A.
Masalah Itikad Baik Dalam Pelaksanaan Tukar tambah Benda bergerak Jenis Kendaraan.
Itikad baik dan kepatuhan
adalah suatu hal yang amat penting dalam soal pelaksanaan perjanjian. Suatu
perjanjian tertentu berupa rangkaian kata-kata sebagai gambaran dari suatu
perhubungan antara kedua belah pihak. Seperti halnya dengan semua buah
perbuatan seorang manusia, maka gambaran ini tidak ada yang sempurna. Kalau
orang mulai melaksanakan perjanjian itu, timbullah bermacam-macam persoalan
yang pada waktu perjanjian terbentuk, sama sekali tidak atau hanya sedikit
nampak pada alam pikiran dan alam perasaan kedua belah pihak. Disinilah letak
itikad baik dan kepatuhan yang harus dikejar dalam melaksanakan perjanjian.
Pasal 1338 ayat (3) BW
secara umum menentukan bahwa segala perjanjian harus dilakukan secara jujur,
sedang menurut pasal 1339 BW bahwa kedua belah pihak tidak hanya terikat oleh
apa yang secara tegas (uitdrukkelijk)
disebutkan dalam suatu perjanjian melainkan juga oleh yang diharuskan menurut
sifat perjanjian kepatuhan ada kebiasaan dan undang-undang. Lebih jelas lagi
dikatakan dalam pasal 1347 BW bahwa apabila pada sebuah perjanjian ada
tersangkut janji-janji yang memang lazim dipakai dalam masyarakat (bestendig gebruikelijk, yaitu menurut
adapt kebiasaan), maka janji-janji ini dianggap termuat dalam isi persetujuan,
meskipun kedua belah pihak dalam membentuk perjanjian sama sekali tidak
menyebutkannya.
Menurut kata-kata yang
dipakai dalam pasal 1339 BW sekedar mengenai adat kebiasaan, dan yang dipakai
dalam pasal 1347 BW, nampaknya sedikit suatu pertentangan antara dua pasal
tersebut. Menurut pasal 1339 BW disamping apa yang termuat dalam perjanjian,
harus diperhatikan pula adat kebiasaan dan undang-undang perihal soal yang
termaktub dalam perjanjian itu. Sedang pasal 1347 BW mengatakan bahwa
janji-janji yang menurut adat kebiasaan melekat pada perjanjian semacam yang
bersangkutan, dianggap termuat dalam isi perjanjian perbedaan yang menuntut
kata-kata yang terpakat, kentara antara dua pasal tersebut, ialah bahwa menurut
pasal 1339 adat kebiasaan, yang tidak termuat dalam isi perjanjian tidak dapat
menyampingkan peraturan undang-undang, yang bersifat menambah isi perjanjian (aanvullend reht), sedang menurut pasal
1347 peraturan undang-undang yang bersifat tambahan ini malahan dianggap
disampingkan oleh adat kebiasaan.
Itikad baik dalam
pelaksanaan perjanjian harus diperbedakan daripada itikad baik pada waktu mulai
berlakunya perhubungan hukum, seperti hal itikad baik memang barang benda
sebagai salah suatu syarat guna memperoleh milik barang yang dipegang itu,
secara lampau waktu (benzit tegoeder
trouw dalam pasal 1963 sebagai syarat memperoleh milik barang secara “verjaring”). Itikad baik yang belakangan
ini berupa pengiraan dalam hati sanubari pihak yang memegang barang pada waktu
ia mulai memegang barang itu, bahwa syarat yang diperlukan untuk mendapat hak milik
(eigendom) atas barang itu telah
dipenuhi, sedang kemudian ternyata, bahwa syarat-syarat itu tidak semua
dipenuhi. Maka itikad baik semacam ini diperlindungi oleh hukum.
Bagaimanakah halnya
dengan unsur itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian ? Disinipun itikad baik
terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi titik berat dari itikad baik
ini terletak pada tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam hal
melaksanakan janji. Dalam melaksanakan tindakan inilah itikad baik harus
berjalan dalam hati sanubari seorang manusia berupa selalu mengingat, bahwa
manusia itu sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat menipukan pihak
lain dengan mempergunakan secara membabi buta kata-kata yang dipakai pada waktu
kedua belah pihak membentuk suatu perjanjian. Kedua belah pihak harus selalu
memperhatikan hal ini dan tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain untuk
menguntungkan diri pribadi. Itikad baik dalam hal belakangan bersifat
“dinamis”, sedang itikad baik sebagai syarat untuk mendapat hak milik adalah bersifat
“statis”.
Hal kepatuhan dalam
pelaksanaan perjanjian berbeda daripada itikad baik sekedar itikad baik ini
mempunyai unsure subjectief, terletak terutama pada hati sanubari orang-orang
yang berkepentingan sedang kepatuhan mempunyai untuk object, terletak terutama
pada keadaan sekitar perjanjian.
Syarat kepatuhan (bilijkheid, redelijkheid) ini sebetulnya
berakar pada suatu sifat peraturan hukum pada umumnya, yaitu usaha untuk
mengadakan keseimbangan dari pelbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat.
Dalam suatu tata hukum pada hakekatnya tidak diperbolehkan suatu kepentingan
seorang dipenuhi seluruhnya dengan akibat, bahwa kepentingan orang lain sama
sekali didesak atau diabaikan. Masyarakat harus merupakan suatu neraca yang berdiri tegak
dalam keadaan seimbang (evenwicht).
Kalau neraca itu mendorong ke suatu pihak, maka tidak boleh tidak ada suatu
keganjilan dalam masyarakat, yang pada suatu waktu tentu kelihatan akibatnya
yang jelek bagi keselamatan dan bahagia masyarakat sendiri.
Bagaimana telitipun orang
membuat suatu peraturan hukum pada umumnya atau suatu peraturan perjanjian pada
khususnya, selalu dalam pelaksanaan nampak sedikit banyak keganjilan. Maka
dalam melaksanakan perjanjian, kedua belah pihak harus memperhatikan tujuan
dari peraturan hukum, supaya ada keseimbangan antara pelbagai kepentingan yang
bersangkutan.
Di atas sudah dikemukakan
bahwa kedua belah pihak harus beritikad baik dalam melaksanakan suatu
perjanjian. Ada
kalanya itikad baik sudah sepenuhnya dilakukan dan diperhatikan, tetapi
pelaksanaan perjanjian masih berada dalam jalan buntu (deadlock). Disinilah perhatian dituntut ke arah kepatuhan agar
suatu peristiwa dapat diselesaikan secara memuaskan.
Tentunya seperti halnya
dengan segala barang sesuatu yang mengandung penghargaan (waardering), kepatuhan ini tidak mungkin mengakibatkan suatu
penyelesaian peristiwa yang memuaskan setiap orang manusia, melainkan selalu
bersifat tak mutlak (relatief), yaitu patut dalam pikiran dan perasaan
orang-orang yang bertugas menyelesaikan suatu peristiwa, seperti Hakim atau
Badan Pemerintah sesudah memperhatikan segala faktor-faktor, yang dapat
terpakai dalam alam pikiran dan alam perasaan orang-orang itu.
B.
Akibat Dari Perjanjian Yang Dilaksanakan Tidak Dengan
Itikad Baik
Semua perjanjian yang dibuat
secara sah adalah mengikat, jadi mengikat pihak-pihak dalam perjanjian. Orang
bebas membuat perjanjian karena adanya kebebasan berkontrak, orang boleh
membuat perjanjian yang menyimpang daripada yang ditentukan oleh undang-undang,
karena ketentuan undang-undang mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian
adalah hukum pelengkap.
Namun ada perkecualian,
karena tidak diperkirakan juga oleh pembentuk undang-undang bahwa kehendak dari
pihak-pihak kadang-kadang harus menyisih demi kepentingan masyarakat, karena
beranggapan dalam undang-undanglah selalu terdapat pembatasan kebebasan kepada
para pihak. Kadang-kadang undang-undang mengatur dengan kata-kata yang banyak
bahwa ketentuan itu adalah hukum pemaksa, apabila peraturan itu mengenai
ketertiban umum dan kesusilaan.
Pada puluhan tahun
terakhir terjadilah pemasyarakatan dalam hukum, disini kebebasan mengadakan
perjanjian telah mengalami pengikisan besar. Hukum Publuk mendesak hukum
perdata, kebebasan masyarakat dalam hal hak-hak perdatanya telah dibatasi dari
tahun ke tahun.
Dalam pasal 1338 ayat (3)
BW disebutkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal
1339 BW menyebutkan bahwa perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang. Dengan dimasukkannya itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian
berarti tidak lain kita harus menafsirkan perjanjian itu berdasar keadilan dan
kepatutan.
Perjanjian Tukar
tambah benda bergerak jenis kendaraan harus dilaksanakan
dengan itikad baik. Itikad baik adalah sangat erat hubungannya dengan
pelaksanaan perjanjian tukar tambah benda bergerak jenis kendaraan . Pada waktu memulai melaksanakan
perjanjian timbullan bermacam-macam persoalan yang harus dilakukan, karena hal
inilah itikad baik sangat penting dalam melaksanakan perjanjian. Pelaksanaan
perjanjian bergantung juga terhadap kejujuran seseorang untuk mematuhi
perjanjian tersebut. Kalau perjanjian dilakukan dengan itikad tidak baik
(itikad buruk) maka perjanjian tersebut telah melanggar norma-norma itikad baik
yang menentukan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Dalam pelaksanaan
perjanjian dengan itikad baik harus berjalan dalam hati sanubari seseorang
manusia harus mengingat, bahwa manusia itu sebagai anggota masyarakat harus
jauh dari sifat menipu terhadap pihak lain. Itikad baik sanagt penting dalam
pelaksanaan perjanjian karena dengan itikad baik maka seseorang akan percaya
terhadap pihak lain.
Para pihak dalam perjanjian harus
menghindari pelaksanaan perjanjian dengan itikad buruk. Jika hal tersebut
terjadi maka yang dirugikan dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan. Sebagai
negara hukum, setiap warga negara memperoleh kedudukan yang sama dalam hukum
sehingga setiap warga negara dilindungi oleh hukum.
Dengan demikian terjadi
hubungan yang erat antara ajaran itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian dan
teori kepercayaan pada saat perjanjian. Itikad baik (pasal 1338 ayat 3) dan
kepatutan (pasal 1339) umumnya disebutkan secara senafas, apabila hakim setelah
menguji dengan kepantasan dari suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan maka
berarti perjanjian itu bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
Suatu sebab adalah
terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum. Hal inil menunjukkan bahwa seseorang yang
telah melakukan suatu perjanjian dengan itikad tidak baik berarti pula dapat
dikatakan telah melanggar kepatutan atau kesusilaan. Penulis berpendapat bahwa
perjanjian yang dibuat atau dilakukan dengan tidak disertai itikad baik apabila
dihubungkan dengan syarat sahnya suatu perjanjian khususnya pada pasal 1320 BW
yaitu pada syarat obyektif (suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal),
berarti perjanjian tersebut akan berakibat batal demi hukum.
Pasal 1338 ayat (3) dan
pasal 1339 sebagai alat pengontrol apakah itikad baik dan kepatutan dipenuhi
atau tidak dalam suatu perjanjian. Disamping itu itikad baik dan kepatutan
dapat pula merubah atau melengkapi perjanjian.
Perjanjian tidak hanya
ditentukan oleh para pihak dalam perumusan perjanjian tetapi juga ditentukan
oleh itikad baik dan kepatutan, jadi itikad baik dan kepatutan ikut pula
menentukan isi dari perjanjian itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
suatu perjanjian khususnya perjanjian pinjam meminjam uang apabila dilaksanakan
tidak dengan itikad baik (itikad buruk) maka perjanjian tersebut bertentangan
dengan ketertiban umum dan kesusilaan serta norma-norma hukum yang berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar