SUJIONO, SH., MH |
Law Office : 1. JL. BENGKURING RAYA A 10 SEMPAJA SAMARINDA EAST KALIMANTAN, dan 2. BRI TOWER JL. JEND. SUDIRMAN NO. 40 LT. 8 SUITE 801 B, BALIKPAPAN EAST KALIMANTAN. Email. sujiono.dan.ass@gmail.com., CP. 085250000236
Minggu, 17 Januari 2016
Kedudukan Barang Bukti dalam Sistem Pembuktian
Kedudukan
Barang Bukti dalam Sistem Pembuktian
Dalam
sub bab ini penulis akan membahas mengenai kedudukan barang bukti dalam sistem
pembuktian menurut KUHAP. Terkait erat
dengan masalah ini adalah mengenai kedudukan dari barang bukti dalam suatu
putusan pengadilan pidana.
Sebagaimana
yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, KUHAP tidak memberikan definisi
tentang apakah yang dimaksudkan dengan istilah “barang bukti”, tetapi dalam
Pasal 1 KUHAP tidak diberikan definisi tentang istilah tersebut.
Tulisan-tulisan
mengenai hukum pidana, istilah “barang bukti” ini sering juga disebut dalam
bahasa asing, yaitu Bahasa Latin: corpus delicti. Dalam suatu kamus elektronik, corpus delicti
dijelaskan sebagai “facts of crime: the
body of facts that show that a crime has been committed, including physical
evidence such as a corpse”[1] (fakta-fakta
kejahatan: keseluruhan fakta yang menunjukkan bahwa suatu kejahatan telah
dilakukan, yang mencakup bukti fisik seperti sesosok mayat).
Dalam
kamus yang lain, terlebih dahulu diberikan definisi tentang istilah corpus,
yaitu “1. A human or animal
body. 2. A collection of writings, generally on one subject or by one author.
3. The main part or mass of anything”[2] (1.
Tubuh manusia atau hewan. 2. Suatu himpunan tuoisan, umumnya atas satu pokok
atau oleh seorang penulis). Kemudian
terhadap istilah corpus delicti diberikan penjelasan “the essential fact of the commission of a
crime, as, in a case murder, the finding of the body of the victim”[3] (fakta
penting tentang dilakukannya suatu kejahatan, misalnya dalam kasus pembunuhan
ditemukannya tubuh korban).
Kutipan
di atas menunjukkan bahwa corpus
delicti merupakan
fakta (fact) tentang
dilakukannya kejahatan, di mana fakta ini berupa bukti fisik (physical evidence). Dalam Bahasa Indonesia, digunakannya istilah
barang bukti sudah langsung menunjukkan bahwa hal itu berupa suatu barang atau
benda.
Beberapa
contoh barang bukti dalam perkara pidana, yaitu:
1. Barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, misalnya senjata
api atau senjata tajam yang digunakan untuk membunuh atau melukai korban.
2. Barang yang merupakan hasil suatu tindak pidana, misalnya surat palsu.
3. Benda yang menjadi obyek dalam tindak pidana, misalnya narkotika dan
psikotropika yang menjadi obyek dalam jual beli narkotika/prikotropika;
Dengan
demikian, barang bukti merupakan bukti yang terkait amat erat berkenaan dengan
bersalahnya seorang terdakwa. Senjata
api atau senjata tajam yang digunakan untuk membunuh atau melukai korban,
merupakan bukti kesalahan terdakwa telah membunuh atau
melukai korban dengan senjata api atau senjata tajam tersebut. Narkotika/prikotropika yang menjadi obyek
dalam suatu jual beli narkotika/psikotropika, merupakan bukti tentang
bersalahnya terdakwa melakukan tindak pidana narkotika.
Pasal-pasal
KUHAP yang di dalamnya terdapat istilah “barang bukti”, yaitu:
1.
Pasal 5 ayat (1) huruf a butir 2: Salah satu
wewenang Penyelidik adalah mencari barang bukti;
2.
Pasal 8 ayat (3) huruf b: Dalam hal penyidikan
sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan
barang bukti kepada penuntut umum;
3.
Pasal 18 ayat (2): Dalam hal tertangkap tangan
penangkapan dilakukan tanpa surat
perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap
beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik peinbantu yang
terdekat;
4.
Pasal 21 ayat (1): Salah satu alasan perlunya
penahanan adalah dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan merusak
atau menghilangkan barang bukti;
5.
Pasal 181 ayat (1): Hakim ketua sidang
memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadaƱya
apakah Ia mengenal benda itu; yang dilanjutkan dengan Pasal 181 ayat (1): Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh
hakim ketua sidang kepada saksi;
6.
Pasal 194 ayat (1): Dalam hal putusan
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan
menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling
berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali
jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk
kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat
dipergunakan lagi;
7.
Pasal 203 ayat (2): Dalam Acara Pemeriksaan
Singkat, penuntut umum menghadapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa
dan barang bukti yang diperlukan;
Tetapi,
walaupun istilah barang bukti disebutkan dalam sejumlah pasal KUHAP, dan dalam
putusan pengadilan harus selalu ditetapkan dengan tegas tentang apa yang akan
dilakukan terhadap barang bukti, namun dalam pasal-pasal KUHAP tidak ada yang
menegaskan tentang kedudukan dari suatu barang bukti.
Berbeda
halnya dengan alat bukti, yang secara tegas disebutkan dalam pasal tentang
sistem pembuktian, yaitu Pasal 183 KUHAP, di mana ditentukan bahwa Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
Alat-alat
bukti yang sah, oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP, hanya dibatasi pada:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Dari
sudut tidak adanya ketentuan dalam
pasal-pasal KUHAP tentang kedudukan suatu barang bukti, dapat muncul
kesan bahwa pembentuk KUHAP memandang barang bukti sebagai suatu tambahan
semata-mata terhadap alat-alat bukti yang sah.
Dengan kata lain, barang bukti itu
sendiri bukan merupakan suatu alat bukti, melainkan merupakan bukti tambahan
belaka terhadap alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, yaitu sebagai bukti
tambahan terhadap alat bukti keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Sebenarnya,
jika kita mempelajari keseluruhan pasal-pasal KUHAP, barang bukti memiliki
kedudukan penting dalam suatu putusan pengadilan. Mengenai putusan pemidanaan, dalam Pasal 197
ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa surat
putusan pemidanaan memuat:
a. kepala putusan yang
dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA";
b. nama lengkap, tempat lahir,
umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana
terdapat dalam surat
dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun
secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang
diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan
terdakwa,
e. tuntutan pidana, sebagaimana
terdapat dalam surat
tuntutan;
f. pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai
keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya
musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan
terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana
disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa
biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan
mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau
keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa
ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut
umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;
Selanjutnya
dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan
dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan
putusan batal demi hukum.
Dalam
Pasal 197 ayat (1) KUHAP tercantum pada huruf d bahwa sebagai salah satu hal
yang harus dimuat dalam putusan pemidanaan adalah pertimbangan yang disusun
secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang
diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan
terdakwa.
Menurut
ketentuan dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP, pokok ini merupakan salah satu pokok
yang akan mengakibatkan putusan batal demi hukum jika tidak dimuat dalam
putusan pemidanaan yang bersangkutan.
Istilah
yang digunakan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP tersebut adalah istilah
“alat pembuktian”. Dalam pasal ini tidak
hanya disebut tentang “alat bukti” saja, melainkan “alat pembuktian”.
Pasal
lainnya di mana juga ada digunakan istilah “alat pembuktian”, yaitu Pasal 82
ayat (3) huruf d KUHAP yang mengatur mengenai Praperadilan. Pada Pasal 82 ayat
(3) huruf b KUHAP tersebut ditentukan bahwa, dalam hal putusan menetapkan bahwa
benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan
dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka
atau dan siapa benda itu disita.
Dari
rumusan Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP ini jelas bahwa selain benda yang
disita tetapi yang tidak termasuk alat pembuktian, ada juga benda yang disita
yang termasuk alat pembuktian.
Jadi,
dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan istilah alat pembuktian
mencakup juga benda yang disita.
Sekalipun dalam pasal ini yang digunakan adalah istilah “benda yang
disita”, bukan istilah “barang bukti”, tetapi jelas bahwa yang dimaksudkan dengan
“benda yang disita” itu adalah apa yang dalam hukum acara pidana dinamakan
“barang bukti”.
Konsekuensinya,
pengertian “alat pembuktian” dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, juga mencakup
semua yang dapat dijadikan bukti, yaitu meliputi baik alat bukti maupun barang
bukti.
Dengan
demikian, digunakannya istilah alat pembuktian dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP,
yang mencakup alat bukti dan barang bukti, menunjukkan barang bukti memiliki
kedudukan penting dalam sistem pembuktian.
Walaupun demikian, tidak disebutkannya istilah barang bukti dalam Pasal
183 KUHAP tentang sistem pembuktian dan tidak adanya ketentuan dalam KUHAP
untuk perlakuan khusus terhadap barang bukti, menimbulkan kesan bahwa barang
bukti hanya sekedar bukti tambahan terhadap alat bukti.
Berbeda
halnya dengan prosedur pemeriksaan di depan pengadilan di negara-negara dengan
sistem Common Law, yang
dikenal juga dengan istilah sistem Anglo-Saxon, seperti Amerika Serikat.
Konsep
mereka tentang corpus
delicti sebagai fakta, yaitu fakta telah dilakukannya suatu kejahatan, membawa
konsekuensi bahwa fakta itu harus diperiksa terlebih dahulu sebelum pemeriksaan
berkenaan dengan soal siapa pelaku kejahatan.
Dalam
kasus pembunuhan (murder), maka
di depan pengadilan harus dipastikan terlebih tentang adanya mayat dan apa
(benda) yang digunakan melakukan pembunuhan.
Mayat atau sisa mayat tidak perlu dibawa ke depan pengadilan tetapi ada
suatu keterangan seperti visum et
repertum. Untuk alat yang digunakan
untuk membunuh, misalnya pistol dan peluru, maka pistol dan peluru harus di
bawa ke depan pengadilan sebagai corpus delicti dan didengar keterangan ahli
balistik.
Jika
pembunuhan dilakukan dengan menggunakan suatu parang, maka petugas polisi yang
pertama kali menemukan parang itu perlu didengar terlebih dahulu, bagaimana
caranya ia menemukan alat (parang) itu dan bagaimana kondisi alat (parang) itu
waktu ditemukan.
Pemeriksaan
terhadap corpus delicti dilakukan
terlebih dahulu sebelum mendengar keterangan saksi (witness).
Hal ini karena fakta tentang benar-benar telah terjadi suatu kejahatan
harus dipastikan terlebih dahulu baru dapat melangkah pada pembuktian mengenai
siapa pelakunya.
Mengenai
barang bukti dalam hubungannya dengan apa yang perlu dimuat dalam suatu putusan
pengadilan, pada Pasal 194 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa,
Dalam
hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak
yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan
tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus
dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak
dapat dipergunakan lagi.
Dalam
Pasal 194 ayat (1) KUHAP ini dengan jelas dan tegas ditentukan bahwa jika dalam
suatu perkara pidana terdapat barang bukti, maka dalam putusan, baik putusan
pemidanaan, bebas maupun lepas dari segala tuntutan hukum,
harus ditetapkan tentang apa yang harus dilakukan terhadap barang bukti
tersebut.
Kemungkinan-kemungkinan
yang disebut dalam pasal ini adalah sebagai berikut:
1. Diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang
namanya tercantum dalam putusan tersebu; kecuali,
2. Jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas
untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat
dipergunakan lagi.
Tetapi,
walaupun istilah barang bukti disebutkan dalam sejumlah pasal, dan juga dalam
putusan pengadilan harus selaslu ditetapkan dengan tegas tentang apa yang akan
dilakukan terhadap barang bukti, namun dalam pasal-pasal KUHAP tidak ada yang
menegaskan tentang kedudukan dari suatu barang bukti.
Dari aspek tidak adanya
ketentuan dalam pasal-pasal KUHAP
tentang kedudukan suatu barang bukti, dapat berarti bahwa pembentuk KUHAP
memandang barang bukti sebagai suatu tambahan semata-mata terhadap alat-alat
bukti yang sah. Dengan kata lain, barang
bukti (corpus delicti) itu sendiri bukan merupakan suatu alat bukti, melainkan
merupakan bukti tambahan terhadap alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, yaitu
sebagai bukti tambahan terhadap alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa
Selasa, 05 Januari 2016
Tujuan dan Filosofis Eksistensi Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
A.
Tujuan dan Filosofis Eksistensi Lembaga Praperadilan
Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Terkait aparat kepolisian yang melakukan
tindakan-tindakan yang kurang sesuai dengan UU tidak sedikit terjadi di masyarakat.
Banyak pendapat dari masyarakat tentang aparat Kepolisian yang sengaja memanfaatkan jabatannya untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak
semestinya baik itu masih dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya maupun
diluar tugasnya sebagai pelindung masyarakat. Entah itu semua benar atau tidak
namun dari segala apa yang berkembang dalam masyarakat mari fokuskan
permasalahan pada masalah kesalahan penangkapan, penahanan, penyitaan,
penghentian penyidikan dan penuntutan yang dilakukan penyidik yang didalamnya
termasuk juga aparat Kepolisian yang
semua ini berujung pada lahirnya lembaga Praperadilan sebagai suatu
kontrol pada tindakan penyidik menyangkut perbuatan-perbuatan yang diatur dalam
Praperadilan itu.
Penangkapan, penahanan, penyitaan dan lain sebagainya
yang bersifat mengurangi dan membatasi kemerdekaan dan hak asasi tersangka.
Karenanya, tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan lembaga praperadilan ini
adalah untuk menghindari adanya pelanggaran dan perampasan hak asasi tersangka
atau terdakwa.Demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana,
Undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk
melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan
sebagainya. Setiap upaya paksa yang dilakukan penyidik penuntut umum terhadap
tersangka, pada hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat:
1. Tindakan
paksa yang dibenarkan Undang-undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana
yang disangkakan kepada tersangka,
2. Sebagai
tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan Undang-undang, setiap tindakan paksa
dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta
pembatasan terhadap hak asasi tersangka.
Karena upaya paksa yang dikenakan instansi
penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi
tersangka, tindakan tu harus dilakukan secara bertanggungjawab menurut
ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process of law). Tindakan
upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan Undang-undang merupakan
perkosaan terhadap hak asasi tersangka.
Setiap tindakan perkosaan yang ditimpakan
kepada tersangka adalah tindakkan yang tidak sah, karena bertentangan dengan
hukum dan undang-undang (illegal). Akan tetapi, bagaimana mengawasi dan menguji
tindakan paksa yang dianggap bertentangan dengan hukum. Untuk itu perlu
diadakan suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menentukan sah atau tidaknya
tindakan paksa yang .
Saat diwawancarai penulis AKP Apri Fajar,
SIk ( Kasat Reskrim Polres Kukar ) menuturkan, bahwa bisa saja dalam hal
penangkapan dan penahanan tanpa adanya
surat perintah namun penyidik memiliki pertimbangan bahwa tersangka kemungkinan
akan melarikan diri maka ditangkap, apabila terjadi tidak menerima atas
tindakan petugas perihal penangkapan dan penahanan silahkan mengajukan
pemeriksaan Praperadilan sesuai aturan yang ada.[50]
Menyangkut Praperadilan banyak sekali
hal-hal atau tuduhan miring kontroversial
menyangkut pelaksanaannya.
Tuduhan-tuduhan tersebut menyangkut
antara lain seperti masalah gugurnya permohonan Praperadilan, dugaan adanya
konspirasi terselubung antara pihak Hakim dengan termohon Praperadilan, hingga
masalah pada ganti kerugian yang dianggap tidak sebesar kerugian yang sesuai
dengan realitas yang diderita pemohon,
hingga begitu rumitnya birokrasi mendapatkan ganti kerugian.
Sidang praperadilan yang diadakan atas
permintaan tersangka atau terdakwa ataupun keluarganya atau pula atas kuasanya
merupakan suatu forum yang terbuka. Yang dipimpin seorang hakim atau lebih
untuk memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum yang telah melakukan
upaya paksa agar mempertanggungjawabkan tindakannya dimuka forum yang
bersangkutan, apakah benar-benar beralasan dan berlandaskan hukum. Dengan
sistem pengujian melalui sidang terbuka ini, maka tersangka atau terdakwa
dijamin hak asasinya berupa hak dan
upaya hukum untuk melawan perampasan atau pembatasan kemerdekaan yang dilakukan
secara sewenang-wenang oleh penyidik ataupun penuntut umum. Dalam forum itu penyidik
atau penuntut umum wajib membuktikan bahwa tindakannya sah dan tidak melanggar
hukum. Untuk keperluan tersebut tentu saja pihak penyidik ataupun penuntut umum
harus membuktikan bahwa dia memiliki semua syarat-syarat hukum yang diperlukan,
baik berupa syarat-syarat formal maupun materiil, seperti misalnya surat
perintah penangkapan atau penahanan, adanya dugaan keras telah melakukan tindak
pidana yang didukung oleh bukti permulaan yang
cukup, ataupun dalam hal penahanan dengan alasan yang nyata dan konkrit
bahwa si pelaku akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau
menggulangi kejahatannya.
Melalui forum praperadilan ini juga dipenuhi syarat keterbukaan
(transparancy) dan akuntabilitas publik (public accountabiliti) yang merupakan
syarat-syarat tegaknya sistem peradilan yang bebas dan tidak memihak serta
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dengan adanya transparansi dan
akuntabilitas publik ini maka dapat dicegah timbulnya praktek-praktek birokrasi
yang tertutup dan sewenang-wenang dalam menahan orang ataupun memperpanjang
penahanan juga dapat dicegah terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) dalam proses membebaskan penahanan. Melalui forum terbuka ini masyarakat dapat ikut mengontrol
jalannya proses pemeriksaan dan
pengujian kebenaran dan ketepatan tindakan penyidik maupun penuntut umum dalam
menahan seseorang ataupun dalam hal pembebasan, mengontrol alasan-alasan dan
dasar hukum hakim praperadilan yang memerdekakannya.
Menurut H. Madli, SH ( selaku panitera Muda
Pidana ) menyatakan, bahwa terhadap pemeriksaan Praperadilan sejauh nii tidak
ada yang diputus dikabulkan, amar putusanya kalau tidak ditolak, berarti
digugurkan. Seperti Perkara No. Nomor 02/Pen.Pra/2012/PN.Tgr pemohon Arifudin
Semangga als Datuk yang diputus Gugur.[51]
Keberadaan Lembaga Praperadilan dianggap
bahwa lembaga ini melindungi hak-hak masyarakat yang hak asasinya dilanggar
oleh aparat penegak hukum serta melalui lembaga ini juga dapat membawa oknum
aparat penegak hukum tersebut untuk dimintai pertanggungjawabannya dalam bentuk
ganti kerugian dan rehabilitasi atas dugaan kesewenang-wenangan dalam
menggunakan kekuasaaanya. Maksud dan tujuan luhur dari Praperadilan tersebut
teryata penerapannya belum berjalan maksimal.
Pedoman yang menentukan kewenangan mengadili
bagi setiap Pengadilan Negeri atau yang ditinjau dari segi Kompetentie
Pengadilan sebagaimana diatur di dalam Bab X Bagian II Pasal 84 yang
menyatakan:
Ayat
(1) : Pengadilan
Negeri berwenang mengadili segala mengenai tindak pidana yang dilakukan di
daerah hukumnya
Ayat
(2) : Pengadilan
Negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam
terakhir, di tempat dia diketemukan atau ia ditahan, hanya berwenang mengadili
perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang
dipandang lebih dekat pada tempat Pengadilan Negeri itu dan pada tempat
kedudukan Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya tindak pidana itu
dilakukan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 124 ayat (1)
KUHAP jo. Pasal 77 jo. Pasal 79 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981/KUHAP dimana
kewenangan Pengadilan Negeri Tenggarong yang berwenang melakukan pemeriksaan
terhadap kasus Praperadilan yang telah dilakukan oleh Termohon yang telah
melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon yang dituduh/disangka
telah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat
Nomor 12 Tahun 1951. Kenyataannya Pemohon pada hari Rabu tanggal 15 Agustus
2012 betul terbukti membawa senjata tajam (parang/mandau), akan tetapi
perbuatan Pemohon bukanlah merupakan suatu perbuatan pidana sebagaimana dimaksudkan
oleh Termohon. Karena Termohon
Mengenai pertimbangan hukumnya, hakim Wahyudi
Said, SH., MH, menyatakan pemohon dalam Surat Permohonannya pada pokoknya
mendalilkan bahwa, Permohonan Praperadilan ini masuk dalam yurisdiksi
Pengadilan Negeri Tenggarong dengan alasan bahwa penangkapan dan penahanan
masuk dalam wilayah yurisdiksi Pengadilan Negeri Tenggarong. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 77 KUHAP menentukan bahwa Pengadilan Negeri berwenang untuk
memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang
ini tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, kemudian Pasal 78 ayat
(1) KUHAP menentukan bahwa yang melaksanakan wewenang tersebut adalah
Praperadilan. Selanjutnya Pasal 84 ayat (1) dan (2) KUHAP menentukan bahwa
Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana
yang dilakukan dalam daerah hukumnya atua bisa pula di luar daerah hukumnya
terdakwa bertempat tinggal, atau tempat kediaman sebagian besar saksi yang
dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan Negeri tersebut daripada
Pengadilan Negeri di dalam daerahnya tindak pidana dilakukan.[52]
Menurut Wahyudi Said, SH., MH, selaku Wakil
Ketua PN Tenggarong ( Hakim yang memeriksa perkara Praperadilan No.
02/Pen.Pra/2012/PN.Tgr dengan Pemohon Arifuddin Semmangga alias Datuk bin
Semmangga ), berpendapat bahwa ada
kemungkinan kesalahan adalah berasal dari gugatan atau tuntutan dari pemohon
itu sendiri, ada kemungkinan pemohon kurang begitu memahami berbagai hal yang termasuk kajian dalam Praperadilan
karena apa yang dilakukan oleh Hakim adalah selalu berdasar pada aturan yang
berlaku yaitu KUHAP. Menanggapi statistik tentang Praperadilan yang ada maka
Wahyudi Said, SH., MH, menyatakan kalau memang dalam kenyataan memang banyak
yang ditolak seharusnya pemohon harus mengerti bahwa itulah kenyataan yang
sebenar-benarnya, pemohon harus introspeksi, berbesar hati terhadap kenyataan
tersebut, dan harus lebih menguasai serta
memahami karakteristik dari KUHAP atau Praperadilan itu sendiri, tidak
boleh menyalahkan pihak lain tanpa adanya bukti yang konkrit, jangan sampai
menyalahkan sesuatu yang memang merupakan realita yang sebenar-benarnya
terjadi. Apabila dalam kenyataan menurut Undang-Undang permohonan Praperadilan
tersebut memang harus ditolak hal tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat
hanya untuk membela satu pihak, hakim selaku orang yang memutuskan harus
memutuskan seadil-adilnya dan bertindak sesuai dengan Undang-Undang.[53]
Beliau menambahkan bahwa terkadang pemohon
kurang memahami norma-norma dalam Praperadilan. Ada kalanya pemohon juga
terbakar rasa emosional dengan menyatakan dalam tuntutan atau gugatannya
tentang tindakan-tindakan yang tidak sesuai dalam KUHAP, namun pada persidangan
tuduhan yang dimaksudkan tidak terbukti atau dapat dimentahkan, hal tersebut
yang membuat gugatan Praperadilan tidak kuat, tidak diterima atau tidak
dikabulkan oleh Hakim. Rasa emosional tersebut setelah sidang Praperadilan
diputuskan masih terbawa oleh pemohon Praperadilan, yang kemudian tanpa adanya
fakta dan bukti yang kuat ia mengatakan telah terjadi suatu konspirasi antara
Termohon dengan Hakim. Hal tersebut sebenarnya tidak hanya terjadi pada kasus
Praperadilan namun juga terjadi di kasus-kasus lainnya, namun karena melihat
data-data dari Praperadilan terdahulu yang memang gugatan yang ditolak lebih
banyak maka isu-isu miring yang tidak bisa dipertanggungjawabkan tentang
Praperadilan banyak beredar di masyarakat. Mungkin masyarakat baru mengerti
apabila masyarakat juga melihat upaya pembuktian masing-masing pihak dalam persidangan. [54]
Hal yang juga paling sering dituduhkan pada
lembaga Praperadilan ini adalah bahwa putusan Hakim selalu dicampuri oleh pihak
penegak hukum yang terkait dalam
Praperadilan seperti dari pihak termohon Praperadilan. Hal ini merupakan
indikasi lumpuhnya fungsi Praperadilan. Artinya yang berlaku bukanlah fungsi
“check and balance” atau saling control diantara sesama aparat penegak hukum
tetapi fungsi hukum yang menghilangkan obyektifitas antar sesama aparat penegak
hukum dan penegakan keadilan yang menjadi tujuannya akan berubah menjadi suatu
bentuk kerja sama untuk saling mengamankan dan menghalalkan segala cara.
Menanggapi hal tsb, Wahyudi Said, SH., MH beranggapan tuduhan-tuduhan seperti itu
sangat tidak beralasan dan tidak memiliki dasar yang kuat karena tidak ada
bukti. Jika kita memahami hukum maka apabila kita menuduh sesuatu maka harus
ada bukti yang kuat atau awalnya ada bukti permulaan yang cukup. Menurutnya
Pengadilan adalah lembaga yang memiliki wibawa yang besar. Didalamnya pasti
terdapat orang-orang yang mempunyai komitmen besar untuk bertanggung jawab yang
menjaga wibawa Pengadilan tersebut apalagi kini ada kode etik profesi, pasti
masing-masing profesi hukum mampu menjaga agar tidak menyalahi kode etik
tersebut karena yang dituduhkan seperti tindakan diatas juga termasuk
pelanggaran kode etik profesi jadi sangat kecil tuduhan itu benar terjadi.[55]
Dalam praktek terjadi pengajuan permohonan
Praperadilan oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan.Yang terjadi sebelum
pemeriksaan dalam Praperadilan selesai, perkara pidana pokoknya
diajukan/dilimpahkan ke meja Pengadilan
dan terkesan tergesa-gesa disidangkan sehingga gugatan Praperadilan menjadi
gugur dan berakibat tersangka tetap dalam tahanan, adahal ada kemungkinan
Praperadilan akan memberi putusan (penetapan) bahwa penangkapan atau penahanan
tersebut tidak sah.
Apabila proses pemeriksaan Praperadilan
didasarkan semata hanya karena masalah teknis saja maka akan mudah untuk
menggagalkan dan menggugurkan permohonan praperadilan. Misal dengan segera
memasukkan perkara pidana pokoknya ke pengadilan maka otomatis pemeriksaan
praperadilan menjadi gugur, meskipun tersangka sudah menjadi korban praktek
penahanan yang tidak sah. Hal seperti inilah dianggap sesuatu yang tidak adil
bagi para pemohon Praperadilan.
Menanggapi
permasalahan tentang gugurnya
tuntutan/gugatan Praperadilan seperti diatas, Wahyudi Said, SH., MH,
mengatakan bahwa jika memang gugatan tersebut memang kemudian gugur karena
perkara pidana pokoknya dilimpahkan maka hal tersebut tidak bisa dipersalahkan
karena hal seperti tersebut memang sudah diatur dalam KUHAP yakni Pasal 82 ayat
(1) d KUHAP.Apabila kemudian Hakim melanggar hal tersebut dengan tidak menggugurkan
gugatan Praperadilan justru akan membuat suatu masalah karena Hakim sebagai
alat Negara dalam menegakkan hukum justru tidak menerapkan aturan yang dibuat
oleh Negara, karena Hakim dalam memutuskan harus berdasar pada aturan yang
dibuat Negara yakni dalam hal ini adalah KUHAP sebagai pedomannya. Apabila
dilihat Pasal 82 ayat (1) KUHAP memang sepertinya terkesan masih sangat
melindungi para penegak hukum yang terkait dalam masalah Praperadilan karena
begitu mudahnya atau masih ada celah bagi penegak hukum untuk menghindar dari
jeratan hukum itu sendiri. Sepertinya terkesan masih ada perlindungan bagi
penegak hukum yang melakukan kesalahan dalam tindakannya yang tidak sesuai
dengan prosedur yang benar. Mengamati praktek-praktek seperti itu, sudah waktunya
untuk ditinjau dan diperbarui kembali yang substansinya merugikan pencari
keadilan, kalau tidak ingin orang mengatakan bahwa lembaga praperadilan adalah
lembaga dengan bayangan semu sebuah idealisme hukum yang mustahil terwujud
dalam realitas atau dalam kenyataan.[56]
Ketentuan ini
membatasi wewenang Praperadilan karena proses pemeriksaan Praperadilan
”dihentikan” dan perkaranya menjadi gugur pada saat perkara pidana pokoknya
mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri. Kalau proses Praperadilan yang belum
selesai lalu dihentikan dan perkaranya yang sedang diperiksa menjadi dianggap
gugur atas dasar alasan teknis karena perkara pidana pokok sudah mulai
disidangkan, yang bukan alasan prinsipiil, maka tujuan Praperadilan menjadi
tidak berfungsi, kabur dan hilang. Karena tujuan Praperadilan memberikan
keputusan penilaian hukum tentang pemeriksaan pendahuluan terhadap tersangka
seperti yang dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP, yang keputusannya menjadi dasar
untuk membebaskan tersangka dari penangkapan dan/atau penahanan yang tidak sah
serta tuntutan ganti rugiUntuk menjamin agar KUHAP dapat dilaksanakan
dengan baik sebagaimana yang dicita-citakan, maka dalam KUHAP diatur lembaga
baru dengan nama PRAPERADILAN. Praperadilan memberi wewenang tambahan kepada
Pengadilan Negeri untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus-kasus pidana yang
berkaitan dengan penggunaan "upaya paksa" seperti penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan dll, yang dilakukan oleh Penyidik dan atau
Penuntut umum.
Pada dasarnya apabila ada penangkapan terhadap
seseorang, jika memenuhi syarat-syarat penangkapan atau penahanan maka kita
sebagai warganegara yang taat hukum harus mematuhinya. Masalah kita terbukti
bersalah atau tidak itu menjadi masalah lain. Jika memang kita tidak bersalah
maka kita bisa mengajukan praperadilan, Hal itu merupakan suatu prosedur yang
benar dan sesuai dengan UU. Jika Praperadilan gugur kita masih bisa mendapat
hak kita yaitu melalui perkara pokok
yang dilimpahkan ,jadi sebenarnya kita masih bisa mendapat keadilan.[57]
Jika pemohon beralasan tidak melakukan
tindak pidana yang disangkakan, maka itu menjadi urusan dari penyidik yang
harus membuktikan dengan mengajukan minimal bukti permulaan yang cukup seperti
yang tertulis pada Pasal 17 KUHAP yakni suatu perintah penangkapan pada seseorang
yang diduga keras melakukan tindak pidana bukti permulaan yang cukup.
Saat ini terjadi perbedaan penafsiran
tentang bukti permulaan yang cukup karena KUHAP tidak memberikan penjelasan
tentang hal itu. UU mungkin tidak memberi definisi/pengertian yang jelas apa itu bukti permulaan. Memang perlu adanya
keseragaman penafsiran untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sebab
bisa terjadi suatu hal yang dianggap bukti permulaan yang cukup namun oleh
pemohon atau Hakim praperadilan yang memeriksanya menganggap belum cukup bukti
yang artinya suatu bukti yang diajukan itu tidak/kurang dapat dikategorikan
sebagai bukti permulaan untuk menduga seseorang sebagai pelakunya. [58]
- Penangkapan yang tidak sah
Untuk menguji apakah suatu penangkapan bertentangan atau
tidak dengan undang-undang maka harus merujuk kepada ketentuan Pasal 16-19 KUHAP. Dalam pasal tersebut dijumpai
syarat sah penangkapan.Setiap penangkapan yang tidak sesuai atau mengabaikan
ketentuan dalam pasal-pasal tersebut dinyatakan tidak sah, tidak berdasar pada
undang-undang dan dengan sendirinya diartikan berlawanan dengan hukum. Adapun
syarat-syarat penahanan seperti:
1. Ada
surat perintah penangkapan
Surat
perintah penangkapan yang sah dan resmi
yang memuat
dengan
terang :
a. Identitas
tersangka,
b. Alasan
penangkapan,
c. Uraian
singkat perkara tindak pidana yang dipersangkakan,
d. Tempat
dimana tersangka diperiksa.
2. Perintah
penangkapan didasarkan pada dugaan yang keras dan bukti permulaan yang cukup.
Syarat ini harus dipenuhi.Apabila tidak maka tindakan penangkapan dianggap
bertentangan dengan Pasal 17 KUHAP.
3. Paling
lama 1 hari.
Batas
maksimum penangkapan adalah 1 hari, apabila lebih maka dianggap bertentangan
dengan undang-undang (Pasal 19 ayat (1) KUHAP).
3. Penangkapan
terhadap pelanggaran, baru dapat dilakukan setelah dipanggil secara sah 2 kali berturut-turut.
Hal ini diatur dalam Pasal 19 ayat (2) KUHAP.
4. Tembusan
Surat perintah penangkapan diberikan pada keluarga tersangka. Menurut Pasal 18
ayat (3) tembusan surat perintah penangkapan harus segera diberikan pada
keluarga tersangka. Jika ketentuan ini dilanggar maka penangkapan bertentangan
dengan UU.
- Penahanan yang tidak sah
Untuk penahanan yang tidak sah dikaitkan dengan tuntutan
ganti kerugian terdapat hal-hal penting mengenai syarat sah penahanan yakni :
1. Adanya
dugaan keras sebagai pelaku tindak pidana berdasar bukti yang cukup . Mengingat
prinsip penahanan yakni temukan dan kumpulkan dulu alat bukti yang cukup. Atas
dasar itulah Pasal 21 ayat (1) KUHAP memperkenankan penahanan.
2. Penahanan
dilakukan dengan surat perintah penahanan
atau penetapan Setiap penahanan yang dilakukan aparat penegak hukum
dalam tingkat pemeriksaan mesti berlandaskan surat perintah penahanan dan surat
penetapan penahanan (Pasal 21 ayat(2) KUHAP).
3. Penahanan
hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang disebutkan dalam Pasal 21
ayat (4) KUHAP, yakni :
a. Tindak
pidana dan atau percobaan maupun pemberi bantuan yang ancaman hukumannya pidana
penjara 5 tahun atau lebih,
b. Melakukan
atau percobaan maupun memberi bantuan terhadap tindak pidana yang diperinci
satu persatu dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP.
4. Penahanan
tidak melebihi masa penahanan yang ditentukan dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal
25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28,Pasal 29 KUHAP.
5. Penahanan
tidak melebihi hukuman yang dijatuhkan. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan
Pasal 95 ayat (1) KUHAP60
c. Tindakan
lain tanpa alasan berdasar Undang-undang
Yang
termasuk hal-hal ini adalah :
1. Kerugian
yang ditimbulkan pemasukan rumah
2. Penggeledahan
yang tidak sah menurut hukum
3. Penyitaan
yang tidak sah menurut hukum
d. Dituntut dan
diadili tanpa alasan undang-undang
Alasan ini sangat luas, meliputi segala kekeliruan
penerapan hukum.Untuk mencari tahu kekeliruan dalam penerapan hukum ini dapat
dijumpai terutama pada yurisrudensi seperti :
1. Surat
dakwaan batal demi hukum
2. Dakwaan
Jaksa tidak dapat diterima
3. Apa
yang didakwakan tanpa didukung alat bukti yang sah
4. Apa
yang didakwakan bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran
5. Apa
yang didakwakan tidak sesuai dengan tindakan yang dilakukan
6. Kekeliruan
mengenai orangnya (error in persona)
e. Penghentian
penyidikan atau penuntutan
Jika melihat penjelasan diatas berarti
tersebut tidak memahami apa maksud dari Praperadilan. Boleh saja ia beralasan
tidak melakukan suatu tindakan pidana yang disangkakan padanya namun disini
harus dilihat dulu apakah penangkapan atau penahanan yang dilakukan sah atau
tidak. Jika ternyata memang sah atau telah memenuhi syarat/prosedur apalagi
ternyata penangkapan tersebut disertai bukti permulaan yang cukup maka
kemungkinan ganti kerugian Praperadilan yang diajukan akan ditolak sekalipun
pemohon berargumen ia menderita kerugian meteriil karena tidak dapat bekerja
atau lain sebagainya.
Bukti permulaan yang cukup ialah permulaan
untuk menduga adanya tindak pidana yang dilakukan tersangka. Arti bukti
permulaan (prima facie evident) berarti bukti sedikit yang menduga ada tindak
pidana, misalnya kepada seseorang kedapatan benda/barang curian maka petugas
penyidik dapat menduga keras bahwa pada seseorang itu telah melakukan tindak
pidana berupa pencurian atau penadahan.
Menurut Kompol Sukarman, SH bukti permulaan
yang cukup bisa dirumuskan yakni terdiri
laporan Polisi dengan minimal salah satu alat bukti lainnya berupa :[59]
a.
Barang bukti yang ada
b.
BAP tersangka/saksi
c.
BAP di tempat kejadian perkara (TKP)
Beliau menambahkan bahwa saat ini penyidik
maupun penuntut umum tidak dapat sembarangan dalam menahan seseorang dan lama
penahananpun dibatasi dengan konsekuensi kalau penahanan melewati batas waktu
yang ditentukan maka orang yang ditahan tersebut harus dibebaskan. Penahanan
tanpa surat perintah dapat dipraperadilankan, tertuduh yang dinyatakan tidak
bersalah dapat dimintakan ganti kerugian dan rehabilitasi. Pendeknya Penyidik
atau Penuntut umum itu makin memahami KUHAP khususnya mengenai Praperadilan, bertindak
dengan hati-hati serta sangat menghargai hak tersangka atau terdakwa sebagai
manusia yang harus ditempatkan secara proporsional atau sebagaimana mestinya.[60]
Menurut Wahyudi Said, SH., MH, ditolaknya
permohonan praperadilan mungkin juga
terjadi disebabkan oleh keterangan dari pemohon yang mungkin tidak sesuai
dengan fakta, karena itu wajar pula penasehat hukum dapat salah dalam melakukan
persepsi dan membuat- membuat kesalahan membuat rumusan permohonan Praperadilan
yang diajukan sebab kuasa hukum pemohon hanya mendengar dari keterangan
pemohon, dari situlah dapat disimpulkan kuasa hukum pemohon kurang menguasai
duduk perkara yang sebenarnya karena ternyata orang yang dibelanya ternyata
tidak memberi informasi yang sebenar-benarnya.[61]
Sifat Tuntutan ganti rugi sebenarnya tidak
mutlak harus ada, hal ini sesuai Pasal 8 PP 27 tahun 1983, Jadi apabila
tuntutan ganti kerugian didasarkan pada hal-hal yang dianggap menyesatkan atau
bersifat menipu maka hakim akan menolak tuntutan ganti kerugian. Misal
seseorang yang dibebaskan dari dakwaan karena penipuan tetapi sebenarnya dalam
persidangan terbukti bahwa terdakwa melakukan tindak pidana penggelapan. Akan
tetapi dalam surat dakwaan tidak
dicantumkan tindak pidana penggelapan sehingga terdakwa tersebut harus
dibebaskan.[62]
Menurut Wahyudi Said., SH., MH, terkadang
juga pemohon melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan praperadilan yang
hanya menitikberatkan pada segi finansial atau materi saja. Maksudnya disini
permohonan ganti kerugian yang dibuat terkadang terlalu mengada-ada, terkesan
membesar-besarkan dan kurang proporsional dalam menuntut ganti kerugian sebagaimana mestinya. Setelah dalam upaya
pembuktian ternyata isi permohonan tersebut tidak dapat dibuktikan dan oleh
karena itulah permohonan praperadilan tersebut dinyatakan ditolak atau tidak
dikabulkan oleh Hakim Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Tenggarong Nomor
02/Pen.Pra/2012/PN.Tgr dengan Pemohon Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga
akhirnya gugur karena perkara pokoknya telah dilimpahkan oleh Kejaksaan Negeri
Tenggarong ke Pengadilan Negeri Tenggarong pada hari Selasa tanggal 25
September 2012 di bawah register Pidana No. 394/Pid.B/2012/PN.Tgr dimana dengan
adanya Pelimpahan Perkara tersebut dengan pelimpahan tersebut otomatis gugatan
Praperadilan gugur karena bukan lagi kewenangan Praperadilan. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penjatuhan putusan yang berbeda. Oleh
karena itu lebih tepat pemeriksaan Praperadilan dihentikan dengan jalan
menggugurkannya dan sekaligus semua yang berkenaan ditarik dalam kewenangan
Pengadilan Negeri untuk memutuskannya.[63]
Pemohon masih dapat menuntut haknya misalnya
dalam mendapatkan ganti kerugian, karena semua permintaan tersebut akan ditampung
kembali oleh Pengadilan negeri yang memeriksa perkara pokok. Misalnya tentang
sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan,atau penyitaan. Hal ini
semua dapat langsung diperiksa Pengadilan Negeri dalam sidang. Dapat saja hakim
beranggapan penangkapan atau penahanan tidak sah maka dengan perintah hakim
terdakwa dapat dibebaskan dari tahanan. Demikian juga apabila Hakim beranggapan
penyitaan tidak sah maka Hakim dapat memberikan lagi benda-benda yang disita
pada pihak-pihak yang berhak mendapatkan kembali barang-barang tersebut.
Sedangkan mengenai ganti kerugian akibat penangkapan, penahanan, penuntutan,
dan diadili atau karena tindakan lain tanpa alasan yang sah atau karena
kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya sudah
diajukan dan diperiksa di sidang Pengadilan, dapat diajukan kepada Pengadilan
Negeri berdasar Pasal 95 ayat (1) jo ayat (3) KUHAP. Demikian pula
rehabilitasinya dapat diajukan kembali
berdasar Pasal 97 KUHAP.
Jadi pengguguran permintaan yang disebabkan
oleh perkara pidananya telah diperiksa di sidang Pengadilan sama sekali tidak
mengurangi dan menghapus hak yang bersangkutan. Yang tidak didapat dalam
praperadilan dapat dialihkan pengajuannya pada Pengadilan Negeri. Hanya saja
proses dan tata cara makin panjang, terutama mengenai tuntutan ganti kerugian
dan rehabilitasi pengajuan baru diperkenankan UU setelah lebih dahulu
perkaranya diputus dan memiliki kekuatan tetap, sedang jika hal itu diajukan
kepada praperadilan prosesnya lebih singkat dan cepat.
Menurut H. Djasman Kasto, SH,[64]
selaku Pengacara pemohon, dikarenakan penangkapan dan penahanan terhadap
Arifuddin Semmangga oleh anggota Kepolisian Resort Kukar dan Polsek Marang Kayu
pada tanggal 15 Agustus 2012 itu tanpa Surat Perintah dari Pimpinannya
(Kapolres Kukar), maka yang bersangkutan mohon melalui kuasa hukumnya untuk
memohon praperadilan ke Pengadilan Negeri Tenggarong. Atas dasar permohonan
yang bersangkutan maka kuasa hukumnya dengan berbekal Surat Kuasa Khusus dari
Arifuddin Semmangga, maka pada tanggal 10 September 2012 Kuasa Hukum Pemohon
melakukan pendaftaran permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Tenggarong
yang terdaftar dengan Nomor 02/Pid.Pra/2012/PN.Tgr.
Ditambahkan bahwa pemeriksaan praperadilan
bisa gugur. Artinya pemeriksaan-pemeriksaan praperadilan dihentikan sebelum
putusan dijatuhkan. Atau pemeriksaan dihentikan tanpa putusan. Hal inilah yang
diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d, yang berbunyi “ Dalam hal suatu perkara
sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedang pemeriksaan mengenai
permintaan praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur ”.Memperhatikan
ketentuan, gugurnya pemeriksaan praperadilan.Itulah yang
menyebabkan gugurnya pemeriksaan permintaan praperadilan. Apabila perkara pokok
telah diperiksa pengadilan negeri, sedang praperadilan belum menjatuhkan
putusan, dengan sendirinya permintaan praperadilan gugur. Ini dimaksudkan untuk
menghindari putusan yang berbeda.Oleh karena itu, lebih tepat pemeriksaan
praperadilan dihentikan dengan jalan menggugurkan permintaan, dan sekaligus
semua hal yang berkenaan dengan perkara itu ditarik kedalam kewenangan
Pengadilan Negeri untuk menilai dan memutusnya.[65]
Permintaan putusan yang dijatuhkan
praperadilan dalam tingkat pemeriksaan penyidikan tidak dapat menggugurkan hak
tersangka, karena yang bersangkutan masih tetap berhak mengajukan permintaan
pemeriksaan praperadilan dalam tingkat penuntutan, jika itu memang ada alasan
yang dibenarkan oleh undang-undang. Dalam tingakat penuntutan masih bisa
diajukan permintaan atas alasan tentang sah atau tidaknya penahanan yang
dilakukan penuntut umum, atau penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan
tetap berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya
penghentian penuntutan yang dilakukan penuntut umum.
Oleh karena itu, dalam suatu kasus perkara,
bisa terjadi dua kali permintaan pemeriksaan praperadilan. Bahkan bukan hanya
dua kali saja, tetapi bias beberapa kali. Yang menggugurkan hak pemohon
mengajukan permintaan, hanya ditentukan oleh pemeriksaan perkara yang
bersangkutan disidang Pengadilan negeri. Apabila perkara telah diperiksa di
sidang Pengadilan Negeri, gugur haknya untuk mengajukan permintaan pemeriksaan
kepada praperadilan.[66]
Dari pihak keluarga Pemohon telah pula
mengajukan permohonan penangguhan penahanan kepada Termohon, yang dapat
dikatakan tidak mendapat tanggapan yang positif bahkan Termohon melakukan
permohonan untuk perpanjangan penahanan ke Jaksa Penuntut Umum dan oleh Jaksa
Penuntut Umum permohonan tersebut telah terlanjur dikabulkan sehingga membawa
akibat Pemohon tetap ditahan terus di Polres Kukar.
Sebagai akibat Pemohon tetap dilakukan
penahanan oleh Termohon, maka Pemohon menderita kerugian materiel dan
immateriel.
1. Kerugian
Materiel
Bila
dinilai sehari Pemohon bekerja mendapatkan upah sebesar Rp. 100.000,- (seratus
ribu rupiah) sehari, sedangkan penahanan dilakukan selama 60 (enam puluh) hari
(sejak penahanan penyidik dan perpanjangan penahanan yang diberikan oleh Jaksa
Penuntut Umum), maka kerugian materiel jelas 60 x Rp. 100.000,- = Rp.
6.000.000,- (enam juta rupiah).
2. Kerugian
Immateriel
Pemohon
menyadrai bahwa kerugian immateriel sebetulnya tidak dapat dinilai dengan mata
uang rupiah, namun demikian dalam kasus Praperadilan ini Pemohon menilai bahwa
nama baik Pemohon di masyarakat senilai Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah).
Dengan demikian kerugian Pemohon
keseluruhannya ialah sebesar Rp. 6.000.000,- + Rp. 1.000.000.000,- = Rp.
1.006.000.000,- (satu milyar enam juta rupiah). Melihat kondisi fisik Pemohon
dewasa ini dimana selalu mengeluh dan sering sakit-sakitan, di samping itu
dimana sebetulnya Pemohon telah berusia 85 tahun, akan tetapi karena ada
kekeliruan pada saat pembuatan Kartu Tanda Penduduk sehingga di dalam KTP
tercatat/tertulis 17 Desember 1944 dan baru berusia 68 tahun. Dan selama
Pemohon berada di dalam Rutan Polres Kukar teraniaya terutama hak kebebasannya
dan hak-hak hukumnya.
Selanjutnya permasalahan tentang kebingungan
dalam mengajukan permohonan ganti kerugian
menyangkut kewenangan pemeriksaan juga menjadi salah satu kendala
seperti contohnya perkara Praperadilan Nomor 02/Pen.Pra/2012/PN.Tgr yang gugur
karena wewenang pemeriksaan bukan lagi praperadilan namun pengadilan
negeri yang dikarenakan perkara pokoknya
telah dilimpahkan.
Berkaitan dengan tuntutan ganti
kerugian tentang sahnya penangkapan,
penahanan, serta tindakan lain tanpa berdasarkan yang sah menurut UU atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan dengan syarat :
a. Perkaranya
hanya sampai pada tingkat penyidikan, atau
b. Perkaranya
hanya sampai pada tingkat penuntutan seperti disebut Pasal 138 ayat (1) KUHAP,
atau
c. Perkaranya
tidak diajukan ke sidang Pengadilan
Tuntutan
ganti kerugian yang disebut dalam Pasal 77 huruf b :
a. Atas alasan
penghentian penyidikan,atau
b. Atas alasan
penghentian penuntutan
b. Pengadilan
negeri yang berwenang
Akan menjadi wewenang Pengadilan Negeri
ketika permohonan praperadilan gugur karena perkara pokoknya telah diajukan ke
sidang Pengadilan. Setelah perkara pokok diajukan, diperiksa kemudian
diputus Pengadilan kewenangan
praperadilan beralih pada kewenangan Pengadilan Negeri.
Pada tata cara ini tuntutan ganti kerugian
sekaligus diajukan berbarengan dengan permintaan pemeriksaan tentang sah atau
tidaknya tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan. Pada
tata cara pengajuan ini, pemohon menyatukan permintaan pemeriksaan tentang sah
atau tidaknya tindakan upaya paksa dengan permintaan ganti kerugian. Dalam
permohonan, tersangka meminta agar praperadilan
sekaligus memeriksa dan memutus tentang sah atau tidak upaya paksa, dan
atas alasan itu sekaligus diminta ganti kerugian. Cara pengajuan ganti kerugian
dirumuskan pasal 95 ayat (2) KUHAP. Dengan cara ini ketidakabsahan tindakan
paksa dan tuntutan ganti kerugian diajukan dalam satu permohon. Praperadilan
akan memeriksa dan memutusnya bersamaan dalam satu proses.
Ditambahlkan bahwa hakim lebih banyak
mempehatikan perihal dipenuhi tidaknya syarat-syarat formil semata-mata dari
suatu penangkapan atau penahanan, seperti misalnya ada atau tidak adanya surat
perintah penahanan (Pasal 21 ayat (2) KUHAP) dan sama sekali tidak menguji dan
menilai syarat materiilnya. Padahal syarat materiil inilah yang menentukan
apakah seseorang dapat dikenakan upaya paksa berupa penangkapan atau penahanan
oleh penyidik atau penuntut umum.Tegasnya hakim pada praperadilan seolah-olah
tidak peduli apakah tindakan penyidik atau jaksa penuntut umum yang melakukan
penangkapan benar-benar telah memenuhi syarat-syarat materiil, yaitu adanya
dugaan keras telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Ada tidaknya bukti permulaan yang cukup ini dalam praktek tidak pernah
dipermasalahkan oleh hakim, karena umumnya hakim praperadilan menganggap bahwa
hal itu bukan menjadi tugas dan wewenangnya, melainkan sudah memasuki materi
pemeriksaan perkara yang menjadi wewenang hakim dalam siding pengadilan
negeri.Demikian juga dalam hal penahanan, hakim tidak menilai apakah tersangka
atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang
cukup benar-benar ada alasan yang kongkrit dan nyata yang menimbulkan
kekhawatiran bahwa yang bersangkutan akan melarikan diri, menghilangkan barang
bukti ataupu mengulangi perbuatannya. Para hakim umumnya menerima saja bhwa hal
adanya kekhawatiran tersebut semata-mata merupakan urusan penilaian subjektif
dari pihak penyidik atau penuntut umum, atau dengan lain perkataan menyerahkan
semata-mata kepada hak dikresi dari pihak penyidik dan penuntut umum.[67]
Mengenai pada siapa ganti kerugian ini dibebankan, Wahyudi Said,
SH., MH, menyatakan bahwa yang nantinya membayar apabila permintaan ganti
kerugian dikabulkan bukanlah langsung termohon, karena termohon disini sifatnya
adalah alat Negara maka yang bertanggung jawab adalah Negara. [68]
Melihat dari Pasal 11 PP no 27 tahun 1983
dan SK Menkeu no 983/KMK.01/1983 menetapkan sehubungan dengan Pasal 95 KUHAP
adalah beban dari Bagian Pembayaran dan Perhitungan Anggaran Belanja Negara
Rutin.
Untuk melaksanakan pembayaran pemerintah
menunjuk Departemen Keuangan yang bertanggung jawab mengalokasikan ganti
kerugian atas beban Anggaran Belanja Rutin Negara, namun kekurangan yang sering
dikeluhkan adalah proses birokrasi yang berbelit sehingga menimbulkan proses
yang cukup lama.
Wahyudi Said, SH., MH menerangkan penetapan
praperadilan memuat alasan dasar pertimbangan hukum, juga harus memuat amar.
Amar yang harus dicantumkan dalam penetapan disesuaikan dengan alasan
permintaan pemeriksaan. Alasan permintaan yang menjadi dasar isi amar
penetapan. Amar yang tidak sejalan dengan alasan permintaan, keluar dari jalur
yang ditentukan undang-undang. Amar penetapan praperadilan, bisa berupa
pernyataan yang berisi :[69]
- Sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan.
Jika dasar alasan
permintaan yang diajukan pemohon berupa permintaan pemeriksaan tentang sah atau
tidaknya penangkapan atau penahanan yang disebut Pasal 79, maka amar
penetapannya pun harus memuat pernyataan tentang sah atau tidaknya penangkapan
atau penahanan.
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
Jika alasan yang
diajukan pemohon berupa permintaan tentang sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan, berarti amar penetapan
praperadilan memuat pernyataan mengenai sah atau tidaknya tindakan penghentian
penyidikan atau penuntutan.
- Diterima atau ditolaknya permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi.
Disinipun demikian
halnya, jika dasar alasan permintaan pemeriksaan mengenai tuntutan ganti
kerugian atau rehabilitasi, berarti amar penetapan memuat dikabulkan atau
ditolak permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi.
- Perintah pembebasan dari tahanan.
Mengenai hal ini
diatur dalam Pasal 82 ayat (3) huruf a. agar penetapan praperadilan memuat amar
yang memerintahkan tersangka segera dibebaskan dari tahanan. Amar yang demikian
merupakan keharusan dalam kasus permintaan pemeriksaan yang berhubungan tentang
sah atau tidaknya penahanan. Jika tersangka atau keluarganya mengajukan
permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penahanan yang dilakukan
penyidik atau penuntut umum dan praperadilan berpendapat penahanan tidak sah,
amar putusan praperadilan harus memuat pernyataan dan perintah seperti,
penahanan tidak sah dan perintah membebaskan tersangka dari tahanan.
Dengan
dicantumkannya amar yang berisi perintah membebaskan tersangka dari tahanan,
penyidik atau penuntut umum harus segera membebaskan dari tahanan.
Mungkin ada yang
berpendapat, amar ini tidak mutlak dicantumkan dalam penetapan praperadilan.
Alasanya, dengan adanya penetapan yang menyatakan penghentian penyidikan atau
penuntutan tidak sah, dalam pernyataan putusan yang demikian sudah terkandung
perintah yang mewajibkan penyidik melanjutkan penyidikan atau yang mewajibkan
penuntutan dilanjutkan. Karena itu, sekiranya praperadilan menjatuhkan putusan
yang menyatakan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah,
amar penetapan tidak mesti memuat pernyataan yang memerintahkan penuntut umum
melanjutkan penuntutan. Akan tetapi, untuk sempurna serta berpedoman pada bunyi
rumusan Pasal 82 ayat (3) huruf b, tidak ada salahnya mencantumkan amar yang
demikian.
- Besarnya ganti kerugian.
Apabila alasan
pemeriksaan praperadilan berupa permintaan ganti kerugian baik oleh karena
tidak sahnya penangkapan atau penahanan, amar putusan praperadilan mencantumkan
dengan jelas jumlah ganti kerugian yang dikabulkan.
- Berisi pernyataan pemulihan nama baik tersangka.
Jika alasan
permintaan pemeriksaan berhubungan dengan rehabilitasi, amar putusan memuat
pernyataan pemulihan nama baik pemohon kalau permohonannya dikabulkan.
Ketentuan ini diatur
dalam Pasal 82 ayat (3) huruf d. apabila alasan permintaan pemeriksaan
praperadilan menyangkut sah atau tidaknya tindakan penyitaan yang dilakukan
penyidik sebab dalam penyitaan ada yang termasuk benda yang tidak tergolong
alat pembuktian. Atau sama sekali tidak tersangkut dengan tindak pidana yang
sedang diperiksa cukup alasan untuk menyatakan benda yang disita tidak termasuk
sebagai benda alat pembuktian. Putusan praperadilan harus memuat amar yang
memerintahkan benda tersebut segera dikembalikan kepada tersangka atau kepada
orang dari siapa benda itu disita.
Bahwa tidak semua upaya paksa dapat
dimintakan pemeriksaan untuk diuji dan dinilai kebenaran dan ketepatannya oleh
lembaga praperadilan, misalnya tindakan penggeldahan, penyitaan, dan pembukaan
serta pemeriksaan surat-surat tidak dijelaskan dalam KUHAP, sehingga
menimbulkan ketidak jelasan siapa yang berwenang memeriksanya apabila terjadi
pelanggaran. Disini lembaga praperadilan kurang memperhatikan kepentingan
perlindungan hak asasi tersangka atau terdakwa dalam hal penyitaan dan
penggeledahan, padahal penggeledahan yang sewenang-wenang merupakan pelanggaran
terhadap ketentraman rumah tempat tinggal orang (privacy), dan penyitaan yang
tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik seseorang.[70]
Berkenaan
dengan keabsahan penggeledahan dan penyitaan, pembukaan dan pemeriksaan surat
apakah dapat di mohonkan praperadilan, hal ini menjadikan perbedaan pendapat
dalam penerapan :
i.
Ada yang
berpendirian tindakan upaya paksa yang termasuk yurisdiksi praperadilan untuk
menguji keabsahannya, hanya terbatas pada tindakan penangkapan dan penahanan
atas alasan orang yang ditahan atau ditangkap tidak tepat (error in persona),
ii.
Sedang tindakan
upaya paksa penggeledahan atau penyitaan dianggap berada di luar yurisdiksi
praperadilan atas alasan dalam penggeledahan atau penyitaan terkandung
intervensi pengadilan berupa :
−
Dalam proses
biasa, harus lebih dahulu mendapat surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri
(Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 38 ayat (1) KUHAP), dan
−
Dalam mendesak,
boleh lebih dahulu bertindak, tetapi harus meminta persetujuan Ketua Pengadilan
Negeri (Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 38 ayat (2) KUHAP)
H. Djasman
Kasto, SH menambahkan bahwa, sehubungan dengan adanya intervensi Ketua
Pengadilan Negeri dalam penggeledahan dan penyitaan, dianggap tidak rasional
dan bahkan kontroversial untuk menguji dan mengawasi tindakan itu di forum
praperadilan. Tidak logis praperadilan menilai tepat tidaknya penggeledahan
atau penyitaan yang dilakukan yang telah diijinkan oleh pengadilan, padahal
masalah yang sering terjadi dalam penggeledahan dan penyitaan antara lain:
1. PENGGELEDAHAN
Masalah
yang sering terjadi:
- Tidak
ada ijin Pengadilan.
- Tidak
ada saksi.
- Petugas
belum bisa membedakan penggeledahan dalam keadaan biasa dengan keadaan perlu
dan mendesak, dll.
2. PENYITAAN
Masalah yang sering terjadi:
- Tidak
didukung dengan ijin sita dari Pengadilan.
- Tidak
ada saksi dan tidak dibuat Berita Acara.
- Petugas
masih sulit membedakan penyitaan dalam keadaan biasa dan dalam keadaan perlu
dan mendesak (tertangkap tangan).
- Barang
yang disita tidak ada kaitannya dgn tindak pidana yang terjadi, dll
3. Keabsahan Pembukaan
dan pemeriksaan surat-surat penting yang bahkan tidak dijelaskan oleh KUHAP.[71]
Argumentasi tersebut tidak seluruhnya mencakup
penyelesaian permasalahan yang mungkin timbul dalam penggeledahan dan
penyitaan. Bertitik tolak dari asumsi kemungkinan terjadinya penyimpangan di
luar batas surat ijin yang diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri, terhadap
penggeledahan dan penyitaan seharusnya dapat diajukan ke forum praperadilan,
baik yang berkenaan dengan tuntutan ganti kerugian maupun yang berkenaan dengan
sah atau tidaknya penyitaan dengan acuan penerapan :
1)
Dalam hal
penggeledahan atau penyitaan tanpa ijin atau persetujuan Ketua Pengadilan
Negeri seharusnya mutlak menjadi yurisdiksi praperadilan untuk memeriksa
keabsahannya,
2)
Dalam hal
penggeledahan atau penyitaan telah mendapatkan ijin atau persetujuan dari Ketua
Pengadilan Negeri, seharusnya tetap dapat diajukan di forum praperadilan,
dengan lingkup kewenangan yang lebih sempit yakni :
−
Praperadilan tidak
dibenarkan menilai surat ijin atau surat persetujuan yang dikeluarkan Ketua
Pengadilan Negeri tentang hal itu ;
−
Yang dapat dinilai
oleh praperadilan, terbatas pada masalah pelaksanaan surat ijin atau surat
persetujuan tersebut, dalam arti apakah pelaksanaannya sesuai atau melampaui
surat ijin yang diberikan.[72]
Tindakan penyitaan yang dilakukan
terhadap barang pihak ketiga, dan barang tersebut tidak termasuk sebagai alat
atau barang bukti. Dalam kasus yang seperti itu pemilik barang harus diberi hak
untuk mengajukan ketidak absahan penyitaan. Menutup atau meniadakan hak orang
yang dirugikan dalam penyitaan dimaksud, berarti membiarkan dan membenarkan
perkosaan hak oleh aparat penegak hukum (penyidik) terhadap hak milik orang
yang tidak berdosa.[73]
Menurut H. Madli, SH, bahwa
sejauh ini belum ada yang memohon pemeriksaan praperadilan dalam hal keabsahan
penggeledahan dan penyitaan.[74]
Dan hal tersebut dibenarkan oleh Wahyudi Said, SH., MH.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut
penulis menarik kesimpulan tujuan dan filosofis eksistensi lembaga praperadilan
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan :
1. Hasil
usaha tuntutan terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia, terutama mereka
yang terlibat di dalam perkara pidana. Oleh karena itu, tujuan dibentuknya
praperadilan ini tidak lain adalah demi tegaknya hukum dan perlindungan hak
asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping
itu, praperadilan ini juga berfungsi sebagai alat kontrol terhadap penyidik
atau penuntut umum terhadap penyalahgunaan wewenang yang diberikan kepadanya.
2.
Suatu
bentuk implementasi respon masyarakat terhadap langkah-langkah yang dilakukan
oleh negara/pemerintah. Dalam hal ini sistem peradilan pidana sebagai sarana
bagi masyarakat yang dirugikan hak-haknya melakukan upaya hukum untuk
memperjuangkan keadilan, perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia.Perlindungan
dan jaminan terhadap hak asasi manusia tersebut sudah merupakan hal yang
bersifat universal dalam setiap negara hukum. Karena pengakuan, jaminan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah salah satu essensi pokok yang
menjadi dasar legalitas suatu negara hukum.
1.
Lembaga Praperadilan sebagai lembaga Kontrol
untuk pelaksanaan Asas Accusatoir dalam KUHAP
Asas accusatoir telah
memperlihatkan suatu pemeriksaan terbuka, dimana setiap orang dapat menghadiri
dan menyaksikan jalannya pemeriksaan. Terdakwa mempunyai hak yang sama nilainya
dengan penuntut umum, sedangkan hakim berada di atas kedua belah pihak untuk
menyelesaikan perkara pidana menurut hukum pidana yang berlaku.
Sebagai realisasi prinsip
accusatoir di pengadilan terlihat terdakwa bebas berkata-kata. Bersikap
sepanjang untuk membela diri dan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum,
seringnya terdakwa diam tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Adanya penasihat hukum yang mendampingi terdakwa untuk membela hak-haknya.
Selain itu, terdakwa bebas mencabut pengakuan-pengakuan yang pernah ia
kemukakan di luar sidang dan ini dapat dikabulkan sepanjang hal itu logis dan
beralasan.
Prinsip accusatory adalah menempatkan kedudukan
tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan :
1. Adalah sebagai subjek; bukan sebagai
objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukan atau
diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat dan harga
diri,
2. Yang menjadi obyek pemeriksaan dalam
prinsip akusator adalah kesalahan (tindakan pidana), yang dilakukan tersangka
atau terdakwa, ke arah itulah pemeriksaan ditujukan.
Asas praduga tak bersalah bila ditinjau
dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan prinsip
akusator atau accusatory procedure (accusatorial system). Dengan prinsip ini
penegak hukum tidak dapat semena-mena termasuk dalam hal melakukan penangkapan
dan penahanan kerena apabila hal tersebut tidak sesuai dengan amanat undang
–undang maka yang bersangkutan dapat di praperadilankan termasuk ganti rugi.
Sehingga praduga tak bersalah yang dianut KUHAP, memberi pedoman kepada aparat
penegak hukum untuk menggunakan prinsip akusator dalam setiap tingkat
pemeriksaan. Aparat penegak hukum sebaiknya menjauhkan diri dari cara-cara
pemeriksaan yang inkuisator atau inquisitorial system yang menempatkan tersangka
atau terdakwa dalam pemeriksaan sebagai obyek yang dapat diperlakukan dengan
sewenang-wenang. Prinsip inkuisator ini dulu dijadikan landasan pemeriksaan
dalam periode Herziene Inlandsche Reglement (HIR), prinsip inkuisitor ini sama sekali
tidak memberi hak dan kesempatan yang wajar bagi tersangka atau terdakwa untuk
membela diri dan mempertahankan hak dan kebenarannya, sebab dari sejak semula
aparat penegak hukum:
1. Sudah
apriori menganggap
tersangka atau terdakwa bersalah. Seolah-olah si tersangka sudah divonis sejak
saat pertama diperiksa dihadapan penyidik
2. Tersangka
atau terdakwa dianggap dan dijadikan obyek pemeriksaan tanpa mempedulikan
hak-hak asasi manusia serta hak-haknya untuk membela dan mempertahankan
martabat serta kebenaran yang dimilikinya. Akibatnya sering terjadi dalam
praktek, seorang yang benar-benar tidak bersalah terpaksa menerima nasib sial, meringkuk
dipenjara. Oleh karena itu, saat ini yang dipakai KUHAP dalam pemeriksaan
adalah asas atau prinsip akusator.
Di dalam buku pedoman
pelaksanaan KUHAP ditegaskan latar belakang, motivasi, dan urgensi
diintrodusirnya fungsi penyelidikan sebagai rangkaian, atau tindakan awal dari
penyidikan dalam menemukan titik terang siapa pelakunya (dader) yaitu:
a. Adanya perlindungan dan jaminan terhadap Hak Asasi
Manusia.
b. Adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam
penggunaan upaya paksa.
c. Ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti rugi dan
rehabilitasi.
d. Tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai
tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana,
maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan, dengan
konsekuensi digunakannnya upaya paksa, perlu ditentukan lebih dahulu
berdasarkan data dan keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa
peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya
merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.
Dahulu, dipakai sistem inkisitor (inquisitoir) yang mana tersangka atau
terdakwa menjadi obyek pemeriksaan sedangkan hakim dan penuntut umum berada
pada pihak yang sama. Dalam
sistem saling berhadapan (adversary system) ini, ada pihak terdakwa yang terdapat
penasehat hukumnya, sedangkan dipihak lain terdapat penuntut umum yang atas
nama negara menuntut pidana. Adapun dasar dari penuntut umum ini menuntut
pidana adalah dari data yang diperoleh atau hasil dari penyidikan yang
diberikan polisi sebelum pemeriksaan hakim. [75]
Saksi-saksi yang diajukan biasanya terbagi tiga yaitu,
saksi yang memberatkan terdakwa (a charge), biasanya diajukan oleh
penuntut umum, saksi yang meringankan terdakwa (a de charge),
biasanya
diajukan terdakwa atau penasehat hukumnya, dan ada pula saksi yang tidak
memberatkan dan tidak meringankan terdakwa, seharusnya saksi golongan ke tiga
ini ialah saksi ahli.
Yang
terpenting diantara pihak ini tentulah terdakwa, karena yang akan menjadi fokus
pemeriksaan di sidang pengadilan.
Dalam perkara pidana sebenarnya terlibat beberapa pihak,
diantara pihak-pihak yang saling berhadapan itu terdapat hakim yang tidak
memihak kedua pihak. Sistem saling berhadapan ini disebut sistem pemeriksaan
akusator (accusatoir). Asas Akusator dalam pemeriksaan pengadilan memiliki
jaminan yang luas terutama dalam hal bantuan hukum, bahkan pembicaraan
tersangka dan penasehat hukumnya tidak dapat didengar penyidik maupun penuntut
umum. Asas
Akusator Terbatas pada asas yang dianut di Indonesia, dimana penasehat hukum
dapat melihat dan mendengar seluruh proses pemeriksaan.[76]
Berdasarkan uraian diatas, penanganan serta proses
penyelesaian pemeriksaan dilembaga praperadilan jangan sampai mengabaikan
keterkaitan dan keterpaduan disetiap tahap pemeriksaan yang ada, selain itu hal
yang dinilai penting yaitu sikap peduli (care) penegak hukum terhadap
kasus-kasus yang ada untuk dengan cepat dan sepenuh hati serta mengedepankan
rasa bertanggungjawab yang penuh agar penyelesaian pemeriksaan, cepat
terselesaikan sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh semua pihak baik itu
penyidik dan penuntut umum maupun terdakwa atau tersangka, serta guna
terciptanya keadilan yang dicita-citakan. Aparat penegak hukum dalam tahap
pemeriksaan praperadilan jangan sampai mengesampingkan hak-hak tersangka atau
terdakwa, seperti yang terdapat pada prinsip-prinsip dalam KUHAP, salah satunya
prinsip akusator dimana tersangka harus dijadikan sebagai subjek pemeriksaan
dan kesalahannya yang dijadikan objek pemeriksaan tersebut. Oleh karena itu, dalam hal
memeriksa dan menyelesaikan suatu kasus tindak pidana harus memahami “manusia
dan kemanusian” yang wajib dilindungi harkat dan martabat kemanusiannya.
Sekalipun menyadari bahwa tujuan tindakan penegak hukum tidak boleh
mengorbankan hak dan martabat tersangka atau terdakwa. Begitupun sebaliknya,
demi untuk melindungi dan Sistem Akusator yaitu sistem saling berhadapan,
dimana terdakwa menjadi
subyek pemeriksaan, artinya terdakwa memiliki hak. Sehingga apabila terjadi
ketidak absahan penangkapan dan penahanan yang dilakukan petugas, yang
bersangkutan dapat mengajukan pemeriksaan Praperadilan.
Praperadilan merupakan suatu lembaga baru yang
diintrodusir oleh KUHAP. Adapun fungsi yang dimiliki oleh lembaga peradilan
adalah melakukan pengawasan horisontal terhadap adanya tindak penyimpangan dan
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh instansi kepolisian selaku penyidik
dan instansi kejaksaan selaku penuntut umum. Pengawasan tersebut dilakukan
karena merupakan bagian dari implementasi Integrated Criminal Justice System sebagai control dari asas
accusatoir.
B.
Implementasi Lembaga Praperadilan untuk Perlindungan Hukum
Hak-Hak Tersangka Khususnya Perlindungan dari Upaya Paksa
Menurut penulis, sebenarnya praktik
penerapan KUHAP dalam proses peradilan pidana di Indonesia sudah mencerminkan
kemajuan dan kecenderungan untuk memperhatikan dan menghormati hak-hak asasi
tersangka atau terdakwa. Yang penting menjadi landasan adalah memeriksa,
meneliti beberapa pokok masalah KUHAP yang perlu disesuaikan dan disempurnakan
untuk diperbaiki atau direvisi agar lebih aktual.
Lembaga Praperadilan diperuntukan demi
mendapatkan rasa keadilan dan penegakan hukum serta agar tindakan hukum dari
para penegak hukum tidak semena-mena terhadap masyarakat kecil, maka tindakan
dari Aparat Penegak Hukum yang ada di daerah , agar tindakannya betul-betul
berdasarkan hukum yang berlaku dan tidak berdasarkan kewenangan saja selagi
memangku jabatannya atau selaku aparat.
Alasan
dasar permohonan praperadilan adalah :
- PENANGKAPAN
Sebelum dilakukan suatu penangkapan oleh pihak
kepolisian maka keabsahan penangkapan ada pada syarat materiil dan syarat
formil yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan syarat
materiil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu
tindak pidana. Sedangkan syarat formil adalah adanya surat tugas, surat
perintah penangkapan serta tembusannya.
Syarat
formil :
1.
Penangkapan dilakukan dengan
Surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta
uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa,
tidak salah mengenai orangnya.
2.
Dalam hal tertangkap tangan
penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap
harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada.( Tertangkap
tangan tetapi ada Surat Perintah Penangkapan )
3.
Tembusan surat perintah
penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan
dilakukan.
4.
Penangkapan sebagaimana dimaksud
dapat dilakukan untuk paling lama satu hari, Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24 jam, tersangka
tetap diperiksa dan tidak ada surat perintah untuk melakukan penahanan, maka
tersangka berhak untuk segera dilepaskan.
5.
Terhadap tersangka pelaku
pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil
secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan
yang sah .
Syarat
materiil : Perintah penangkapan dilakukan terhadap
seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan
yang cukup seperti : seminimnya 2 alat bukti, ada tidaknya tindak pidananya, sehingga
ditujukan kepada
mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.
2. PENAHANAN
a. Syarat Subyektif
Dinamakan syarat subyektif
karena hanya tergantung pada orang yang memerintahkan penahanan tadi, apakah
syarat itu ada atau tidak. Syarat subyektif ini terdapat dalam Pasal 21 Ayat
(1), yaitu:
1) Tersangka/terdakwa diduga keras melakukan
tindak pidana;
2) Berdasarkan bukti yang cukup;
3) Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan
kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa:
a) Akan
melarikan diri
b)
Merusak atau menghilangkan barang bukti
c)
Mengulangi tindak pidana.
b. Syarat Obyektif.
Dinamakan syarat obyektif
karena syarat tersebut dapat diuji ada atau tidak oleh orang lain. Syarat obyektif
ini diatur dalam Pasal 21 Ayat (4) KUHAP yaitu:
1) Tindak pidana itu diancam dengan pidana
penjara lima tahun atau lebih;
2) Tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang
dari lima tahun, tetapi ditentukan dalam:
a) Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), yaitu: Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1) ,
Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1). Pasal 372, Pasal 378,
Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, Pasal 506;
b) Pelanggaran terhadap Ordonantie
Bea dan Cukai;
c) Pasal 1, 2 dan 4 Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1992 (Tindak Pidana Imigrasi) antara lain: tidak punya
dokumen imigrasi yang sah, atau orang yang memberikan pemondokan atau bantuan
kepada orang asing yang tidak mempunyai dokumen imigrasi yang
sah;
d) Tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
Berdasarkan
uraian kedua syarat tersebut yang terpenting adalah syarat obyektif sebab
penahanan hanya dapat dilakukan apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam
Pasal 21 Ayat (4) KUHAP itu dipenuhi. Sedangkan syarat yang terkandung dalam
Pasal 21 Ayat (1) KUAHP biasanya dipergunakan untuk memperkuat syarat yang
terkandung dalam Pasal 21 Ayat (4) KUHAP dan dalam hal-hal sebagai alasan
mengapa tersangka dikenakan perpanjangan penahanan atau tetap ditahan sampai
penahanan itu habis. Dalam melaksanakan penahanan terhadap tersangka/ terdakwa,
maka pejabat yang berwenang menahan harus dilengkapi dengan Surat
perintah penahanan dari Penyidik, Surat perintah penahanan dari Jaksa Penuntut
Umum atau Surat penetapan dari Hakim yang memerintahkan penahanan itu.
Tersangka atau
terdakwa berhak mendapatkan Surat Perintah penahanan atau penahanan lanjutan
yang berisikan Identitas Tersangka/Terdakwa, Alasan Penahanan, Uraian Singkat
perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan, dan Tempat dimana
Tersangka/Terdakwa ditahan. Tembusan Surat Perintah Penahanan atau Penahanan
Lanjutan atau Penetapan Hakim itu, harus diberikan kepada keluarga
Tersangka/Terdakwa dengan didukung bukti penerimaan ( Ekspedisi )
Tidak didukung dengan bukti yang cukup,
melebihi limit waktu penahanan, penahanan bukan untuk kepentingan pengadilan
(perkara sudah P.21 tetapi perpanjangan penahanan masih dilakukan.
Untuk lebih memahami implementasi Lembaga
Praperadilan, maka penulis mencoba mengkaji Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Tenggarong Nomor 02/Pen.Pra/2012/PN.Tgr dengan Pemohon Arifuddin
Semmangga alias Datuk bin Semmangga yang amar putusannya menyatakan gugur
permohonan pemeriksaan praperadilan dari Pemohon Arifuddin Semmangga alias
Datuk bin Semmangga dan Membebankan biaya perkara kepada Pemohon sebesar Nihil,
dengan fakta hukum sebagai berikut:
Terhadap perkara
Pemohon Praperadilan atas nama Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga
telah dilimpahkan oleh Kejaksaan Negeri Tenggarong ke Pengadilan Negeri
Tenggarong pada hari Selasa tanggal 25 September 2012 di bawah register Pidana
No. 394/Pid.B/2012/PN.Tgr dimana dengan adanya Pelimpahan Perkara tersebut dan
telah dicatat dalam register maka proses pemeriksaan oleh Pengadilan Negeri
telah dimulai.
Pasal 82 ayat (1)
huruf d KUHAP menyatakan bahwa “dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa
oleh Pengadilan Negeri, sedangkan Pemeriksaan mengenai Permintaan Kepada
Praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur”.
Dengan didasarkan
Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP dihubungkan dengan fakta hukum tersebut di atas
dimana perkara aquo sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Tenggarong dan sudah
dicatat dalam register maka permohonan pemeriksaan praperadilan ini haruslah
dinyatakan gugur dengan membebankan biaya perkara kepada Pemohon sebagaimana
amar putusan ini.[77]
Setelah melihat tayangan video penangkapan
Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga, penulis berpendapat :
1. Bahwa
Sdr. Arifuddin Semmangga sedang asik berbicara dengan seorang petugas dan
terasa tidak ada masalah, setelah selang sekitar 30 menit datanglah sekelompok
orang mungkin sekitar 20-30 orang berpakaiaan putih-putih yang mengaku dari
Polres Kukar yang langsung menangkapnya, dengan tuduhan menbawa senjata tajam.
Apabila
kita memahami bunyi pasal 17 KUHAP yang menyatakan bahwa ‘’Perintah penangkapan
dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti permulaan yang cukup “. Istilah diduga keras berarti tidak
boleh asal menduga, tidak boleh hanya menduga –duga saja melainkan dugaan keras
bahwa seseorang akan melakukan tindak pidana, padahal Sdr. Arifuddin Semmangga tidak
pernah mencabut dari sarungnya jadi bagaimana bisa dilakukan penangkapan dan
atas dasar apa ? Siapa tahu barang tersebut adalah mainan?. Terkecuali Sdr.
Arifuddin Semmangga mencabut dari sarungnya mungkinada indikasi melakukan
tindak pidana. Sedangkan bukti permulaan yang cukup ini seminimnya dua alat
bukti yang salin bersesuaian.
Kenapa
petugas ini tidak melakukan Penyelidikan terlebih dahulu, untuk menentukan ada
tidaknya tindak pidana, kemudian Penyidikan jadi tidak asal saja.Kalau atas
dalih petugas bahwa Sdr. Arifuddin Semmangga tertangkap tangan, apakah dapat
dikatakan tertangkap tangan apabila yang menangkap sekitar 20-30 orang, itupun
harus ada tindak pidana yang dilakukan.
2. Melihat
bahwa Sdr. Arifuddin Semmangga memiliki pondok disitu dan makan minum, tinggal
disitu harusnya petugas berkesimpulan bahwa Sdr. Arifuddin Semmangga memang
seorang petani, dan apabila memang benar bahwa yang dibawanya adalah parang
untuk bertani, memotong batang singkong. Tentunya petani tidak melanggar
membawa parang tsb, karenan penjelasan tentang senjata tajam yang dimaksud
telah dijelaskan di dalam ayat 2 nya ( Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Darurat
No. 12 Tahun 1951 ) yaitu bukan alat pertanian.
3. Bahwa
Sdr. Arifuddin Semmangga sudah tua renta, umurnya sekitar 84 Tahun, bagaimana
mungkin akan melarikan diri.
Kesimpilan dari penulis bahwa apa yang
dilakukan Petugas adalah melawan hukum, Upaya paksa yang dilakukan telah
melanggar hak-hak manusia. Petugas seharusnya berpedoman ketentuan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dimana Penyidik di dalam
melaksanakan tugasnya wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku sebagaimana
digariskan di dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d jo. ayat (3) KUHAP. Apalagi bila
mengkaji Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagaimana digariskan di dalam:
Pasal
1 ayat (6) yang menyatakan:
“Keamanan dalam
negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.
Pasal
13 menyatakan:
“Tugas
pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. Memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan
hukum; dan
c. Memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.
Dari hasil Wawancara Penulis dengan Para Pihak
yang bersangkutan diperoleh data :
1. Sdr.
Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga ( Pemohon Praperadilan )
menyatakan:
[78]
Bahwa, saya petani yang setiap harinya
selalu mengerjakan pekerjaan di tanah/kebunnya di KM. 29 RT. 21 Dese Sebuntal,
Kecamatan Marang Kayu, Kabupaten Kutai Kartanegara yang dikerjakan sejak tahun
1997 sampai dengan sekarang ini, dan saya memiliki Pondok dikebunya, tinggal,
berteduh dan memasak di pondoknya. Pada tanggal 15 Agustus 2012 sewaktu saya
sedang asik bekerja di kebun tersebut, tiba-tiba didatangi beberapa orang
petugas kepolisian dari Polsek Marang Kayu dan Polres Kukar Tenggarong yang
langsung melakukan penangkapan terhadap dirinya yang selanjutnya Pemohon dibawa
ke Tenggarong dan dilakukan penahanan di Rutan Polres Kukar Tenggarong hingga
saat sekarang ini (sejak mengajukan permohonan Pemeriksaan Praperadilan yang
mungkin berlanjut sampai dengan adanya putusan Praperadilan ini).
Saya ditangkap di kebun dan petugas tidak
menunjukkan/membawa Surat Perintah Penangkapan bahkan sewaktu ditanyakan
masalah surat penangkapan tersebut, Petugas mengatakan jangan banyak bicara
ikut saja dan selanjutnya saya disikap oleh salah seorang petugas dan dipaksa
agar mengikuti saja dan menuju ke kendaraan. Selanjutnya langsung dibawa ke
Mapolres Kukar Tenggarong dan setelah beberapa waktu lamanya barulah Pemohon
disodorkan surat, ternyata adalah Surat Perintah Penangkapan.
Oleh karena saya tidak merasa bersalah telah
melakukan tindak pidana sebagaimana yang dituduhkan maka saya tidak bersedia
menandatangani Surat Perintah Penangkapan serta Berita Acara Penangkapan maupun
Berita Acara Penahanan yang disodorkan oleh Petugas Kepolisian di Kantor Polres
Kukar.
Saya dalam pemeriksaan di Polres Kukar oleh
Penyidik tidak didampingi kuasa hukum. Pemohon melalui keluarganya juga telah
mengajukan permohonan Penangguhan Penahanan, tetapi ditolak. Padahal pemohon
sekarang berusia 68 Tahun berdasarkan KTP yang seharusnya berusia 84 Tahun.
2. Sdr.
Zainal bin Arifudin ( anak Kandung Pemohon yang tidak mengetahui kejadian
penangkapan Pemohon) yang menyatakan : [79]
Bahwa, benar keseharian bapak adalah di
kebun bertani, tinggal dan menetap di pondoknya. Bapak memiliki Tanah seluas 43
Ha, yang terletak di KM. 29 RT. 21 Dese Sebuntal, Kecamatan Marang Kayu,
Kabupaten Kutai Kartanegara, dengan surat Kelompok Tani dan garapan Tahun 1997
( Surat Asli ditunjukan kepada Penulis ).
Permasalahan ini dipicu dari Bapak menutup
jalan hauling PT. MSJ karena merasa jika jalan hauling tersebut dibuat di atas
tanah kebunnya yang sampai sekarang belum jelas mengenai ganti ruginya. Bapak
juga pernah menutup jalan hauling tsb dengan menggunakan tali rafia pada tahun
2012. Dan permasalahan Bapak dengan PT. MSJ sudah berlangsung sejak 2008.
Bapak pernah mendapat ganti rugi dari PT.
MSJ dengan total sebesar Rp. 93.000.000,- (sembilan puluh tiga juta rupiah),
tetapi mengenai ganti rugi lahan belum sama sekali.
3. Sdr.
Akbar bin Arifuddin ( anak Kandung Pemohon yang mengetahui kejadian penangkapan
Pemohon) yang menyatakan : [80]
Bahwa,
benar Saya melihat proses penangkapan terhadap Bapak saya pada sore hari
tanggal 15 Agustus 2012 di jalan hauling PT MSJ di daerah Marang Kayu Kabupaten
Kutai Kartenegara dan saksi sempat merekam kejadian tersebut, penangkapan
tersebut terjadi di jalan hauling PT. MSJ
yaitu kebun milik Bapak, berawal pada waktu bapak menutup jalan hauling dengan menggunakan tali
rafia sambil membawa parang di pinggang, setelah itu Bapak kembali bekerja di
kebunnya memotong-motong batang ubi kayu untuk ditanam. Tidak lama kemudian
Polisi berpakaian preman datang dan membentak-bentak Bapak di jalan hauling
tersebut, kemudian petugas tersebut lalu menangkap bapaknya dan membawa ke
Polres Kutai Kartanegara bersama dengan saya. Sesampainya di Polres, saya dan
Bapak diperiksa dalam ruangan terpisah, kemudian bapak di tahan.
4. Sdr.
Indrajid Wahyu Bramantyo karyawan PT. MSJ menyatakan : [81]
Bahwa,
benar Sdr. Arifuddin Semmangga sering menutup jalan hauling PT. MSJ. Padahal
permasalahan antara PT MSJ dengan masyarakat sekitar sudah diselesaikan dan
diserahkan kepada Pemerintah Daerah dan ada rekomendasi dari Pemerintah Daerah
bahwa kawasan tersebut masuk dalam kawasan hutan dan kepada para penggarap
hanya diganti tanam tumbuh di atasnya. Dan Sdr. Arifuddin Semmangga telah menerima ganti rugi sebesar Rp.
88.000.000,- ( delapan puluh delapan juta rupiah ).
5. Brigpol
I Made Sampun ( Anggota Polres Kukar
yang melakukan penangkapan ) menyatakan : [82]
Bahwa,
benar kejadian penangkapan tersebut terjadi pada hari Rabu tanggal 15 Agustus
2012 sekitar jam 16.30 sore hari di jalan Hauling PT MSJ di daerah Marang Kayu
Kabupaten Kukar, berdasarkan Surat Perintah untuk mengamankan daerah tersebut
karena ada penutupan jalan hauling. Saya melihat Sdr. Arifuddin Semmangga
sedang berbicara dengan petugas di jalan hauling tersebut sambil membawa parang
yang digantung di pinggang kirinya. Kemudian saya menangkapnya dan membawa ke
Polres Kukar untuk diserahkan kepada Penyidik.
Sdr.
Arifuddin Semmangga telah tertangkap tangan membawa parang sehingga langsung
saya amankan, tidak perlu memerlukan Surat Perintah Penangkapan.
6. Brigpol
Bambang Wahyudi ( Penyidik Polres Kukar ) menyatakan : [83]
Bahwa,
benar pada tanggal 15 Agustus 2012 masuk laporan polisi model A an terlapor
Sdr. Arifuddin Semmangga. Kemudian saya mengadakan pemeriksaan kepada Sdr.
Arifuddin Semmangga tanpa didampingi kuasa hukumnya dan berdasarkan hasil
pemeriksaan lalu dikeluarkan penahanan. Saya melihat brang bukti parang
tersebut dan mencabut parang tersebut dari sarungnya dimana satu sisinya tajam
dan sisi lainnya tumpul, lalu memperlihatkan parang tersebut kepada Sdr.
Arifuddin Semmangga dan diakui sebagai parang yang dibawanya.
7. Kompol
Muh. Daud, SH., MH ( Kuasa Termohon ) menyatakan : [84]
Bahwa,
petugas sesuai dengan Surat Perintah Kapolres Kutai Kartanegara Nomor:
Sprin/969/VIII/2012, tanggal 15 Agustus 2012 tentang sedang melaksanakan tugas
dan tanggung jawab pengamanan di lokasi kerja PT. Mahakam Sumber Jaya di Desa
Sebuntal, Kecamatan Marang Kayu, Kabupaten Kutai Kartanegara dan pada saat
sedang melaksanakan pengamanan tersebut mendapati Sdr. Arifuddin Semmangga
sedang melakukan penutupan jalan houling di lokasi kerja PT Mahakam Sumber Jaya
tersebut dengan membawa 1 (satu) bilah parang lengkap dengan sarungnya yang
terbuat dari plastik yang diikatkan di pinggangnya maka Sdr. Arifuddin
Semmangga diamankan dan ditangkap.
Sdr.
Arifuddin Semmangga ditangkap oleh petugas dalam keadaan tertangkap tangan dan
bukan dalam keadaan sedang asik bekerja di kebun, dan proses penangkapan dan
penahanannya sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pada saat Proses
penangkapan Sdr. Arifuddin Semmangga
sedang membawa senjata tajam yang tidak dilengkapi dengan surat ijin membawa
senjata tajam yang dikeluarkan oleh aparat yang berwenang sehingga apabila petugas
tidak mengamankan maka akan bertentangan dengan undang-undang.
Surat
Perintah Penangkapan Kapolres Kutai Kartanegara Nomor
SP.Kap/130/VIII/2012/Reskrim dan Berita Acara Penangkapan tanggal 15 Agustus
2012 an. Tersangka Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semmangga dan Surat
Perintah Penahanan Kapolres Kutai Kartanegara Nomor SP.Han/97/VIII/2012/Reskrim
dan Berita Acara Penahanan tanggal 16 Agustus 2012 an. Tersangka Arifuddin
Semmangga alias Datuk bin Semmangga adalah Sah Menurut Hukum. Arifuddin
Semmangga alias Datuk bin Semmangga tidak mau menandatangani Surat Perintah
Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan
Benar
bahwa, Kapolres Kukar tidak mengabulkan permohonan penangguhan penahanan
Pemohon juga sudah sesuai dengan ayat (1) Pasal 21 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi, Perintah penahanan atau penahanan lanjutan
dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Oleh
karena Sdr. Arifuddin Semmangga dikhawatirkan akan mengulangi lagi tindak
pidana tersebut. Sdr. Arifuddin Semmangga diduga keras melanggar Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dengan ancaman 10 tahun penjara.
Bahwa,
Sdr. Arifuddin Semmangga terlalu prematur mengajukan tuntutan ganti rugi
karena:
Bahwa
sampai saat ini belum ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap terhadap perkara pokoknya sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi “Tuntutan ganti
kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP hanya diajukan dalam
tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum
tetap”, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat pemberitahuan
penetapan praperadilan.
Bahwa
dari isi Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tersebut di atas
jelaslah bahwa Pemohon baru dapat mengajukan ganti rugi setelah perkara
pokoknya mempunyai putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, yaitu putusan pengadilan yang memutuskan tentang sah atau tidaknya
penangkapan dan penahanan tersebut.
8. Kompol
Supartono, SH ( Kuasa Termohon ) menambahkan : [85]
Bahwa,
yang dimaksud senjata tajam adalah dimana satu sisinya tajam dan sisi lainnya
tumpul, memang kepolisian tidak melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang
senjata tajam dan surat ijin membawa senjata tajam.
Padahal perlu-tidaknya seorang tersangka atau terdakwa didampingi
penasihat hukum semata-mata hanyalah soal hak, yaitu hak untuk didampingi
penasihat hukum. Kalau seorang tersangka atau terdakwa menyatakan tidak
bersedia didampingi penasihat hukum, sekalipun hal itu diberikan atas
penunjukan pengadilan melalui sebuah penetapan tertulis (misalnya dalam hal
ancaman pidana terhadap terdakwa diatas 15 tahun), hal tersebut tidak berlaku
sepanjang tersangka atau terdakwa tetap keberatan dan tidak bersedia didampingi
penasihat hukum.
9. H.
Djasman Kasto, SH ( Kuasa Hukum Pemohon Arifuddin Semmangga alias Datuk bin
Semmangga ) menyatakan : [86]
Bahwa, Sdr Arifuddin Semmangga adalah petani
yang setiap harinya selalu mengerjakan pekerjaan di tanah/kebunnya di KM. 29
RT. 21 Dese Sebuntal, Kecamatan Marang Kayu, Kabupaten Kutai Kartanegara yang
dikerjakan sejak tahun 1997 sampai dengan sekarang ini. Pada tanggal 15 Agustus
2012 sewaktu sedang asik bekerja di kebun tersebut, tiba-tiba didatangi
beberapa orang petugas kepolisian dari Polsek Marang Kayu dan Polres Kukar
Tenggarong yang langsung melakukan penangkapan terhadap dirinya yang
selanjutnya Arifuddin Semmangga dibawa ke Tenggarong dan dilakukan penahanan di
Rutan Polres Kukar Tenggarong hingga saat sekarang ini (sejak mengajukan
permohonan Pemeriksaan Praperadilan yang mungkin berlanjut sampai dengan adanya
putusan Praperadilan ini). Yang mana petugas tidak menunjukkan/membawa Surat
Perintah Penangkapan bahkan sewaktu ditanyakan masalah surat penangkapan
tersebut, Petugas mengatakan jangan banyak bicara ikut saja dan selanjutnya Sdr
Arifuddin Semmangga disikap oleh salah seorang petugas dan dipaksa agar
mengikuti saja dan menuju ke kendaraan. Selanjutnya langsung dibawa ke Mapolres
Kukar Tenggarong dan setelah beberapa waktu lamanya barulah disodorkan surat,
ternyata adalah Surat Perintah Penangkapan, dan dituduh telah melakukan tindak
pidana melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 yang
berbunyi:
“Barangsiapa yang
tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh,
menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan
padanya atau mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata
penusuk (slag steck of stoot wapen), dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya sepuluh tahun”.
Sedangkan
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 berbunyi:
“Dalam pengertian
senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk dalam pasal ini, tidak
termasuk barang-barang yang nyata-nyata dimaksudkan untuk dipergunakan
pertanian atau untuk pekerjaan-pekerjaan rumah tangga atau untuk kepentingan
melakukan dengan sah pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai
barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib (merkwaargheid)”.
Apabila
kita mengkaji dari kasus yang menyangkut masalah senjata tajam, ternyata ada
kasus yang sama dengan kasusnya Pemohon sampai pada tingkat Kasasi yang telah
diputuskan oleh Majelis Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 103.K/Kr/1975
tanggal 12 Agustus 1976 yang menyatakan:
“Buat seorang petani, arit, cangkul, dan
parang adalah alat pekerjaan sehari-hari yang tidak dapat dianggap termasuk
senjata tajam yang dimaksud oleh Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor
12 Tahun 1951”.
Selanjutnya
Sdr.Arifuddin Semmangga tidak merasa bersalah sehingga tidak bersedia
menandatangani Surat Perintah Penangkapan serta Berita Acara Penangkapan maupun
Berita Acara Penahanan yang disodorkan oleh Petugas Kepolisian di Kantor Polres
Kukar. Kalaupun tuduhan itu benar, dimana ternyata membawa parang (mandau)
hanyalah dipergunakan untuk bekerja di kebun, bukan dipergunakan untuk
mengancam seseorang atau orang lain.
Dan
petugas hanya membaca suatu ketentuan perundang-undangan hanya
sebagian-sebagian/sepotong-sepotong saja, sehingga tidak menguasai/memahami apa
yang dimaksud dengan senjata tajam sebagaimana diatur di dalam Pasal 2
Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, dan tidak dibenarkan untuk ditafsir
sendiri. Apabila petugas tetap berpendapat/berpendirian seperti tersebut di
atas (para petani dilarang membawa, memiliki, menguasai, menggunakan senjata
tajam) berarti secara langsung atau tidak langsung Termohon menghambat program
Pemerintah Cq Menteri Pertanian dan Tanaman Pangan untuk meningkatkan kebutuhan
pangan bagi rakyat Indonesia di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Lalu dengan alat apa masyarakat petani untuk berkebun dalam upayanya
meningkatkan produksi pangannya? Oleh karena perbuatan petugas sudah menyimpang
dari ketentuan hukum, maka sudah tepat bila Penyidik dapat dikatakan telah
melakukan perbuatan melawan hukum.
Sedangkan
senjata parang yang dibawa oleh Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk adalah
sebagai alat bekerja di kebunnya sebagaimana layaknya seorang petani .Kalau
seorang pertani yang membawa parang pulang pergi atau berada di kebunnya
ditangkap oleh Kepolisian , lalu bagaimana dengan para pedagang buah-buahan ,
pedagang daging atau pedagang lainnya , yang jelas-jelas selalu membawa ,
menggunakan senjata tajam , begitu juga bagaimana dengan para pedagang
alat-alat pertanian dipasar maupun yang menjajakan parang, pisau , arit (
celurit ) yang masuk desa keluar desa maupun kota yang jelas-jelas mereka
termasuk juga membawa , menyimpan dan tidak memiliki izin untuk berdagang atau
membawa senjata tajam ?
Mengapa
mereka itu tidak dilakukan penangkapan oleh Penyidik / Polisi sebagaimana yang
telah dilakukan terhadap Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk dan Zainal
Arifuddin?.
Dari
pihak keluarga Sdr Arifuddin Semmangga telah pula mengajukan permohonan
penangguhan penahanan kepada Kapolres Kukar, yang dapat dikatakan tidak
mendapat tanggapan yang positif bahkan Kapolres Kukar melakukan permohonan
untuk perpanjangan penahanan ke Jaksa Penuntut Umum dan oleh Jaksa Penuntut
Umum permohonan tersebut telah terlanjur dikabulkan sehingga membawa akibat Sdr
Arifuddin Semmangga tetap ditahan terus di Polres Kukar.
Sehingga
jelas bahwa penangkapan tersebut tanpa didasarkan bukti permulaan yang cukup,
atau setidak tidaknya dua alat bukti yang saling bersesuaian ( sesuai dengan
pasal 17 KUHAP ), yang nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan hukum.
10. Riyono
Pratikto, SH ( Kuasa Hukum Pemohon Arifuddin Semmangga alias Datuk bin
Semmangga ) menambahkan :[87]
Bahwa,
penangkapan dan Penahanan oleh Penyidik Polres Kutai Kartanegara adalah tidak
sah dan atau tidak mempunyai kekuatan hukum dengan alasan:
- Petugas
dari Polsek Marang Kayu dan Polres Kutai Kartanegara pada saat penangkapan
tidak menunjukkan Surat Perintah Penangkapan dengan dalih tertangkap tangan
padahal berdasarkanpasal 1 ayat 19 KUHAP yang dimaksud tertangkap tangan adalah
adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau
dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat
kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau
apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah
pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
Tindak pidana apa yang dilakukan ?
- Sdr
Arifuddin Semmangga membawa parang dalam kapasitasnya sebagai Petani dan tidak
bisa dikategorikan sebagai senjata tajam sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Bahwa
alasan dari Kepolisian melakukan tindakan penangkapan dan penahanan tersebut
karena Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk tertangkap tangan membawa senjata
tajam di kebunnya / jalan Holling yang dianggap telah melanggar pasal 2 ayat
(1) U.U. Darurat No. 12 Tahun 1951 ( senjata tajam ). penangkapan mencapai
lebih kurang sebanyak 30 (tiga puluh) orang / personil. Logikanya hanyalah ada
beberapa anggota Polisi saja yang sedang melakukan patroli , lalu melihat
seseorang yang sedang melakukan perbuatan melawan hukum maka dilakukan
penangkapan , karena telah melanggar suatu ketentuan hukum ( dalam perkara ini
karena telah melanggar pasal 2 ayat (1) U.U. Darurat No. 12 Tahun 1951 ) .
Ditambahkan
lagi bahwa :[88]
Karenanya penyidikannya belum
selesai selama masa penahanan oleh Penyidik untuk selama 20 ( dua puluh ) hari
, maka dimintakanlah perpanjangan penahanannya ke Kejaksaan Negeri Tenggarong
dengan surat dari Kapolres Kukar No. B/97.a/VIII/ 2012/Reskrim tgl. 28 Agustus 2012 ; dan KEJARI
TENGGARONG dengan suratnya No. Print/1190/Q.4.12/ Euh.1/08/2012 , telah
memberikan perpanjangan penahanan .
Timbullah
masalah / pertanyaan yaitu pasal berapa yang menjadi dasar hukumnya sehingga
KAJARI memberikan perpanjangan penahanan terhadap tersangka Sdr. Arifuddin
Semmangga alias Datuk , sedang perbuatannya bukanlah merupakan perbuatan
Kejahatan sesuai dengan makna bunyi pasal 2 ayat (2) U.U. Darurat No. 12 Tahun
1951 ? .
Apakah
permohonan perpanjangan penahanan dari Penyidik itu harus selalu dikabulkan
sedang landasan hukumnya tidak ada atau tindak pidananya tidak ada ? .
Hal
ini sesuai dengan bunyi pasal 2 ayat (2) U.U. Darurat No. 12 Tahun 1951 ; yaitu
bagi petani memiliki kebebasan untuk menyimpan , membawa , menggunakan
alat-alat pertaniannya.
Berdasarkan hal
tersebut di atas, kuasa hukum pemohon praperadilan mengemukakan pendapat
sebagai berikut:
1. Bahwa tersangka berumur 84
tahun apakah mungkin dapat melakukan tindak pidana.
2. Menurut pengacara Riyono Pratikto,
SH mengenai
keterangan penyidik I Made Sampun,
bahwa dia menangkap tersangka di lokasi,
tetapi dia tidak bisa mendefinisikan apa itu penyelidikan dan apa itu
penyidikan. Atas dasar
tertangkap tangan ( Penulis hadir dalam persidangan tsb ).[89]
Pada
pelimpahan berkas perkara Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk bin Semangga
yaitu :
1. Kejaksaan Negeri Tenggarong
pada tgl. 14 September 2012 telah menerima penyerahan tahap pertaman berkas
perkara a/n Tersangka Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk untuk dilakukan
penelitian oleh Jaksa Penuntut Umum ( JPU ) atas kelengkapan berkas perkara
tersebut .
2. Kejaksaan
Negeri Tenggarong pada tgl. 14 September 2012 itu juga dengan suratnya No.
B/1664/Q.4.12/Sp.1/09/2012 .- menyatakan bahwa hasil penyidikan dinyatakan telah
lengkap ( P. 21 ) kepada Penyidik / Kapolres Kukar ( Tenggarong ) .
Kami
merasa salut atas pekerjaan JPU a/n BAMBANG ARIYANTO , SH yang telah dapat
menyelesaikan penelitian satu berkas perkara hanya dalam waktu beberapa jam
saja atau tidak lebih dari 24 ( dua puluh empat ) jam . Mudah-mudahan pekerjaan
seperti itu dapat diikuti oleh para Jaksa lainnya sehingga kegiatan penegakan
Hukum pada KEJARI TENGGARONG atau dalam wilayah Kabupaten KUKAR dapat berjalan
lancar sebagaimana diharapkan oleh masyarkat dalam Reformasi hukum pada saat
sekarang ini .[90]
Hanya
yang mengherankan bagi kami ( pada saat masih memegang SURAT KUASA dari Termohon Praperadilan ) terhadap hasil
kerja JPU a/n BAMBANG ARIYANTO , SH / KAJARI TENGGARONG yang secara tidak
langsung menentukan bahwa perbuatan Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk
sebagai seorang petani yang membawa senjata parang sebagai alat untuk bekerja
dikebunnya dianggap telah melakukan suatu kejahatan sebagaimana diatur didalam
pasal 2 ayat (1) U.U. Darurat No. 12 Tahun 1951 .[91]
Apakah
beliau tidak membaca bunyi pasal 2 ayat (2) U.U. Darurat No. 12 Tahun 1951 yang
secara tegas menyatakan bahwa : [92]
“ Dalam
pengertian senjata pemukul , senjata penikam atau senjata penusuk ini , tidak
termasuk barang yang nyata-nyata dimaksud dipergunakan untuk pertanian atau
untuk pekerjaan – pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau
barang kuno atau barang ajaib (merkwaardigheid ) “ .
Begitu
juga , apakah seorang Jaksa Penuntut Umum hanya mengikuti begitu saja dari
suatu berkas perkara yang ditentukan dan dikirim oleh Penyidik ? . [93]
Misalnya
bila Penyidik menentukan seorang tersangka diduga telah melanggar pasal 2 ayat
(1) U.U. Darurat No. 12 Tahun 1951 , lalu JPU mengikuti begitu saja tanpa
memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku seperti layaknya pasal 2 ayat (1)
U.U. Darurat tersebut ??? .
Menurut
pandangan kami tidak demikian .[94]
Bahwa
seorang JPU dapat saja menentukan bahwa perbuatan Sdr. Arifuddin Semmangga
alias Datuk bukanlah suatu pelanggaran atau kejahatan dengan memperhatikan
bunyi pasal 2 ayat (2) U.U. Darurat tersebut
yang secara jelas / tegas menyatakan
: “ . . . . . dst . . . . tidak termasuk barang yang nyata-nyata
dimaksud dipergunakan untuk pertanian atau untuk pekerjaan – pekerjaan atau
yang nyata-nyata mempunyai tujuan
sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib ( merkwaardigheid
) “ . Sedangkan sebagai seorang Jaksa
didalam melaksanakan tugas pekerjaannya tentunya juga berpedoman pada pasal 8
ayat (2) jo (3) jo (4) U.U. No. 16 Tahun 2004 tentang KEJAKSAAN REPUBLIK
INDONESIA .[95]
3. Sebagai
seeorang Jaksa Penuntut Umum sewaktu melakukan penelitian berkas perkara ,
tentunya membaca bahwa Berita Acara Pemeriksaan Tersangka tertanggal 16 Agustus
2012 yang dibuat / dilakukan oleh
Brigpol BAMBANG WAHYUDI Nrp. 81030361 jabatan selaku Penyidik Pembantu ,
ternyata pemeriksaan terhadap Tersangka Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk
tanpa didampingi oleh Penasehat Hukum ; sedangkan ancaman hukuman terhadap
kejahatan yang disangkakan tersebut kepada Tersangka diancam dengan hukuman
sebagaimana ditentukan didalam pasal 2 ayat (1) adalah “ hukuman penjara
sementara selama-lamanya sepuluh tahun “ .[96]
Sedangkan
pasal 56 sendiri telah mengatur bagaimana seorang penyidik yang melakukan
pemeriksaan / penyidikan terhadap seseorang yang disangka dan diancam dengan
pidana diatas lima tahun wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka .
Dengan
demikian jelaslah bahwa perbuatan Penyidik dan / atau JPU seperti itu tentunya
sudah merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana digariskan didalam pasal 56
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) / U.U. No. 8 Tahun 1981
.
4. Mengapa JPU
tersebut tidak menyatakan kepada PENYIDIK agar pemeriksaan (sewaktu penyidik
melakukan penyidikan atau membuat Berita Acara pemeriksaan ) terhadap tersangka
WAJIB didampingi oleh Penasehat Hukum dan karenanya berkas perkara itu jelas
tidak / belum lengkap . [97]
Sebetulnya
/ seharusnya J P U menyatakan berkas
perkara tersebut belum lengkap ; tidak sebagaimana dalam Suratnya KAHARI
Tenggarong pada tgl. 14 September 2012 dengan No. B/1664/Q.4.12/ Sp.1/09/2012
.- yang menyatakan bahwa hasil penyidikan telah lengkap ( P. 21 ) . (
Berdasarkan alat bukti tertulis yang diajukan oleh Termohon Praperadilan
didalam persidangan ) . Dengan demikian kami beranggapan JPU yang menangani
perkara tersebut telah menyimpang dari ketentuan hukum sebagaimana yang telah
digariskan didalam pasal 2 ayat (1) U.U. Darurat No. 12 Tahun 1951 dan pasal 8
ayat (2) jo (3) jo (4) U.U. No. 16 Tahun 2004 tentang KEJAKSAAN REPUBLIK
INDONESIA .[98]
Pada Pengadilan
Negeri Tenggarong berkas perkara Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk bin
Semangga yaitu :
1. Pada Pengadilan
Negeri Tenggarong , pada tanggal 25 September 2012 telah menerima berkas
perkara a/n Terdakwa Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk yang pada hari itu
juga telah di Register , dan telah menunjuk Majelis Hakim untuk menangai atau
memeriksa dan mengadili berkas perkara tersebut dengan Nomor :
394/Pid.B/2012/PN-Tgr , tanggal 25 September 2012 oleh Ketua Pengadilan Negeri
Tenggarong ( sebagaimana dalam
pertimbangan Hakim Praperadilan dalam perkara permohonan PRAPERADILAN pada
halaman 31 alinia pertama ) sedangkan pada tanggal 25 September 2012 atau pada
tanggal 26 September 2012 ; Ketua Pengadilan Negeri Tenggarong telah menunjuk
Majelis Hakim dalam perkara No. 394/Pid.B/2012/ PN-Tgr yang terdiri dari:
Ketua Majelis : H. Rasyikin Azis , SH , MH ;
Hakim Anggota : Putu , SH ;
Hakim Anggota : Zulkarnain , SH .
Panitera Pengganti : Marlisye Pardin , SH ;
Majelis
Hakim sendiri belum menentukan hari , tanggal persidangan untuk perkara
tersebut.
Berdasarkan
uraian diatas maka timbullah pertanyaan bagi Penasehat Hukum Terdakwa sejak
kapan suatu perkara utama / pokok ( perkara No. 394/Pid.B/2012/PN-Tgr )
dinyatakan “ sudah mulai di periksa oleh Pengadilan Negeri “ , sesuai dengan
makna pasal 82 ayat (1) huruf b ? .[99]
Kami
Penasehat hukumnya Terdakwa berpendapat bahwa :
“ sudah mulai di periksa oleh Pengadilan Negeri
“ adalah apa bila setelah Majelis Hakim yang ditugaskan memeriksa dan mengadili
perkara No. 394/Pid.B/2012/PN-Tgr telah
duduk di meja per - sidang - an dan menyatakan sidang dibuka dan terbuka
untuk umum ; walaupun belum memerintahkan kepada Jaksa Penuntut Umum ( JPU
) untuk membacakan surat dakwaannya “ .
2. Demikian pula
halnya Majelis Hakim tersebut dalam hal melakukan penahanan terhadap Terdakwa
Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk juga menimbulkan suatu pertanyaan bagi
Penasehat hukumnya yaitu :
Apa
yang menjadi landasan / dasar hukum – nya sehingga Majelis Hakim dalam perkara
No. 394/Pid.B/2012/PN-Tgr Terdakwa a/n. Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk
dilakukan penahanan ? , sedangkan dakwaannya terhadap Tersangka yang didakwakan
telah melakukan kejahatan melanggar pasal 2 ayat (1) U.U. Darurat No. 12 Tahun
1951. [100]
Namun
demikian bila memperhatikan bunyi pasal 2 ayat (2) U.U. Darurat itu sendiri
menyatakan bahwa :
“ pengertian
senjata pemukul , senjata penikam atau senjata penusuk dalam pasal ini tidak
termasuk barang-barang yang nyata-nyta dimasukkan untuk dipegunakan guna
pertanian , atau untuk pekerjaan-pekerjaan
rumah tangga atau untuk kepentingan melakukan dengan sah pekerjaan atau
yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau
barang ajaib ( merkwaardigheid ) “ .
Berdasarkan
pasal 2 ayat (2) U.U. Darurat tersebut tidaklah tepat bila Terdawa Sdr.
Arifuddin Semmangga alias Datuk dituduh telah melanggar pasal 2 ayat (1) U.U.
Darurat No. 12 Tahun 1951 , karena Terdakwa adalah seorang petani dan pada saat
ditangkap berada disekitar kebunnya sendiri di Km. 29 atau di diwilayah desa
Sebuntal , Kec. Marang Kayu , Kabupaten Kutai Kartanegara , karena Sdr. Arifuddin Semmangga alias Datuk tidak /
belum melakukan suatu pelanggaran atau suatu kejahatan ( sesuai makna bunyi
pasal 2 ayat (1) U.U. Darurat tersebut ) .
Apabila
Majelis Hakim betul-betul berkeyakinan bahwa Terdakwa Arifuddin Semmangga alias
Datuk telah melakukan kejahatan sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut
Umum ( melanggar pasal pasal 2 ayat (1) U.U. Darurat No. 12 Tahun 1951 ) juga
menimbulkan suatu pertanyaan bagi Penasehat Hukum . ( Oleh karena Surat Kuasa
Khusus yang pernah diberikan kepada kami , sejak pada tgl. 1 Oktober 2012 telah
dicabut oleh yang bersangkutan ) dengan sendirinya tidak memiliki wewenang lagi
mendampingi Terdakwa pada proses persidangan ) ; mengapa Majelis Hakim tidak
menunjuk Pernasehat hukum lainnya untuk mendampingi Terdakwa selama dilakukan
pemeriksaan di persidangan Pengadilan Negeri ? . Pada hal pada POS BANTUAN
HUKUM di Pengadilan Negeri Tenggarong setiap hari selalu terbuka dan selalu ada
Advokat / Penasehat Hukum ) .
Sedangkan
pasal 56 ayat (1) U.U. No. 8 Tahun 1981 /KUHAP antara lain menyatakan “ . . . . . . atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun
atau lebih yang tidak mempunyai Penasehat hukum sendiri , pejabat yang
bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjukPenasehat Hukum bagi
mereka “ .
Demikian
pula halnya Majelis Hakim dalam melaksanakan tugasnya tentunya berlandas - kan
pada peraturan perundang-undangan yaitu U.U. No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) , KUHP .
Juga
tidak akan melepaskan / melupakan U.U. No. 4 Tahun 2003 tentang Kekuasaan
Kehakiman sebagaimana digariskan / ditentukan dalam :
1. Pasal
7 yang menyatakan :
“ Tidak seorang
pun dapat dikenakan penangkapan , penahanan , penggeledahan dan penyitaan ,
selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang “ .
2. Pasal
6 ayat ( 2 ) :
“ Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana ,
kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang , mendapat keyakinan
bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas
perbuatan yang dialkukan atas dirinya “ .
Berdasarkan atas uraian diatas secara
langsung atau tidak langsung bahwa pihak Pengadilan Negeri Tenggarong ( para pelaksananya )
didalam kegiatan penegakan hukum tidak sebagaimana mestinya bahkan dapat juga
dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Disamping itu sudah seharusnya Penyidik cq
anggota polisi dalam melaksanakan kewajibannya selaku Penyidik disamping
bersandarkan pada KUHAP / U.U. No. 8 Tahun 1981 tentunya juga bersandarkan pada
U.U. No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia , pada pasal
19 ayat (1) yang menyatakan :
“ Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya ,
Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma
Agama , Kesopanan , Kesusilaan serta menjunjung tinggi Hak Azasi Manuasia “
.
Apalagi bila kita memperhatikan ketentuan
pasal 4 dan pasal 5 U.U. No. 2 Tahun 2002 yang secara jelas menyatakan , bahwa
“ Kepolisian antara lain berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
, menegakkan hukum “ ; bukan kepentingan suatu perusahaan .
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Riyono
Pratikto, SH.,[101]
selaku kuasa hukum pemohon Praperadilan, diperoleh keterangan bahwa kuasa hukum
pemohon praperadilan ingin mendapatkan kejelasan dari Ketua Mahkamah Agung RI
yang menyangkut kata-kata “sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri”
sebagaimana bunyi Pasal 82 ayat (1) huruf d UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP). Di
dalam penjelasan pasal demi pasal dinyatakan “cukup jelas”, demikian pula di
dalam penjelasan umum tidak diketemukan penjelasan yang menyangkut pengertian
“sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri”.
Dalam
praktek persoalan mengenai praperadilan sering terjadi dan kadang-kadang masih
menjadi permasalahan karena tidak adanya persepsi dan penafsiran yang seragam
dan hal itu terjadi karena KUHAP tidak mengaturnya.
Selama ini kami, Kuasa Hukum Pemohon
Praperadilan memiliki/mempunyai pengertian “sudah mulai diperikda oleh
Pengadilan Negeri adalah diawali dari Yang Mulia Ketua Majelis Hakim dalam
perkara pidana tersebut telah duduk dimeja persidangan yang dilanjutkan dengan
menyatakan “Sidang dalam perkara No. ..... atas nama terdakwa .... dinyatakan
dibuka dan terbuka untuk umum, yang dilanjutkan dengan memukul palunya satu
kali; walaupun Yang Mulia Ketua Majelis belum menyuruh kepada Jaksa Penuntut
Umum untuk membacakan Surat Dakwaannya.[102]
Hasil wawancara penulis dengan Hakim Wahyudi
said, SH., MH, Hakim yang memutus perkara tsb didapat keterangan apabila
perkara aquo sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Tenggarong dan sudah
dicatat dalam register maka permohonan pemeriksaan praperadilan ini haruslah
dinyatakan gugur meskipun belum ditentukan hari sidangnya.[103]
Prakteknya,
sering terjadi bahwa pengajuan tuntutan Praperadilan oleh tersangka atau
keluarganya mengenai tidak sahnya penangkapan dan atau penahanan atas diri
tersangka, sebelum pemeriksaan Praperadilan selesai, perkaranya sudah menjadi
gugur, karena perkara pidana pokok sudah mulai disidangkan, sehingga berakibat
tersangka tetap dalam tahanan, sedangkan mungkin Praperadilan akan memberikan
keputusan tidak sahnya penangkapan dan atau penahanan.[104]
Putusan
Praperadilan yang menyatakan gugur akibat dari mulai diperiksanya perkara pokok
terhadap perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, maka pemeriksaan perkara
praperadilan belum memeriksa materi pokok dari permohonan praperadilan tersebut
dalam artian Hakim yang memeriksa permohonan praperadilan belum pada tahap
mempertimbangkan apakah materi yang dijadikan obyek praperadilan telah sesuai dengan
prosedur hukum ataukah tidak.
Dengan
adanya putusan gugur tersebut yang mana belum diperiksanya obyek praperadilan,
maka tertutup kemungkinan bagi pemohon untuk melakukan upaya hukum atas putusan
tersebut, dimana upaya hukum tersebut sangatlah penting bagi pemohon untuk
mengetahui keabsahan dari tindakan hukum (penangkapan dan atau penahanan) yang
dilakukan oleh Pejabat tertentu berdasarkan kewenangannya terhadap diri
tersangka. Seharusnya ada upaya hukum yang memberikan perlindungan hukum bagi
mereka yang ditangkap, ditahan ataupun dihentikan penyidikan dan penuntutannya
dimana perkara pokoknya telah diperiksa di sidang Pengadilan, apabila hal
tersebut tidak dilakukan oleh pembuat undang-undang maka akan terjadi tindakan
kesewenang-wenangan oleh pejabat yang melakukan hal-hal tersebut di atas.
Tindakan sewenang-wenang tersebut akan kerap
terjadi dengan alasan apabila terjadi permohonan praperadilan baik terhadap
penyidik maupun Penuntut Umum, maka kedua pejabat tersebut dapat dengan leluasa
melakukan upaya pelimpahan perkara ke Pengadilan Negeri dengan harapan akan
dilakukan pemeriksaan terhadap perkara tersebut yang berakibat gugurnya
permohonan praperadilan tersebut.
Wawancara dengan
H. Djasman Kasto, SH menyatakan bahwa, saya adalah pensiunan jaksa, 32 tahun
menjadi jaksa. Setidaknya jaksa paling cepat mempelajari satu berkas perkara
adalah 14 hari, logikanya bagaimana mungkin jaksa dalam waktu 1 X 24 jam dapat
menyelesaikan satu berkas perkara apabila tidak ada maksud-maksud tertentu,
bukanya menyebabkan berkas tersebut asal-asalan jadi.[105]
Beliau menambahkan
bahwa, dengan adanya putusan gugur tersebut maka kuasa hukum mengirimkan
informasi ke Kejaksaan Agung, Kapolri, Mahkamah konstitusi dan mohon Fatwa
kepada Mahkamah Agung.[106]
Cuplikan beberapa Surat Kabar tentang
Praperadilan yang dinyatakan Gugur antar lain :
1. Okezone
: Henry Yosodiningrat ( Kuasa hukum susno Duadji ) menyatakan Yang menyebabkan
gugurnya praperadilan yakni perkara pokoknya sudah diperiksa, yaitu perkara
pokok yaitu Susno diduga menerima suap sebesar Rp400 juta. “Kalau itu sudah
diperiksa di pengadilan, baru gugur. Menurutnya, apabila suatu kasus telah
dinyatakan P21 (lengkap) maka proses selanjutnya masih panjang. Setelah P21
oleh jaksa kemudian dilimpahkan beserta barang bukti dan tersangkanya itu
pelimpahan tahap dua. Lalu jaksa membuat dakwaan, kirim berkas perkara ke
pengadilan dan kepaniteraan pidana lalu diserahkan ke ketua pengadilan, lalu
diputuskan siapa hakimnya dan seterusnya. Prosesnya tidak dengan P21
gugur. Sekarang kalau dalam tujuh hari sudah disidangkan, ini perkara ajaib.
Nggak yang P21 hari ini, minggu depan sudah disidangkan.[107]
2. Bali
Post : Strategi Kejari Denpasar dengan melimpahkan secara bersamaan perkara
pokok dugaan korupsi Disparda Bali, terdakwa Gede Nurjaya dengan gugatan
praperadilan yang diajukan kuasa hukum Suryatin Lijaya, SH. Hakim Agus Subekti,
SH menyatakan gugatan praperadilan tersebut gugur dengan pertimbangan sidang
pemeriksaan perkara pokok sudah dimulai. Suryatin Lijaya menyatakan tidak
pernah mengakui gugatannya gugur, yang diakuinya, sidang perkara pokok sudah
berjalan mendahului sidang gugatan praperadilan.[108]
3. Harian
Haluan : Hakim menilai, permohonan kedua pemohon I dan II tidak dapat
dilanjutkan dan batal demi hukum. Hakim juga menyimpulkan bahwa penolakan
praperadilan ini sudah cukup bukti yang mengacu kepada ketentuan yang
berlaku.“Di sini kami melihat, sesuai dengan ketentuan pasal 82 ayat 1 huruf d
KUHAP bahwa apabila perkara pokok sudah diperiksa oleh Pengadilan Negeri, maka
tuntutan praperadilan gugur demi hukum, dan perkara pokok Roni cs sudah
disidangkan,” kata hakim Deny. Hafnizal dan Jhonsirwan Bot serta Faisal B.M
penasehat hukum termohon I dan II mengatakan, keputusan yang ditetapkan majelis
hakim sudah tepat karena mengacu kepada aturan dan ketentuan yang berlaku.“Kami
tetap menghargai upaya yang dilakukan pelaku, itu adalah haknya untuk bisa
lepas dari ranah hukum, tetapi proses peradilan harus tetap juga
dilaksanakan. Sementara itu, Samaratul Fuad selaku PH kedua pemohon, cukup keberatan
dengan putusan yang ditetapkan oleh hakim yang menolak dan membatalkan pra
peradilan kliennya. Samaratul Fuad, SH menambahkan “Proses sidang pra peradilan
kali ini cukup membinggungkan, jadwal sidang yang seharusnya jam 9.30 Wib,
diundur sampai jam 12.30 Wib dan pihak jaksa mendahulukan agenda sidang perkara
pokok terhadap kliennya,”. Dia menilai, jaksa terkesan memaksakan sidang pokok
perkara agar bisa membatalkan praperadilan dengan acuan pasal 82 ayat 1 huruf d
Kuhap. “Dalam hal ini, jaksa tidak pernah melakukan pemangilan terhadap
kliennya, dan sepertinya ini dikondisikan agar sidang perkara pokok
didahulukan. Di sini Jaksa telah melanggar pasal 145 ayat 3 jo 4 Kuhap dan
pasal 146 ayat 1 Kuhap,” [109]
4. Bangka
Post : Perkara praperadilan yang dilayangkan pemohon tidak dapat dilanjutkan
atau gugur karena perkara pokok sudah disidangkan. Ini berdasarkan Pasal 82
ayat 1 KUHAP,” Sutama membacakan putusan perkara praperadilan Kapolsek Jebus
yang dilayangkan oleh Stefanus Thon, Melkyor Taunu, Ramidi, David Lake, Syahri,
Alimin, Arifin dan Nerman melalui pengacaranya, Dulidi Ahmad.[110]
- Tempo.Co. Metro : Sidang Praperadilan Koko, anak yang dituduh mencuri, terancam batal. Pasalnya pengadilan negeri Cibinong sudah melakukan persidangan terhadap kasus Koko siang ini. Pengacara dari lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, M. Isnur mengatakan kemungkinan praperadailan akan batal jika pengadilan sudah dimulai. “Di KUHAP pra peradilan akan gugur kalau sidang dimulai.[111]
- Harian Jogja : Sidang lanjutan gugatan Praperadilan Kapolres Sragen atas penangkapan dan penahanan tersangka kasus dugaan penggelapan mobil di Pengadilan Negeri Sragen, Gugur. Keputusan Hakim Tunggal Sutrisno, SH yang menggugurkan gugatan Pemohon didasarkan atas perkara pokok sudah dilimpahkan ke PN Sragen dan mulai memasuki Sidang Perdana.[112]
- Papua Post : Meskipun proses penahanan dinilai oleh kuasa hukum tidak sesuai dengan prosedur, tetapi karena persidangan telah berjalan dan hakim telah menyatakan gugur berdasarkan putusan majelis hakim sesuai KUHAP pasal 82 hurup d yang menyatakan, sidang sudah berjalan, maka dengan sendirinya perkara tersebut gugur demi hukum.“Pengadilan Negeri menyatakan perkara tersebut gugur demi hukum.[113]
- Radar Bogor : Dalam putusan penetapan Nomor 01/PraPeradilan/ 2011/Pn.Bogor itu, menyatakan permohonan pemeriksaan praperadilan dianggap gugur, karena perkara pokok sudah disidangkan di Pengadilan Tipikor Bandung.[114]
- Suara merdeka : Gugatan praperadilan terhadap Bripka Sumanto dan Brigadir Budiyanto, keduanya anggota Polsek Sapuran, dan Sarimin (Kepala Polisi Resort Hutan Sapuran), dinyatakan gugur.''Sebab, perkara pokok sudah diperiksa, sudah disidangkan selisih satu hari dengan jadwal putusan Praperadilan.[115]
Keputusan
sidang ini sudah bisa diprediksikan sebelumnya, sebab sidang pidana pokok perkara
sudah digelar di tengah sidang praperadilan. Pasal 82 Ayat 1 KUHAP mengatur,
jika sidang pidana pokok perkara digelar, maka praperadilan gugur," Sutaji
SH, hakim praperadilan.[116]
- Harian gaung NTB : Dan untuk diketahui perkara pokok pemohon (tindak pidana pencurian dengan kekerasan) telah dimulai disidangkan 9 diperiksa ) oleh hakim Pengadilan Negeri Sumbawa Besar pada Kamis, 6 September 2012 (sidang perdana) pemeriksaan praperadilan belum selesai . “Dengan ini menyatakan permohonan praperadilan pemohon gugur, dan menghukum pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar 5000 rupiah.[117]
- Harian Tabengan : Saat sidang permohonan berlangsung, sidang dengan perkara pokok mulai sejak Rabu (30/5) pagi. Majelis Hakim Tunggal Eko Agus Siswanto memutuskan menggugurkan permohonan dengan alasan sidang perkara pokok telah mulai berjalan. Notoe yakin bila tidak terkendala libur maka ada kemungkinan permohonan diterima. Notoe bersama kliennya mengajukan administrasi permohonan sejak Kamis (24/5) lalu. Namun karena sidang baru dimulai, Senin (28/5), maka mereka hanya punya waktu 5 hari hingga Jumat. Mereka tidak menduga pihak Kepolisian mempercepat proses pelimpahan sehingga sidang materi pokok dimulai sebelum sidang praperadilan usai. [118]
Dari uaraian diatas dapat
disimpulkan bahwa tentang putusan gugur. Menurut Pasal 81 Ayat (1) huruf d
KUHAP, apabila perkara praperadilan belum selesai diperiksa, praperadilan harus
diputuskan gugur apabila perkara pokoknya sudah mulai diperiksa/ disidangkan.Benar,
bahwa tentang sah-tidaknya penangkapan atau penahanan yang tadinya dimohonkan
praperadilan bisa saja diperiksa bersama-sama dengan pemeriksaan perkara pokok,
sehingga tidak menjadi masalah andaikan praperadilan dinyatakan gugur karena
perkara pokok sudah mulai diperiksa.
Akan tetapi alangkah mubazirnya
lembaga peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang, apabila hanya dengan
alasan perkara pokok sudah mulai diperiksa lantas praperadilan harus dinyatakan
gugur.Ketentuan ini menjadi celah bagi penyidik maupun penuntut umum untuk menggugurkan
praperadilan dengan cara buru-buru melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.
Segi negative yang timbul adalah karena pelimpahan itu tidak matang, akibatnya
berkas perkara (khususnya surat dakwaan) yang diajukan ke pengadilan merupakan
berkas perkara yang asal jadi.
Dapat dibayangkan apa yang
terjadi misalnya kalau tindakan seperti ini dilakukan dalam menangani
kasus-kasus megakorupsi, narkoba atau terorisme. Tidakkah hal ini akan membuat
wajah penegakan hukum di negeri ini semakin buram?Mestinya ketentuan ini
dihapuskan. Perlu diberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada pengadilan untuk
memutus substansi setiap praperadilan. Dan lagi pula tenggat pemeriksaan
praperadilan sudah dibatasi selama tujuh hari, mengapa kesempatan yang sangat
singkat itu pun harus dirampas hanya dengan alasan telah dimulainya pemeriksaan
perkara pokok oleh pengadilan negeri.
Sebagai negara yang berdasar
atas hukum, kita harus konsekuen menerapkan praperadilan sebagai lembaga
pengawasan horizontal oleh pengadilan negeri yang tidak setengah hati terhadap
kinerja kepolisian dan kejaksaan. Apabila masih ada putusan gugur terhadap
praperadilan hanya dengan alasan klise perkara pokok sudah mulai diperiksa,
dikhawatirkan tujuan pengawasan itu tidak akan pernah tercapai.
Dampaknya ialah bahwa kepolisian
dan kejaksaan merasa aman-aman saja melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
hukum tanpa pernah merasa dapat diawasi sekalipun pengawasan itu diberikan
berdasarkan undang-undang. Yang dirugikan adalah pihak yusticiabelen (pencari keadilan). Dan lagi pula, andaikan hakim
praperadilan memutuskan penangkapan atau penahanan oleh penyidik atau penuntut
umum tidak sah, hal tersebut tidak berdampak terhadap substansi perkara
pokoknya. Sebab sesaat setelah putusan praperadilan memerintahkan terdakwa
dikeluarkan dari dalam tahanan lantaran penahanan tidak sah (misalnya), saat
itu juga pihak berwajib dapat melakukan penangkapan atau penahanan yang sah
terhadapnya.
Hanya saja, sebagai lembaga yang
modern dan profesional, baik kepolisian maupun kejaksaan harus siap
mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan pengadilan apabila ia digugat
ganti rugi secara perdata oleh pihak yang merasa dirugikan atas tindakan
penangkapan atau penahanan yang dinyatakan tidak sah oleh putusan praperadilan.
Dalam hal praperadilan
menyangkut sah-tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, jelas tidak
berdampak terhadap persoalan materi perkara pokok karena memang sejak awal
penyidik atau penuntut umum sudah menghentikan penyidikan atau penuntutannya.
Selanjutnya upaya hukum terhadap
Putusan Praperadilan adalah final, tidak ada upaya banding, kasasi dan
Peninjauan Kembali. Kecuali terhadap sah-tidaknya penghentian penyidikan atau
penuntutan dapat dimintakan banding.
Bahwa berdasarkan Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 14 Tahun 1983 tentang Hakim Tidak Dapat di Praperadilkan yang
intinya menyatakan bahwa hakim tidak dapat diajukan ke sidang praperadilan
berdasarkan Pasal 77 KUHAP. Alasannya adalah karena tanggung jawab yuridis atas penahanan itu tetap pada masing-masing
instansi yang melakukan penahanan (pertama) itu dan apabila yang melakukan
penahanan (pertama) itu adalah hakim sendiri, maka penahanan itu adalah dalam
rangka pemeriksaan oleh Pengadilan Negeri dimana Pasal 83 ayat (1) huruf d berlaku terhadapnya. Oleh karena itu,
apabila ada permintaan pemeriksaan praperadilan terhadap seorang Hakim atas
dasar Pasal 77 KUHAP, maka permintaan tersebut harus ditolak, penolakan mana
dapat dilakukan dengan surat biasa di luar sidang.
Menurut Romli Atmasasmita[119]
untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi
realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas
tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah” yang meliputi 8 (delapan) hak,
yaitu:
- Hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan.
- Hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum yang bersangkutan.
- Hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda.
- Hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan.
- Hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu.
- Hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan.
- Hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang bersangkutan.
- Hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.
Sejalan dengan Konvenan tersebut, asas
praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang
tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci
dalam konvenan tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga
tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum.
Menempatkan tersangka bukan lagi sebagai
objek yang terperiksa (accusatoir), maka dengan mengacu pada penjelasan
umum butir 3 huruf c, asas presumption of innocent telah menjadi
landasan dalam penerbitan KUHAP. Bahkan hak tersangka selama pemeriksaan telah
ditegaskan dalam KUHAP yang harus dihormati dan diperhatikan oleh penyidik
sebagai berikut:
- Hak untuk memberikan keterangan secara bebas tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat 1 KUHAP).
- Hak untuk dicatat keterangan yang diberikannya dengan seteliti-telitinya sesuai dengan kata-kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri (Pasal 117 ayat 2 KUHAP).
- Hak untuk meneliti dan membaca kembali hasil pemeriksaan sebelum tersangka menandatanganinya (Pasal 118 ayat 1 KUHAP).
Jaminan asas praduga tak bersalah dan
prinsip pemeriksaan accusatoir ditegakkan dalam segala tingkat pemeriksaan.
Untuk menopang asas praduga tak bersalah dan prinsip accusatoir dalam
penegakan hukum. KUHAP telah memberi perisai kepada tersangka/terdakwa berupa
seperangkat hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan dilindungi oleh aparat
penegak hukum.
[50] Wawancara
dengan AKP Apri Fajar, SIk tanggal 18 Oktober 2012
[51]
Wawancara dengan H. Madli, SH tanggal 12
Februari 2013
[52] Pemaparan Wahyudi Said, SH., MH., Tanggal
21 September 2012
[53] Ibid.,.
[54] Ibid.,
[55] Ibid.,
[56] Ibid.,
[57] Ibid.,
[58] Pemaparan AKP Supartono, SH., MH, Tanggal 17 Oktober 2012
[59] Pemaparan Kompol Sukarman, SH , tanggal 17 Oktober 2012
[60] Ibid.,
[61] Wahyudi Said, SH., MH., Op.Cit
[62] Pemaparan Jaksa Bambang Irianto, SH, tanggal 20 Oktober 2012
[63] Wahyudi
Said, SH., MH, Op.Cit.
[64] Wawancara dengan H. Djasman Kasto,
SH, tanggal 13 Desember 2012
[65] Wahyudi
Said, SH., MH., Op.Cit.,
[66] Ibid.,
[67] H.
Djasman Kasto, SH., Op.Cit.,
[68] Wahyudi
Said, SH., MH, Op.Cit.,
[69] Ibid.,
[70] Ibid.,
[71]
H.Djasman Kasto, SH., Op.Cit.,
[72]
Wawancara dengan H. Djasman kasto, SH, tanggal 13 Juni 2013
[73] Ibid.,
[74] H.
Madli, SH, Op.Cit.,
[75]
H.Djasman Kasto, SH. Op.Cit.,
[76] Ibid.,
[77] Cuplikan Putusan Praperadilan
Pengadilan Negeri Tenggarong Nomor 02/Pen.Pra/2012/PN.Tgr
[78] Wawancara dengan Sdr Arifuddin
Semmangga alias Datuk bin Semmangga, Tanggal 10 Oktober 2012
[79] Wawancara dengan Sdr Zainal bin Arifuddin,
Tanggal 10 Desember 2012
[80] Wawancara dengan Sdr Akbar bin Arifuddin,
Tanggal 10 Desember 2012
[81] Wawancara dengan Sdr Indrajid Wahyu
Bramantyo, Tanggal 20 November 2012
[82] Wawancara dengan Sdr I Made Sampun,
Tanggal 15 November 2012
[83] Wawancara dengan Sdr Bambang Wahyudi,
Tanggal 15 November 2012
[86] Wawancara dengan H. Djasman Kasto, SH, Tanggal
2 November 2012
[87] Wawancara dengan Riyono Pratikto, SH,
Tanggal 25 November 2012
[89] Ibid.,
[96] Wawancara
dengan H. Djasman Kasto, Op.Cit.
[97] Ibid.,
[98] Ibid.,
[99] Ibid.,
[100] Ibid.,
[101] Wawancara dengan Riyono Pratikto,
SH., , pada tanggal 14 Desember 2012
[102] Ibid.,
[103] Pemaparan Hakim Wahyudi Said, SH., MH, tanggal 23 Oktober 2013
[104] S. Tanusubroto, 1983, Op. cit,
hal. 92
[105]
Wawancara denga H. Djasman Kasto, SH. Tanggal 12 Juni 2013.
[106] Ibid.,
[107] http://music.okezone.com/read/2010/07/05/339/349636/pengacara-susno-yakin-praperadilan-kedua-sah,
diakses tanggal 2 Februari 2013
[108]http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=10&id=47050,
diakses tanggal 2 Februari 2013
[110] http://cetak.bangkapos.com/bisnis/read/258.html,
Diakses tanggal 2 Februari 2013
[111] http://www.tempo.co/read/news/2009/07/09/064186180/Praperadilan-Koko-Terancam-Batal,
Diakses tanggal 2 Februari 2013
[112] http://www.harianjogja.com/baca/2012/01/09/gugatan-praperadilan-kapolres-akhirnya-gugur-155128,
Diakses tanggal 2 Februari 2013
[113]http://papuapos.com/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=1377&itemid=9,
Diakses tanggal 2 Februari 2013
[114] http://www.radar-bogor.co.id/index.php?rbi=berita.detail&id=71566,
Diakses tanggal 2 Februari 2013
[115] http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/05/ked02.htm,
Diakses tanggal 2 Februari 2013
[116] http://www.suaramerdeka.com/harian/0703/30/mur01.htm,
Diakses tanggal 2 Februari 2013
[117] http://www.gaungntb.com/2012/09/permohonan-praperadilan-istri-tersangka-perampokan-digugurkan-hakim/,
Diakses tanggal 2 Februari 2013
[118]http://media.hariantabengan.com/index/detailhukumkriminalberitatext/id/25554,
Diakses tanggal 2 Februari 2013
[119] Romli Atmasasmita, dalam http://arisirawan.WordPress.com/2010/05/23
Langganan:
Postingan (Atom)