Minggu, 17 Januari 2016

Kedudukan Barang Bukti dalam Sistem Pembuktian



Kedudukan Barang Bukti dalam Sistem Pembuktian

Dalam sub bab ini penulis akan membahas mengenai kedudukan barang bukti dalam sistem pembuktian menurut KUHAP.  Terkait erat dengan masalah ini adalah mengenai kedudukan dari barang bukti dalam suatu putusan  pengadilan pidana.
Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, KUHAP tidak memberikan definisi tentang apakah yang dimaksudkan dengan istilah “barang bukti”, tetapi dalam Pasal 1 KUHAP tidak diberikan definisi tentang istilah tersebut.
Tulisan-tulisan mengenai hukum pidana, istilah “barang bukti” ini sering juga disebut dalam bahasa asing, yaitu Bahasa Latin: corpus delicti.  Dalam suatu kamus elektronik, corpus delicti dijelaskan sebagai “facts of crime: the body of facts that show that a crime has been committed, including physical evidence such as a corpse”[1] (fakta-fakta kejahatan: keseluruhan fakta yang menunjukkan bahwa suatu kejahatan telah dilakukan, yang mencakup bukti fisik seperti sesosok mayat).
Dalam kamus yang lain, terlebih dahulu diberikan definisi tentang istilah corpus, yaitu1. A human or animal body. 2. A collection of writings, generally on one subject or by one author. 3. The main part or mass of anything[2] (1. Tubuh manusia atau hewan. 2. Suatu himpunan tuoisan, umumnya atas satu pokok atau oleh seorang penulis).  Kemudian terhadap istilah corpus delicti diberikan penjelasan the essential fact of the commission of a crime, as, in a case murder, the finding of the body of the victim[3] (fakta penting tentang dilakukannya suatu kejahatan, misalnya dalam kasus pembunuhan ditemukannya tubuh korban).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa corpus delicti merupakan fakta (fact) tentang dilakukannya kejahatan, di mana fakta ini berupa bukti fisik (physical evidence).  Dalam Bahasa Indonesia, digunakannya istilah barang bukti sudah langsung menunjukkan bahwa hal itu berupa suatu barang atau benda.
Beberapa contoh barang bukti dalam perkara pidana, yaitu:
1.      Barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, misalnya senjata api atau senjata tajam yang digunakan untuk membunuh atau melukai korban.
2.      Barang yang merupakan hasil suatu tindak pidana, misalnya surat palsu.
3.      Benda yang menjadi obyek dalam tindak pidana, misalnya narkotika dan psikotropika yang menjadi obyek dalam jual beli narkotika/prikotropika;
Dengan demikian, barang bukti merupakan bukti yang terkait amat erat berkenaan dengan bersalahnya seorang terdakwa.  Senjata api atau senjata tajam yang digunakan untuk membunuh atau melukai korban, merupakan bukti kesalahan terdakwa telah membunuh atau melukai korban dengan senjata api atau senjata tajam tersebut.  Narkotika/prikotropika yang menjadi obyek dalam suatu jual beli narkotika/psikotropika, merupakan bukti tentang bersalahnya terdakwa melakukan tindak pidana narkotika. 
Pasal-pasal KUHAP yang di dalamnya terdapat istilah “barang bukti”, yaitu:
1.      Pasal 5 ayat (1) huruf a butir 2: Salah satu wewenang Penyelidik adalah mencari barang bukti;
2.      Pasal 8 ayat (3) huruf b: Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum;
3.      Pasal 18 ayat (2): Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik peinbantu yang terdekat;
4.      Pasal 21 ayat (1): Salah satu alasan perlunya penahanan adalah dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran  bahwa tersangka atau terdakwa akan merusak atau menghilangkan barang bukti;
5.      Pasal 181 ayat (1): Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadaƱya apakah Ia mengenal benda itu; yang dilanjutkan dengan Pasal 181 ayat (1):  Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi;
6.      Pasal 194 ayat (1): Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi;
7.      Pasal 203 ayat (2): Dalam Acara Pemeriksaan Singkat, penuntut umum menghadapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa dan barang bukti yang diperlukan;
Tetapi, walaupun istilah barang bukti disebutkan dalam sejumlah pasal KUHAP, dan dalam putusan pengadilan harus selalu ditetapkan dengan tegas tentang apa yang akan dilakukan terhadap barang bukti, namun dalam pasal-pasal KUHAP tidak ada yang menegaskan tentang kedudukan dari suatu barang bukti.
Berbeda halnya dengan alat bukti, yang secara tegas disebutkan dalam pasal tentang sistem pembuktian, yaitu Pasal 183 KUHAP, di mana ditentukan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Alat-alat bukti yang sah, oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP, hanya dibatasi pada:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa. 
Dari sudut tidak adanya ketentuan dalam  pasal-pasal KUHAP tentang kedudukan suatu barang bukti, dapat muncul kesan bahwa pembentuk KUHAP memandang barang bukti sebagai suatu tambahan semata-mata terhadap alat-alat bukti yang sah.  Dengan kata lain, barang bukti  itu sendiri bukan merupakan suatu alat bukti, melainkan merupakan bukti tambahan belaka terhadap alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, yaitu sebagai bukti tambahan terhadap alat bukti keterangan saksi,  keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. 
Sebenarnya, jika kita mempelajari keseluruhan pasal-pasal KUHAP, barang bukti memiliki kedudukan penting dalam suatu putusan pengadilan.  Mengenai putusan pemidanaan, dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa surat putusan pemidanaan memuat:
a.   kepala putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b.   nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c.   dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d.   pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa,
e.   tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f.    pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g.   hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h.   pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i.    ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j.    keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k.   perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l.    hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;
Selanjutnya dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP tercantum pada huruf d bahwa sebagai salah satu hal yang harus dimuat dalam putusan pemidanaan adalah pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. 
Menurut ketentuan dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP, pokok ini merupakan salah satu pokok yang akan mengakibatkan putusan batal demi hukum jika tidak dimuat dalam putusan pemidanaan yang bersangkutan.
Istilah yang digunakan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP tersebut adalah istilah “alat pembuktian”.  Dalam pasal ini tidak hanya disebut tentang “alat bukti” saja, melainkan “alat pembuktian”. 
Pasal lainnya di mana juga ada digunakan istilah “alat pembuktian”, yaitu Pasal 82 ayat (3) huruf d KUHAP yang mengatur mengenai Praperadilan. Pada Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP tersebut ditentukan bahwa, dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.
Dari rumusan Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP ini jelas bahwa selain benda yang disita tetapi yang tidak termasuk alat pembuktian, ada juga benda yang disita yang termasuk alat pembuktian. 
Jadi, dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan istilah alat pembuktian mencakup juga benda yang disita.  Sekalipun dalam pasal ini yang digunakan adalah istilah “benda yang disita”, bukan istilah “barang bukti”, tetapi jelas bahwa yang dimaksudkan dengan “benda yang disita” itu adalah apa yang dalam hukum acara pidana dinamakan “barang bukti”.
Konsekuensinya, pengertian “alat pembuktian” dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, juga mencakup semua yang dapat dijadikan bukti, yaitu meliputi baik alat bukti maupun barang bukti.
Dengan demikian, digunakannya istilah alat pembuktian dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, yang mencakup alat bukti dan barang bukti, menunjukkan barang bukti memiliki kedudukan penting dalam sistem pembuktian.  Walaupun demikian, tidak disebutkannya istilah barang bukti dalam Pasal 183 KUHAP tentang sistem pembuktian dan tidak adanya ketentuan dalam KUHAP untuk perlakuan khusus terhadap barang bukti, menimbulkan kesan bahwa barang bukti hanya sekedar bukti tambahan terhadap alat bukti.
Berbeda halnya dengan prosedur pemeriksaan di depan pengadilan di negara-negara dengan sistem Common Law, yang dikenal juga dengan istilah sistem Anglo-Saxon, seperti Amerika Serikat.
Konsep mereka tentang corpus delicti sebagai fakta, yaitu fakta telah dilakukannya suatu kejahatan, membawa konsekuensi bahwa fakta itu harus diperiksa terlebih dahulu sebelum pemeriksaan berkenaan dengan soal siapa pelaku kejahatan.
Dalam kasus pembunuhan (murder), maka di depan pengadilan harus dipastikan terlebih tentang adanya mayat dan apa (benda) yang digunakan melakukan pembunuhan.  Mayat atau sisa mayat tidak perlu dibawa ke depan pengadilan tetapi ada suatu keterangan seperti visum et repertum.  Untuk alat yang digunakan untuk membunuh, misalnya pistol dan peluru, maka pistol dan peluru harus di bawa ke depan pengadilan sebagai corpus delicti dan didengar keterangan ahli balistik.
Jika pembunuhan dilakukan dengan menggunakan suatu parang, maka petugas polisi yang pertama kali menemukan parang itu perlu didengar terlebih dahulu, bagaimana caranya ia menemukan alat (parang) itu dan bagaimana kondisi alat (parang) itu waktu ditemukan.
Pemeriksaan terhadap corpus delicti dilakukan terlebih dahulu sebelum mendengar keterangan saksi (witness).  Hal ini karena fakta tentang benar-benar telah terjadi suatu kejahatan harus dipastikan terlebih dahulu baru dapat melangkah pada pembuktian mengenai siapa pelakunya.
Mengenai barang bukti dalam hubungannya dengan apa yang perlu dimuat dalam suatu putusan pengadilan, pada Pasal 194 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa,
Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.

Dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP ini dengan jelas dan tegas ditentukan bahwa jika dalam suatu perkara pidana terdapat barang bukti, maka dalam putusan, baik putusan pemidanaan, bebas maupun lepas dari segala tuntutan hukum, harus ditetapkan tentang apa yang harus dilakukan terhadap barang bukti tersebut. 
Kemungkinan-kemungkinan yang disebut dalam pasal ini adalah sebagai berikut:
1.    Diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebu; kecuali,
2.    Jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
Tetapi, walaupun istilah barang bukti disebutkan dalam sejumlah pasal, dan juga dalam putusan pengadilan harus selaslu ditetapkan dengan tegas tentang apa yang akan dilakukan terhadap barang bukti, namun dalam pasal-pasal KUHAP tidak ada yang menegaskan tentang kedudukan dari suatu barang bukti.
Dari aspek tidak adanya ketentuan dalam  pasal-pasal KUHAP tentang kedudukan suatu barang bukti, dapat berarti bahwa pembentuk KUHAP memandang barang bukti sebagai suatu tambahan semata-mata terhadap alat-alat bukti yang sah.  Dengan kata lain, barang bukti (corpus delicti) itu sendiri bukan merupakan suatu alat bukti, melainkan merupakan bukti tambahan terhadap alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, yaitu sebagai bukti tambahan terhadap alat bukti keterangan saksi,  keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa


[1]Corpus delicti”, Microsoft® Encarta® Reference Library 2003. © 1993-2002 Microsoft Corporation.
[2] Funk & Wagnalls Standard Desk Dictionary, Volume 1, Harper & Row Publishers Inc, 1984, hal.143.
[3] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar