Kedudukan
Barang Bukti dalam Sistem Pembuktian
Dalam
sub bab ini penulis akan membahas mengenai kedudukan barang bukti dalam sistem
pembuktian menurut KUHAP. Terkait erat
dengan masalah ini adalah mengenai kedudukan dari barang bukti dalam suatu
putusan pengadilan pidana.
Sebagaimana
yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, KUHAP tidak memberikan definisi
tentang apakah yang dimaksudkan dengan istilah “barang bukti”, tetapi dalam
Pasal 1 KUHAP tidak diberikan definisi tentang istilah tersebut.
Tulisan-tulisan
mengenai hukum pidana, istilah “barang bukti” ini sering juga disebut dalam
bahasa asing, yaitu Bahasa Latin: corpus delicti. Dalam suatu kamus elektronik, corpus delicti
dijelaskan sebagai “facts of crime: the
body of facts that show that a crime has been committed, including physical
evidence such as a corpse”[1] (fakta-fakta
kejahatan: keseluruhan fakta yang menunjukkan bahwa suatu kejahatan telah
dilakukan, yang mencakup bukti fisik seperti sesosok mayat).
Dalam
kamus yang lain, terlebih dahulu diberikan definisi tentang istilah corpus,
yaitu “1. A human or animal
body. 2. A collection of writings, generally on one subject or by one author.
3. The main part or mass of anything”[2] (1.
Tubuh manusia atau hewan. 2. Suatu himpunan tuoisan, umumnya atas satu pokok
atau oleh seorang penulis). Kemudian
terhadap istilah corpus delicti diberikan penjelasan “the essential fact of the commission of a
crime, as, in a case murder, the finding of the body of the victim”[3] (fakta
penting tentang dilakukannya suatu kejahatan, misalnya dalam kasus pembunuhan
ditemukannya tubuh korban).
Kutipan
di atas menunjukkan bahwa corpus
delicti merupakan
fakta (fact) tentang
dilakukannya kejahatan, di mana fakta ini berupa bukti fisik (physical evidence). Dalam Bahasa Indonesia, digunakannya istilah
barang bukti sudah langsung menunjukkan bahwa hal itu berupa suatu barang atau
benda.
Beberapa
contoh barang bukti dalam perkara pidana, yaitu:
1. Barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, misalnya senjata
api atau senjata tajam yang digunakan untuk membunuh atau melukai korban.
2. Barang yang merupakan hasil suatu tindak pidana, misalnya surat palsu.
3. Benda yang menjadi obyek dalam tindak pidana, misalnya narkotika dan
psikotropika yang menjadi obyek dalam jual beli narkotika/prikotropika;
Dengan
demikian, barang bukti merupakan bukti yang terkait amat erat berkenaan dengan
bersalahnya seorang terdakwa. Senjata
api atau senjata tajam yang digunakan untuk membunuh atau melukai korban,
merupakan bukti kesalahan terdakwa telah membunuh atau
melukai korban dengan senjata api atau senjata tajam tersebut. Narkotika/prikotropika yang menjadi obyek
dalam suatu jual beli narkotika/psikotropika, merupakan bukti tentang
bersalahnya terdakwa melakukan tindak pidana narkotika.
Pasal-pasal
KUHAP yang di dalamnya terdapat istilah “barang bukti”, yaitu:
1.
Pasal 5 ayat (1) huruf a butir 2: Salah satu
wewenang Penyelidik adalah mencari barang bukti;
2.
Pasal 8 ayat (3) huruf b: Dalam hal penyidikan
sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan
barang bukti kepada penuntut umum;
3.
Pasal 18 ayat (2): Dalam hal tertangkap tangan
penangkapan dilakukan tanpa surat
perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap
beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik peinbantu yang
terdekat;
4.
Pasal 21 ayat (1): Salah satu alasan perlunya
penahanan adalah dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan merusak
atau menghilangkan barang bukti;
5.
Pasal 181 ayat (1): Hakim ketua sidang
memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadaƱya
apakah Ia mengenal benda itu; yang dilanjutkan dengan Pasal 181 ayat (1): Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh
hakim ketua sidang kepada saksi;
6.
Pasal 194 ayat (1): Dalam hal putusan
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan
menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling
berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali
jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk
kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat
dipergunakan lagi;
7.
Pasal 203 ayat (2): Dalam Acara Pemeriksaan
Singkat, penuntut umum menghadapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa
dan barang bukti yang diperlukan;
Tetapi,
walaupun istilah barang bukti disebutkan dalam sejumlah pasal KUHAP, dan dalam
putusan pengadilan harus selalu ditetapkan dengan tegas tentang apa yang akan
dilakukan terhadap barang bukti, namun dalam pasal-pasal KUHAP tidak ada yang
menegaskan tentang kedudukan dari suatu barang bukti.
Berbeda
halnya dengan alat bukti, yang secara tegas disebutkan dalam pasal tentang
sistem pembuktian, yaitu Pasal 183 KUHAP, di mana ditentukan bahwa Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
Alat-alat
bukti yang sah, oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP, hanya dibatasi pada:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Dari
sudut tidak adanya ketentuan dalam
pasal-pasal KUHAP tentang kedudukan suatu barang bukti, dapat muncul
kesan bahwa pembentuk KUHAP memandang barang bukti sebagai suatu tambahan
semata-mata terhadap alat-alat bukti yang sah.
Dengan kata lain, barang bukti itu
sendiri bukan merupakan suatu alat bukti, melainkan merupakan bukti tambahan
belaka terhadap alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, yaitu sebagai bukti
tambahan terhadap alat bukti keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Sebenarnya,
jika kita mempelajari keseluruhan pasal-pasal KUHAP, barang bukti memiliki
kedudukan penting dalam suatu putusan pengadilan. Mengenai putusan pemidanaan, dalam Pasal 197
ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa surat
putusan pemidanaan memuat:
a. kepala putusan yang
dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA";
b. nama lengkap, tempat lahir,
umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana
terdapat dalam surat
dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun
secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang
diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan
terdakwa,
e. tuntutan pidana, sebagaimana
terdapat dalam surat
tuntutan;
f. pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai
keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya
musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan
terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana
disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa
biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan
mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau
keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa
ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut
umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;
Selanjutnya
dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan
dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan
putusan batal demi hukum.
Dalam
Pasal 197 ayat (1) KUHAP tercantum pada huruf d bahwa sebagai salah satu hal
yang harus dimuat dalam putusan pemidanaan adalah pertimbangan yang disusun
secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang
diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan
terdakwa.
Menurut
ketentuan dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP, pokok ini merupakan salah satu pokok
yang akan mengakibatkan putusan batal demi hukum jika tidak dimuat dalam
putusan pemidanaan yang bersangkutan.
Istilah
yang digunakan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP tersebut adalah istilah
“alat pembuktian”. Dalam pasal ini tidak
hanya disebut tentang “alat bukti” saja, melainkan “alat pembuktian”.
Pasal
lainnya di mana juga ada digunakan istilah “alat pembuktian”, yaitu Pasal 82
ayat (3) huruf d KUHAP yang mengatur mengenai Praperadilan. Pada Pasal 82 ayat
(3) huruf b KUHAP tersebut ditentukan bahwa, dalam hal putusan menetapkan bahwa
benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan
dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka
atau dan siapa benda itu disita.
Dari
rumusan Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP ini jelas bahwa selain benda yang
disita tetapi yang tidak termasuk alat pembuktian, ada juga benda yang disita
yang termasuk alat pembuktian.
Jadi,
dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan istilah alat pembuktian
mencakup juga benda yang disita.
Sekalipun dalam pasal ini yang digunakan adalah istilah “benda yang
disita”, bukan istilah “barang bukti”, tetapi jelas bahwa yang dimaksudkan dengan
“benda yang disita” itu adalah apa yang dalam hukum acara pidana dinamakan
“barang bukti”.
Konsekuensinya,
pengertian “alat pembuktian” dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, juga mencakup
semua yang dapat dijadikan bukti, yaitu meliputi baik alat bukti maupun barang
bukti.
Dengan
demikian, digunakannya istilah alat pembuktian dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP,
yang mencakup alat bukti dan barang bukti, menunjukkan barang bukti memiliki
kedudukan penting dalam sistem pembuktian.
Walaupun demikian, tidak disebutkannya istilah barang bukti dalam Pasal
183 KUHAP tentang sistem pembuktian dan tidak adanya ketentuan dalam KUHAP
untuk perlakuan khusus terhadap barang bukti, menimbulkan kesan bahwa barang
bukti hanya sekedar bukti tambahan terhadap alat bukti.
Berbeda
halnya dengan prosedur pemeriksaan di depan pengadilan di negara-negara dengan
sistem Common Law, yang
dikenal juga dengan istilah sistem Anglo-Saxon, seperti Amerika Serikat.
Konsep
mereka tentang corpus
delicti sebagai fakta, yaitu fakta telah dilakukannya suatu kejahatan, membawa
konsekuensi bahwa fakta itu harus diperiksa terlebih dahulu sebelum pemeriksaan
berkenaan dengan soal siapa pelaku kejahatan.
Dalam
kasus pembunuhan (murder), maka
di depan pengadilan harus dipastikan terlebih tentang adanya mayat dan apa
(benda) yang digunakan melakukan pembunuhan.
Mayat atau sisa mayat tidak perlu dibawa ke depan pengadilan tetapi ada
suatu keterangan seperti visum et
repertum. Untuk alat yang digunakan
untuk membunuh, misalnya pistol dan peluru, maka pistol dan peluru harus di
bawa ke depan pengadilan sebagai corpus delicti dan didengar keterangan ahli
balistik.
Jika
pembunuhan dilakukan dengan menggunakan suatu parang, maka petugas polisi yang
pertama kali menemukan parang itu perlu didengar terlebih dahulu, bagaimana
caranya ia menemukan alat (parang) itu dan bagaimana kondisi alat (parang) itu
waktu ditemukan.
Pemeriksaan
terhadap corpus delicti dilakukan
terlebih dahulu sebelum mendengar keterangan saksi (witness).
Hal ini karena fakta tentang benar-benar telah terjadi suatu kejahatan
harus dipastikan terlebih dahulu baru dapat melangkah pada pembuktian mengenai
siapa pelakunya.
Mengenai
barang bukti dalam hubungannya dengan apa yang perlu dimuat dalam suatu putusan
pengadilan, pada Pasal 194 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa,
Dalam
hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak
yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan
tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus
dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak
dapat dipergunakan lagi.
Dalam
Pasal 194 ayat (1) KUHAP ini dengan jelas dan tegas ditentukan bahwa jika dalam
suatu perkara pidana terdapat barang bukti, maka dalam putusan, baik putusan
pemidanaan, bebas maupun lepas dari segala tuntutan hukum,
harus ditetapkan tentang apa yang harus dilakukan terhadap barang bukti
tersebut.
Kemungkinan-kemungkinan
yang disebut dalam pasal ini adalah sebagai berikut:
1. Diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang
namanya tercantum dalam putusan tersebu; kecuali,
2. Jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas
untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat
dipergunakan lagi.
Tetapi,
walaupun istilah barang bukti disebutkan dalam sejumlah pasal, dan juga dalam
putusan pengadilan harus selaslu ditetapkan dengan tegas tentang apa yang akan
dilakukan terhadap barang bukti, namun dalam pasal-pasal KUHAP tidak ada yang
menegaskan tentang kedudukan dari suatu barang bukti.
Dari aspek tidak adanya
ketentuan dalam pasal-pasal KUHAP
tentang kedudukan suatu barang bukti, dapat berarti bahwa pembentuk KUHAP
memandang barang bukti sebagai suatu tambahan semata-mata terhadap alat-alat
bukti yang sah. Dengan kata lain, barang
bukti (corpus delicti) itu sendiri bukan merupakan suatu alat bukti, melainkan
merupakan bukti tambahan terhadap alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, yaitu
sebagai bukti tambahan terhadap alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar