebutuhan pangan bagi rakyat Indonesia di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lalu dengan alat apa masyarakat petani untuk berkebun dalam upayanya meningkatkan produksi pangannya? Oleh karena perbuatan petugas sudah menyimpang dari ketentuan hukum, maka sudah tepat bila Penyidik dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Sedangkan senjata parang yang dibawa oleh Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk adalah sebagai alat bekerja di kebunnya sebagaimana layaknya seorang petani .Kalau seorang pertani yang membawa parang pulang pergi atau berada di kebunnya ditangkap oleh Kepolisian , lalu bagaimana dengan para pedagang buah-buahan , pedagang daging atau pedagang lainnya , yang jelas-jelas selalu membawa , menggunakan senjata tajam , begitu juga bagaimana dengan para pedagang alat-alat pertanian dipasar maupun yang menjajakan parang, pisau , arit ( celurit ) yang masuk desa keluar desa maupun kota yang jelas-jelas mereka termasuk juga membawa , menyimpan dan tidak memiliki izin untuk berdagang atau membawa senjata tajam ? 
Mengapa mereka itu tidak dilakukan penangkapan oleh Penyidik / Polisi sebagaimana yang telah dilakukan terhadap Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk dan Zainal Arifuddin?.
Dari pihak keluarga Sdr Arifuddin Semmangga telah pula mengajukan permohonan penangguhan penahanan kepada Kapolres Kukar, yang dapat dikatakan tidak mendapat tanggapan yang positif bahkan Kapolres Kukar melakukan permohonan untuk perpanjangan penahanan ke Jaksa Penuntut Umum dan oleh Jaksa Penuntut Umum permohonan tersebut telah terlanjur dikabulkan sehingga membawa akibat Sdr Arifuddin Semmangga tetap ditahan terus di Polres Kukar.
Sehingga jelas bahwa penangkapan tersebut tanpa didasarkan bukti permulaan yang cukup, atau setidak tidaknya dua alat bukti yang saling bersesuaian ( sesuai dengan pasal 17 KUHAP ), yang nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan hukum.
10. Riyono Pratikto, SH ( Kuasa Hukum Pemohon Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga ) menambahkan :[87]
Bahwa, penangkapan dan Penahanan oleh Penyidik Polres Kutai Kartanegara adalah tidak sah dan atau tidak mempunyai kekuatan hukum dengan alasan:
-       Petugas dari Polsek Marang Kayu dan Polres Kutai Kartanegara pada saat penangkapan tidak menunjukkan Surat Perintah Penangkapan dengan dalih tertangkap tangan padahal berdasarkanpasal 1 ayat 19 KUHAP yang dimaksud tertangkap tangan adalah adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu. Tindak pidana apa yang dilakukan ?
-       Sdr Arifuddin Semmangga membawa parang dalam kapasitasnya sebagai Petani dan tidak bisa dikategorikan sebagai senjata tajam sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Bahwa alasan dari Kepolisian melakukan tindakan penangkapan dan penahanan tersebut karena Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk tertangkap tangan membawa senjata tajam di kebunnya / jalan Holling yang dianggap telah melanggar pasal 2 ayat (1) U.U. Darurat No. 12 Tahun 1951 ( senjata tajam ). penangkapan mencapai lebih kurang sebanyak 30 (tiga puluh) orang / personil. Logikanya hanyalah ada beberapa anggota Polisi saja yang sedang melakukan patroli , lalu melihat seseorang yang sedang melakukan perbuatan melawan hukum maka dilakukan penangkapan , karena telah melanggar suatu ketentuan hukum ( dalam perkara ini karena telah melanggar pasal 2 ayat (1) U.U. Darurat No. 12 Tahun 1951 ) .
Ditambahkan lagi bahwa :[88]
Karenanya penyidikannya belum selesai selama masa penahanan oleh Penyidik untuk selama 20 ( dua puluh ) hari , maka dimintakanlah perpanjangan penahanannya ke Kejaksaan Negeri Tenggarong dengan surat dari Kapolres Kukar No. B/97.a/VIII/ 2012/Reskrim tgl. 28 Agustus 2012 ; dan KEJARI TENGGARONG dengan suratnya No. Print/1190/Q.4.12/ Euh.1/08/2012 , telah memberikan perpanjangan penahanan .
Timbullah masalah / pertanyaan yaitu pasal berapa yang menjadi dasar hukumnya sehingga KAJARI memberikan perpanjangan penahanan terhadap tersangka Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk , sedang perbuatannya bukanlah merupakan perbuatan Kejahatan sesuai dengan makna bunyi pasal 2 ayat (2) U.U. Darurat No. 12 Tahun 1951 ? .
Apakah permohonan perpanjangan penahanan dari Penyidik itu harus selalu dikabulkan sedang landasan hukumnya tidak ada atau tindak pidananya tidak ada ? .
Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 2 ayat (2) U.U. Darurat No. 12 Tahun 1951 ; yaitu bagi petani memiliki kebebasan untuk menyimpan , membawa , menggunakan alat-alat pertaniannya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, kuasa hukum pemohon praperadilan mengemukakan pendapat sebagai berikut:

1.    Bahwa tersangka berumur 84 tahun apakah mungkin dapat melakukan tindak pidana.
2.    Menurut pengacara Riyono Pratikto, SH mengenai keterangan penyidik I Made Sampun, bahwa dia menangkap tersangka di lokasi, tetapi dia tidak bisa mendefinisikan apa itu penyelidikan dan apa itu penyidikan. Atas dasar tertangkap tangan ( Penulis hadir dalam persidangan tsb ).[89]
Pada pelimpahan berkas perkara Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semangga yaitu :
1.    Kejaksaan Negeri Tenggarong pada tgl. 14 September 2012 telah menerima penyerahan tahap pertaman berkas perkara a/n Tersangka Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk untuk dilakukan penelitian oleh Jaksa Penuntut Umum ( JPU ) atas kelengkapan berkas perkara tersebut .
2.  Kejaksaan Negeri Tenggarong pada tgl. 14 September 2012 itu juga dengan suratnya No. B/1664/Q.4.12/Sp.1/09/2012 .- menyatakan bahwa hasil penyidikan dinyatakan telah lengkap ( P. 21 ) kepada Penyidik / Kapolres Kukar ( Tenggarong ) .
Kami merasa salut atas pekerjaan JPU a/n BAMBANG ARIYANTO , SH yang telah dapat menyelesaikan penelitian satu berkas perkara hanya dalam waktu beberapa jam saja atau tidak lebih dari 24 ( dua puluh empat ) jam . Mudah-mudahan pekerjaan seperti itu dapat diikuti oleh para Jaksa lainnya sehingga kegiatan penegakan Hukum pada KEJARI TENGGARONG atau dalam wilayah Kabupaten KUKAR dapat berjalan lancar sebagaimana diharapkan oleh masyarkat dalam Reformasi hukum pada saat sekarang ini .[90]
Hanya yang mengherankan bagi kami ( pada saat masih memegang SURAT KUASA  dari Termohon Praperadilan ) terhadap hasil kerja JPU a/n BAMBANG ARIYANTO , SH / KAJARI TENGGARONG yang secara tidak langsung menentukan bahwa perbuatan Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk sebagai seorang petani yang membawa senjata parang sebagai alat untuk bekerja dikebunnya dianggap telah melakukan suatu kejahatan sebagaimana diatur didalam pasal 2 ayat (1) U.U. Darurat No. 12 Tahun 1951 .[91]
Apakah beliau tidak membaca bunyi pasal 2 ayat (2) U.U. Darurat No. 12 Tahun 1951 yang secara tegas menyatakan bahwa : [92]
  Dalam pengertian senjata pemukul , senjata penikam atau senjata penusuk ini , tidak termasuk barang yang nyata-nyata dimaksud dipergunakan untuk pertanian atau untuk pekerjaan – pekerjaan atau yang nyata-nyata  mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib (merkwaardigheid ) “ .
Begitu juga , apakah seorang Jaksa Penuntut Umum hanya mengikuti begitu saja dari suatu berkas perkara yang ditentukan dan dikirim oleh Penyidik ? . [93]
Misalnya bila Penyidik menentukan seorang tersangka diduga telah melanggar pasal 2 ayat (1) U.U. Darurat No. 12 Tahun 1951 , lalu JPU mengikuti begitu saja tanpa memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku seperti layaknya pasal 2 ayat (1) U.U. Darurat tersebut ??? .
Menurut pandangan kami tidak demikian .[94]
Bahwa seorang JPU dapat saja menentukan bahwa perbuatan Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk bukanlah suatu pelanggaran atau kejahatan dengan memperhatikan bunyi pasal 2 ayat (2) U.U. Darurat tersebut  yang secara jelas / tegas menyatakan  : “ . . . . . dst . . . . tidak termasuk barang yang nyata-nyata dimaksud dipergunakan untuk pertanian atau untuk pekerjaan – pekerjaan atau yang nyata-nyata  mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib ( merkwaardigheid )  “ . Sedangkan sebagai seorang Jaksa didalam melaksanakan tugas pekerjaannya tentunya juga berpedoman pada pasal 8 ayat (2) jo (3) jo (4) U.U. No. 16 Tahun 2004 tentang KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA .[95]
3.  Sebagai seeorang Jaksa Penuntut Umum sewaktu melakukan penelitian berkas perkara , tentunya membaca bahwa Berita Acara Pemeriksaan Tersangka tertanggal 16 Agustus 2012 yang dibuat / dilakukan  oleh Brigpol BAMBANG WAHYUDI Nrp. 81030361 jabatan selaku Penyidik Pembantu , ternyata pemeriksaan terhadap Tersangka Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk tanpa didampingi oleh Penasehat Hukum ; sedangkan ancaman hukuman terhadap kejahatan yang disangkakan tersebut kepada Tersangka diancam dengan hukuman sebagaimana ditentukan didalam pasal 2 ayat (1) adalah “ hukuman penjara sementara selama-lamanya sepuluh tahun “ .[96]
Sedangkan pasal 56 sendiri telah mengatur bagaimana seorang penyidik yang melakukan pemeriksaan / penyidikan terhadap seseorang yang disangka dan diancam dengan pidana diatas lima tahun wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka .
Dengan demikian jelaslah bahwa perbuatan Penyidik dan / atau JPU seperti itu tentunya sudah merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana digariskan didalam pasal 56 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) / U.U. No. 8 Tahun 1981 .
4.  Mengapa JPU tersebut tidak menyatakan kepada PENYIDIK agar pemeriksaan (sewaktu penyidik melakukan penyidikan atau membuat Berita Acara pemeriksaan ) terhadap tersangka WAJIB didampingi oleh Penasehat Hukum dan karenanya berkas perkara itu jelas tidak / belum lengkap . [97]
Sebetulnya / seharusnya J P U  menyatakan berkas perkara tersebut belum lengkap ; tidak sebagaimana dalam Suratnya KAHARI Tenggarong pada tgl. 14 September 2012 dengan No. B/1664/Q.4.12/ Sp.1/09/2012 .- yang menyatakan bahwa hasil penyidikan telah lengkap ( P. 21 ) . ( Berdasarkan alat bukti tertulis yang diajukan oleh Termohon Praperadilan didalam persidangan ) . Dengan demikian kami beranggapan JPU yang menangani perkara tersebut telah menyimpang dari ketentuan hukum sebagaimana yang telah digariskan didalam pasal 2 ayat (1) U.U. Darurat No. 12 Tahun 1951 dan pasal 8 ayat (2) jo (3) jo (4) U.U. No. 16 Tahun 2004 tentang KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA .[98]
Pada Pengadilan Negeri Tenggarong berkas perkara Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semangga yaitu :

1.  Pada Pengadilan Negeri Tenggarong , pada tanggal 25 September 2012 telah menerima berkas perkara a/n Terdakwa Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk yang pada hari itu juga telah di Register , dan telah menunjuk Majelis Hakim untuk menangai atau memeriksa dan mengadili berkas perkara tersebut dengan Nomor : 394/Pid.B/2012/PN-Tgr , tanggal 25 September 2012 oleh Ketua Pengadilan Negeri Tenggarong  ( sebagaimana dalam pertimbangan Hakim Praperadilan dalam perkara permohonan PRAPERADILAN pada halaman 31 alinia pertama ) sedangkan pada tanggal 25 September 2012 atau pada tanggal 26 September 2012 ; Ketua Pengadilan Negeri Tenggarong telah menunjuk Majelis Hakim dalam perkara No. 394/Pid.B/2012/ PN-Tgr yang terdiri dari:
Ketua Majelis                : H. Rasyikin Azis , SH , MH ;
Hakim Anggota             : Putu , SH ;
Hakim Anggota             : Zulkarnain , SH .
Panitera Pengganti         : Marlisye Pardin , SH ;
Majelis Hakim sendiri belum menentukan hari , tanggal persidangan untuk perkara tersebut.
Berdasarkan uraian diatas maka timbullah pertanyaan bagi Penasehat Hukum Terdakwa sejak kapan suatu perkara utama / pokok ( perkara No. 394/Pid.B/2012/PN-Tgr ) dinyatakan “ sudah mulai di periksa oleh Pengadilan Negeri “ , sesuai dengan makna pasal 82 ayat (1) huruf b ? .[99]
Kami Penasehat hukumnya Terdakwa berpendapat bahwa :
  sudah mulai di periksa oleh Pengadilan Negeri “ adalah  apa bila setelah Majelis Hakim yang ditugaskan memeriksa dan mengadili perkara No.  394/Pid.B/2012/PN-Tgr telah duduk di meja per - sidang - an dan menyatakan sidang dibuka dan terbuka untuk umum ; walaupun belum memerintahkan kepada Jaksa Penuntut Umum ( JPU ) untuk membacakan surat dakwaannya “ .
2.  Demikian pula halnya Majelis Hakim tersebut dalam hal melakukan penahanan terhadap Terdakwa Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk juga menimbulkan suatu pertanyaan bagi Penasehat hukumnya yaitu :
Apa yang menjadi landasan / dasar hukum – nya sehingga Majelis Hakim dalam perkara No. 394/Pid.B/2012/PN-Tgr Terdakwa a/n. Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk dilakukan penahanan ? , sedangkan dakwaannya terhadap Tersangka yang didakwakan telah melakukan kejahatan melanggar pasal 2 ayat (1) U.U. Darurat No. 12 Tahun 1951. [100]
Namun demikian bila memperhatikan bunyi pasal 2 ayat (2) U.U. Darurat itu sendiri menyatakan bahwa :
  pengertian senjata pemukul , senjata penikam atau senjata penusuk dalam pasal ini tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyta dimasukkan untuk dipegunakan guna pertanian , atau untuk pekerjaan-pekerjaan  rumah tangga atau untuk kepentingan melakukan dengan sah pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib ( merkwaardigheid ) “ .

Berdasarkan pasal 2 ayat (2) U.U. Darurat tersebut tidaklah tepat bila Terdawa Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk dituduh telah melanggar pasal 2 ayat (1) U.U. Darurat No. 12 Tahun 1951 , karena Terdakwa adalah seorang petani dan pada saat ditangkap berada disekitar kebunnya sendiri di Km. 29 atau di diwilayah desa Sebuntal , Kec. Marang Kayu , Kabupaten Kutai Kartanegara , karena  Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk tidak / belum melakukan suatu pelanggaran atau suatu kejahatan ( sesuai makna bunyi pasal 2 ayat (1) U.U. Darurat tersebut ) .
Apabila Majelis Hakim betul-betul berkeyakinan bahwa Terdakwa Arifuddin Semmangga alias Datuk telah melakukan kejahatan sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum ( melanggar pasal pasal 2 ayat (1) U.U. Darurat No. 12 Tahun 1951 ) juga menimbulkan suatu pertanyaan bagi Penasehat Hukum . ( Oleh karena Surat Kuasa Khusus yang pernah diberikan kepada kami , sejak pada tgl. 1 Oktober 2012 telah dicabut oleh yang bersangkutan ) dengan sendirinya tidak memiliki wewenang lagi mendampingi Terdakwa pada proses persidangan ) ; mengapa Majelis Hakim tidak menunjuk Pernasehat hukum lainnya untuk mendampingi Terdakwa selama dilakukan pemeriksaan di persidangan Pengadilan Negeri ? . Pada hal pada POS BANTUAN HUKUM di Pengadilan Negeri Tenggarong setiap hari selalu terbuka dan selalu ada Advokat / Penasehat Hukum ) .
Sedangkan pasal 56 ayat (1) U.U. No. 8 Tahun 1981 /KUHAP antara lain menyatakan     “ . . . . . . atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai Penasehat hukum sendiri , pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat  pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjukPenasehat Hukum bagi mereka “ .
Demikian pula halnya Majelis Hakim dalam melaksanakan tugasnya tentunya berlandas - kan pada peraturan perundang-undangan yaitu U.U. No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) , KUHP .
Juga tidak akan melepaskan / melupakan U.U. No. 4 Tahun 2003 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana digariskan / ditentukan dalam :
1.  Pasal 7 yang menyatakan :
“ Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan , penahanan , penggeledahan dan penyitaan , selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang “ .
2.  Pasal 6 ayat ( 2 ) :
  Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana , kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah  menurut undang-undang , mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dialkukan atas dirinya “ .

Berdasarkan atas uraian diatas secara langsung atau tidak langsung bahwa pihak Pengadilan  Negeri Tenggarong ( para pelaksananya ) didalam kegiatan penegakan hukum tidak sebagaimana mestinya bahkan dapat juga dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Disamping itu sudah seharusnya Penyidik cq anggota polisi dalam melaksanakan kewajibannya selaku Penyidik disamping bersandarkan pada KUHAP / U.U. No. 8 Tahun 1981 tentunya juga bersandarkan pada U.U. No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia , pada pasal 19 ayat (1) yang menyatakan :
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya , Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia  senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma Agama , Kesopanan , Kesusilaan serta menjunjung tinggi Hak Azasi Manuasia “ .

Apalagi bila kita memperhatikan ketentuan pasal 4 dan pasal 5 U.U. No. 2 Tahun 2002 yang secara jelas menyatakan , bahwa “ Kepolisian antara lain berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat , menegakkan hukum “ ; bukan kepentingan suatu perusahaan .
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Riyono Pratikto, SH.,[101] selaku kuasa hukum pemohon Praperadilan, diperoleh keterangan bahwa kuasa hukum pemohon praperadilan ingin mendapatkan kejelasan dari Ketua Mahkamah Agung RI yang menyangkut kata-kata “sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri” sebagaimana bunyi Pasal 82 ayat (1) huruf d UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP). Di dalam penjelasan pasal demi pasal dinyatakan “cukup jelas”, demikian pula di dalam penjelasan umum tidak diketemukan penjelasan yang menyangkut pengertian “sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri”.
Dalam praktek persoalan mengenai praperadilan sering terjadi dan kadang-kadang masih menjadi permasalahan karena tidak adanya persepsi dan penafsiran yang seragam dan hal itu terjadi karena KUHAP tidak mengaturnya.
Selama ini kami, Kuasa Hukum Pemohon Praperadilan memiliki/mempunyai pengertian “sudah mulai diperikda oleh Pengadilan Negeri adalah diawali dari Yang Mulia Ketua Majelis Hakim dalam perkara pidana tersebut telah duduk dimeja persidangan yang dilanjutkan dengan menyatakan “Sidang dalam perkara No. ..... atas nama terdakwa .... dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum, yang dilanjutkan dengan memukul palunya satu kali; walaupun Yang Mulia Ketua Majelis belum menyuruh kepada Jaksa Penuntut Umum untuk membacakan Surat Dakwaannya.[102]
Hasil wawancara penulis dengan Hakim Wahyudi said, SH., MH, Hakim yang memutus perkara tsb didapat keterangan apabila perkara aquo sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Tenggarong dan sudah dicatat dalam register maka permohonan pemeriksaan praperadilan ini haruslah dinyatakan gugur meskipun belum ditentukan hari sidangnya.[103]
Prakteknya, sering terjadi bahwa pengajuan tuntutan Praperadilan oleh tersangka atau keluarganya mengenai tidak sahnya penangkapan dan atau penahanan atas diri tersangka, sebelum pemeriksaan Praperadilan selesai, perkaranya sudah menjadi gugur, karena perkara pidana pokok sudah mulai disidangkan, sehingga berakibat tersangka tetap dalam tahanan, sedangkan mungkin Praperadilan akan memberikan keputusan tidak sahnya penangkapan dan atau penahanan.[104]
Putusan Praperadilan yang menyatakan gugur akibat dari mulai diperiksanya perkara pokok terhadap perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, maka pemeriksaan perkara praperadilan belum memeriksa materi pokok dari permohonan praperadilan tersebut dalam artian Hakim yang memeriksa permohonan praperadilan belum pada tahap mempertimbangkan apakah materi yang dijadikan obyek praperadilan telah sesuai dengan prosedur hukum ataukah tidak.
Dengan adanya putusan gugur tersebut yang mana belum diperiksanya obyek praperadilan, maka tertutup kemungkinan bagi pemohon untuk melakukan upaya hukum atas putusan tersebut, dimana upaya hukum tersebut sangatlah penting bagi pemohon untuk mengetahui keabsahan dari tindakan hukum (penangkapan dan atau penahanan) yang dilakukan oleh Pejabat tertentu berdasarkan kewenangannya terhadap diri tersangka. Seharusnya ada upaya hukum yang memberikan perlindungan hukum bagi mereka yang ditangkap, ditahan ataupun dihentikan penyidikan dan penuntutannya dimana perkara pokoknya telah diperiksa di sidang Pengadilan, apabila hal tersebut tidak dilakukan oleh pembuat undang-undang maka akan terjadi tindakan kesewenang-wenangan oleh pejabat yang melakukan hal-hal tersebut di atas.
 Tindakan sewenang-wenang tersebut akan kerap terjadi dengan alasan apabila terjadi permohonan praperadilan baik terhadap penyidik maupun Penuntut Umum, maka kedua pejabat tersebut dapat dengan leluasa melakukan upaya pelimpahan perkara ke Pengadilan Negeri dengan harapan akan dilakukan pemeriksaan terhadap perkara tersebut yang berakibat gugurnya permohonan praperadilan tersebut.
Wawancara dengan H. Djasman Kasto, SH menyatakan bahwa, saya adalah pensiunan jaksa, 32 tahun menjadi jaksa. Setidaknya jaksa paling cepat mempelajari satu berkas perkara adalah 14 hari, logikanya bagaimana mungkin jaksa dalam waktu 1 X 24 jam dapat menyelesaikan satu berkas perkara apabila tidak ada maksud-maksud tertentu, bukanya menyebabkan berkas tersebut asal-asalan jadi.[105]
Beliau menambahkan bahwa, dengan adanya putusan gugur tersebut maka kuasa hukum mengirimkan informasi ke Kejaksaan Agung, Kapolri, Mahkamah konstitusi dan mohon Fatwa kepada Mahkamah Agung.[106]
Cuplikan beberapa Surat Kabar tentang Praperadilan yang dinyatakan Gugur antar lain :
1.    Okezone : Henry Yosodiningrat ( Kuasa hukum susno Duadji ) menyatakan Yang menyebabkan gugurnya praperadilan yakni perkara pokoknya sudah diperiksa, yaitu perkara pokok yaitu Susno diduga menerima suap sebesar Rp400 juta. “Kalau itu sudah diperiksa di pengadilan, baru gugur. Menurutnya, apabila suatu kasus telah dinyatakan P21 (lengkap) maka proses selanjutnya masih panjang. Setelah P21 oleh jaksa kemudian dilimpahkan beserta barang bukti dan tersangkanya itu pelimpahan tahap dua. Lalu jaksa membuat dakwaan, kirim berkas perkara ke pengadilan dan kepaniteraan pidana lalu diserahkan ke ketua pengadilan, lalu diputuskan siapa hakimnya dan seterusnya. Prosesnya tidak dengan P21 gugur. Sekarang kalau dalam tujuh hari sudah disidangkan, ini perkara ajaib. Nggak yang P21 hari ini, minggu depan sudah disidangkan.[107]
2.    Bali Post : Strategi Kejari Denpasar dengan melimpahkan secara bersamaan perkara pokok dugaan korupsi Disparda Bali, terdakwa Gede Nurjaya dengan gugatan praperadilan yang diajukan kuasa hukum Suryatin Lijaya, SH. Hakim Agus Subekti, SH menyatakan gugatan praperadilan tersebut gugur dengan pertimbangan sidang pemeriksaan perkara pokok sudah dimulai. Suryatin Lijaya menyatakan tidak pernah mengakui gugatannya gugur, yang diakuinya, sidang perkara pokok sudah berjalan mendahului sidang gugatan praperadilan.[108]
3.    Harian Haluan : Hakim menilai, permohonan kedua pemohon I dan II tidak dapat dilanjutkan dan batal demi hukum. Hakim juga menyimpulkan bahwa penolakan praperadilan ini sudah cukup bukti yang mengacu kepada ketentuan yang berlaku.“Di sini kami melihat, sesuai dengan ketentuan pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP bahwa apabila perkara pokok sudah diperiksa oleh Pengadilan Negeri, maka tuntutan praperadilan gugur demi hukum, dan perkara pokok Roni cs sudah disidangkan,” kata hakim Deny. Hafnizal dan Jhonsirwan Bot serta Faisal B.M penasehat hukum termohon I dan II mengatakan, keputusan yang ditetapkan majelis hakim sudah tepat karena mengacu kepada aturan dan ketentuan yang berlaku.“Kami tetap menghargai upaya yang dilakukan pelaku, itu adalah haknya untuk bisa lepas dari ranah hukum, tetapi  proses peradilan harus tetap juga dilaksanakan. Sementara itu, Samaratul Fuad selaku PH kedua pemohon, cukup keberatan dengan putusan yang ditetapkan oleh hakim yang menolak dan membatalkan pra peradilan kliennya. Samaratul Fuad, SH menambahkan “Proses sidang pra peradilan kali ini cukup membinggungkan, jadwal sidang yang seha­rusnya jam 9.30 Wib, diundur sampai jam 12.30 Wib dan pihak jaksa mendahulukan agenda sidang perkara pokok terhadap kliennya,”. Dia menilai, jaksa terkesan memaksakan sidang pokok perkara agar bisa membatalkan praperadilan dengan acuan pasal 82 ayat 1 huruf d Kuhap. “Dalam hal ini, jaksa tidak pernah mela­kukan pemangilan terhadap kliennya, dan sepertinya ini dikondisikan agar sidang perkara pokok didahulukan. Di sini Jaksa telah melanggar pasal 145 ayat 3 jo 4 Kuhap dan pasal 146 ayat 1 Kuhap,” [109]
4.    Bangka Post : Perkara praperadilan yang dilayangkan pemohon tidak dapat dilanjutkan atau gugur karena perkara pokok sudah disidangkan. Ini berdasarkan Pasal 82 ayat 1 KUHAP,” Sutama membacakan putusan perkara praperadilan Kapolsek Jebus yang dilayangkan oleh Stefanus Thon, Melkyor Taunu, Ramidi, David Lake, Syahri, Alimin, Arifin dan Nerman melalui pengacaranya, Dulidi Ahmad.[110]
  1. Tempo.Co. Metro : Sidang Praperadilan Koko, anak yang dituduh mencuri, terancam batal. Pasalnya pengadilan negeri Cibinong sudah melakukan persidangan terhadap kasus Koko siang ini. Pengacara dari lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, M. Isnur mengatakan kemungkinan praperadailan akan batal jika pengadilan sudah dimulai. “Di KUHAP pra peradilan akan gugur kalau sidang dimulai.[111]
  2. Harian Jogja : Sidang lanjutan gugatan Praperadilan Kapolres Sragen atas penangkapan dan penahanan tersangka kasus dugaan penggelapan mobil di Pengadilan Negeri Sragen, Gugur. Keputusan Hakim Tunggal Sutrisno, SH yang menggugurkan gugatan Pemohon didasarkan atas perkara pokok sudah dilimpahkan ke PN Sragen dan mulai memasuki Sidang Perdana.[112]
  3. Papua Post : Meskipun proses penahanan dinilai oleh kuasa hukum tidak sesuai dengan prosedur, tetapi karena persidangan telah berjalan dan hakim telah menyatakan gugur berdasarkan putusan majelis hakim sesuai KUHAP pasal 82 hurup d yang menyatakan, sidang sudah berjalan, maka dengan sendirinya perkara tersebut gugur demi hukum.“Pengadilan Negeri menyatakan perkara tersebut gugur demi hukum.[113]
  4. Radar Bogor : Dalam putusan penetapan Nomor 01/PraPeradilan/ 2011/Pn.Bogor itu, menyatakan permohonan pemeriksaan praperadilan dianggap gugur, karena perkara pokok sudah disidangkan di Pengadilan Tipikor Bandung.[114]
  5. Suara merdeka : Gugatan praperadilan terhadap Bripka Sumanto dan Brigadir Budiyanto, keduanya anggota Polsek Sapuran, dan Sarimin (Kepala Polisi Resort Hutan Sapuran), dinyatakan gugur.''Sebab, perkara pokok sudah diperiksa, sudah disidangkan selisih satu hari dengan jadwal putusan Praperadilan.[115]
Keputusan sidang ini sudah bisa diprediksikan sebelumnya, sebab sidang pidana pokok perkara sudah digelar di tengah sidang praperadilan. Pasal 82 Ayat 1 KUHAP mengatur, jika sidang pidana pokok perkara digelar, maka praperadilan gugur," Sutaji SH, hakim praperadilan.[116]
  1. Harian gaung NTB : Dan untuk diketahui perkara pokok pemohon (tindak pidana pencurian dengan kekerasan) telah dimulai disidangkan 9 diperiksa ) oleh hakim Pengadilan Negeri Sumbawa Besar pada Kamis, 6 September 2012 (sidang perdana) pemeriksaan praperadilan belum selesai . “Dengan ini menyatakan permohonan praperadilan pemohon gugur, dan menghukum pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar 5000 rupiah.[117]
  2. Harian Tabengan : Saat sidang permohonan berlangsung, sidang dengan perkara pokok mulai sejak Rabu (30/5) pagi. Majelis Hakim Tunggal Eko Agus Siswanto memutuskan menggugurkan permohonan dengan alasan sidang perkara pokok telah mulai berjalan. Notoe yakin bila tidak terkendala libur maka ada kemungkinan permohonan diterima. Notoe bersama kliennya mengajukan administrasi permohonan sejak Kamis (24/5) lalu. Namun karena sidang baru dimulai, Senin (28/5), maka mereka hanya punya waktu 5 hari hingga Jumat. Mereka tidak menduga pihak Kepolisian mempercepat proses pelimpahan sehingga sidang materi pokok dimulai sebelum sidang praperadilan usai. [118]
Dari uaraian diatas dapat disimpulkan bahwa tentang putusan gugur. Menurut Pasal 81 Ayat (1) huruf d KUHAP, apabila perkara praperadilan belum selesai diperiksa, praperadilan harus diputuskan gugur apabila perkara pokoknya sudah mulai diperiksa/ disidangkan.Benar, bahwa tentang sah-tidaknya penangkapan atau penahanan yang tadinya dimohonkan praperadilan bisa saja diperiksa bersama-sama dengan pemeriksaan perkara pokok, sehingga tidak menjadi masalah andaikan praperadilan dinyatakan gugur karena perkara pokok sudah mulai diperiksa.
Akan tetapi alangkah mubazirnya lembaga peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang, apabila hanya dengan alasan perkara pokok sudah mulai diperiksa lantas praperadilan harus dinyatakan gugur.Ketentuan ini menjadi celah bagi penyidik maupun penuntut umum untuk menggugurkan praperadilan dengan cara buru-buru melimpahkan berkas perkara ke pengadilan. Segi negative yang timbul adalah karena pelimpahan itu tidak matang, akibatnya berkas perkara (khususnya surat dakwaan) yang diajukan ke pengadilan merupakan berkas perkara yang asal jadi.
Dapat dibayangkan apa yang terjadi misalnya kalau tindakan seperti ini dilakukan dalam menangani kasus-kasus megakorupsi, narkoba atau terorisme. Tidakkah hal ini akan membuat wajah penegakan hukum di negeri ini semakin buram?Mestinya ketentuan ini dihapuskan. Perlu diberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada pengadilan untuk memutus substansi setiap praperadilan. Dan lagi pula tenggat pemeriksaan praperadilan sudah dibatasi selama tujuh hari, mengapa kesempatan yang sangat singkat itu pun harus dirampas hanya dengan alasan telah dimulainya pemeriksaan perkara pokok oleh pengadilan negeri.
Sebagai negara yang berdasar atas hukum, kita harus konsekuen menerapkan praperadilan sebagai lembaga pengawasan horizontal oleh pengadilan negeri yang tidak setengah hati terhadap kinerja kepolisian dan kejaksaan. Apabila masih ada putusan gugur terhadap praperadilan hanya dengan alasan klise perkara pokok sudah mulai diperiksa, dikhawatirkan tujuan pengawasan itu tidak akan pernah tercapai.
Dampaknya ialah bahwa kepolisian dan kejaksaan merasa aman-aman saja melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum tanpa pernah merasa dapat diawasi sekalipun pengawasan itu diberikan berdasarkan undang-undang. Yang dirugikan adalah pihak yusticiabelen (pencari keadilan). Dan lagi pula, andaikan hakim praperadilan memutuskan penangkapan atau penahanan oleh penyidik atau penuntut umum tidak sah, hal tersebut tidak berdampak terhadap substansi perkara pokoknya. Sebab sesaat setelah putusan praperadilan memerintahkan terdakwa dikeluarkan dari dalam tahanan lantaran penahanan tidak sah (misalnya), saat itu juga pihak berwajib dapat melakukan penangkapan atau penahanan yang sah terhadapnya.
Hanya saja, sebagai lembaga yang modern dan profesional, baik kepolisian maupun kejaksaan harus siap mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan pengadilan apabila ia digugat ganti rugi secara perdata oleh pihak yang merasa dirugikan atas tindakan penangkapan atau penahanan yang dinyatakan tidak sah oleh putusan praperadilan.
Dalam hal praperadilan menyangkut sah-tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, jelas tidak berdampak terhadap persoalan materi perkara pokok karena memang sejak awal penyidik atau penuntut umum sudah menghentikan penyidikan atau penuntutannya.
Selanjutnya upaya hukum terhadap Putusan Praperadilan adalah final, tidak ada upaya banding, kasasi dan Peninjauan Kembali. Kecuali terhadap sah-tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat dimintakan banding.
Bahwa berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1983 tentang Hakim Tidak Dapat di Praperadilkan yang intinya menyatakan bahwa hakim tidak dapat diajukan ke sidang praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP. Alasannya adalah karena tanggung jawab yuridis  atas penahanan itu tetap pada masing-masing instansi yang melakukan penahanan (pertama) itu dan apabila yang melakukan penahanan (pertama) itu adalah hakim sendiri, maka penahanan itu adalah dalam rangka pemeriksaan oleh Pengadilan Negeri dimana Pasal 83 ayat (1)  huruf d berlaku terhadapnya. Oleh karena itu, apabila ada permintaan pemeriksaan praperadilan terhadap seorang Hakim atas dasar Pasal 77 KUHAP, maka permintaan tersebut harus ditolak, penolakan mana dapat dilakukan dengan surat biasa di luar sidang.
Menurut Romli Atmasasmita[119] untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah” yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu:
  1. Hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan.
  2. Hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum yang bersangkutan.
  3. Hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda.
  4. Hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan.
  5. Hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu.
  6. Hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan.
  7. Hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang bersangkutan.
  8. Hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.
Sejalan dengan Konvenan tersebut, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum.
Menempatkan tersangka bukan lagi sebagai objek yang terperiksa (accusatoir), maka dengan mengacu pada penjelasan umum butir 3 huruf c, asas presumption of innocent telah menjadi landasan dalam penerbitan KUHAP. Bahkan hak tersangka selama pemeriksaan telah ditegaskan dalam KUHAP yang harus dihormati dan diperhatikan oleh penyidik sebagai berikut:
  1. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat 1 KUHAP).
  2. Hak untuk dicatat keterangan yang diberikannya dengan seteliti-telitinya sesuai dengan kata-kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri (Pasal 117 ayat 2 KUHAP).
  3. Hak untuk meneliti dan membaca kembali hasil pemeriksaan sebelum tersangka menandatanganinya (Pasal 118 ayat 1 KUHAP).
Jaminan asas praduga tak bersalah dan prinsip pemeriksaan accusatoir ditegakkan dalam segala tingkat pemeriksaan. Untuk menopang asas praduga tak bersalah dan prinsip accusatoir dalam penegakan hukum. KUHAP telah memberi perisai kepada tersangka/terdakwa berupa seperangkat hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan dilindungi oleh aparat penegak hukum.


[50] Wawancara dengan AKP Apri Fajar, SIk tanggal 18 Oktober 2012
[51] Wawancara dengan H. Madli, SH  tanggal 12 Februari 2013
[52] Pemaparan Wahyudi Said, SH., MH., Tanggal 21 September 2012
[53] Ibid.,.
[54] Ibid.,
[55] Ibid.,
[56] Ibid.,
[57] Ibid.,
[58] Pemaparan AKP Supartono, SH., MH, Tanggal 17 Oktober 2012
[59] Pemaparan  Kompol Sukarman, SH , tanggal 17 Oktober 2012
[60] Ibid.,
[61] Wahyudi Said, SH., MH., Op.Cit
[62] Pemaparan Jaksa Bambang Irianto, SH, tanggal 20 Oktober 2012
[63]  Wahyudi Said, SH., MH, Op.Cit.
[64] Wawancara dengan H. Djasman Kasto, SH, tanggal 13 Desember 2012
[65] Wahyudi Said, SH., MH., Op.Cit.,
[66]  Ibid.,
[67]  H. Djasman Kasto, SH., Op.Cit.,
[68] Wahyudi Said, SH., MH,  Op.Cit.,
[69] Ibid.,
[70] Ibid.,
[71] H.Djasman Kasto, SH.,  Op.Cit.,
[72] Wawancara dengan H. Djasman kasto, SH, tanggal 13 Juni 2013
[73] Ibid.,
[74] H. Madli, SH, Op.Cit.,
[75] H.Djasman Kasto, SH. Op.Cit.,
[76] Ibid.,
[77] Cuplikan Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Tenggarong Nomor 02/Pen.Pra/2012/PN.Tgr
[78] Wawancara dengan Sdr Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga, Tanggal 10 Oktober 2012
[79] Wawancara dengan Sdr Zainal bin Arifuddin, Tanggal 10 Desember 2012
[80] Wawancara dengan Sdr Akbar bin Arifuddin, Tanggal 10 Desember 2012
[81] Wawancara dengan Sdr Indrajid Wahyu Bramantyo, Tanggal 20 November 2012
[82] Wawancara dengan Sdr I Made Sampun, Tanggal 15 November 2012
[83] Wawancara dengan Sdr Bambang Wahyudi, Tanggal 15 November 2012
[84] Pemaparan Kompol Muh. Daud, SH., MH, Tanggal 25 November 2012
[85] Pemaparan Kompol Supartono, SH, Tanggal 25 November 2012
[86]  Wawancara dengan H. Djasman Kasto, SH, Tanggal 2 November 2012

[87] Wawancara dengan Riyono Pratikto, SH, Tanggal 25 November 2012
[88] Ibid.,, Tanggal 29 November 2012
[89] Ibid.,
[90] Ibid.,,
[91] Ibid.,,
[92] Ibid.,,
[93] Ibid.,,
[94] Ibid.,,
[95] Ibid.,,
[96] Wawancara dengan H. Djasman Kasto, Op.Cit.
[97] Ibid.,
[98] Ibid.,
[99] Ibid.,
[100] Ibid.,
[101] Wawancara dengan Riyono Pratikto, SH., , pada tanggal 14 Desember 2012
[102] Ibid.,
[103] Pemaparan Hakim Wahyudi Said, SH., MH, tanggal 23 Oktober 2013
[104] S. Tanusubroto, 1983,  Op. cit, hal. 92
[105] Wawancara denga H. Djasman Kasto, SH. Tanggal 12 Juni 2013.
[106]  Ibid.,
[110] http://cetak.bangkapos.com/bisnis/read/258.html, Diakses tanggal 2 Februari 2013
[119] Romli Atmasasmita, dalam http://arisirawan.WordPress.com/2010/05/23