Selasa, 05 Januari 2016

Masalah Itikad Baik Dalam Pelaksanaan Tukar tambah Benda bergerak Jenis Kendaraan.

A.      Masalah Itikad Baik Dalam Pelaksanaan Tukar tambah Benda bergerak Jenis Kendaraan.

Itikad baik dan kepatuhan adalah suatu hal yang amat penting dalam soal pelaksanaan perjanjian. Suatu perjanjian tertentu berupa rangkaian kata-kata sebagai gambaran dari suatu perhubungan antara kedua belah pihak. Seperti halnya dengan semua buah perbuatan seorang manusia, maka gambaran ini tidak ada yang sempurna. Kalau orang mulai melaksanakan perjanjian itu, timbullah bermacam-macam persoalan yang pada waktu perjanjian terbentuk, sama sekali tidak atau hanya sedikit nampak pada alam pikiran dan alam perasaan kedua belah pihak. Disinilah letak itikad baik dan kepatuhan yang harus dikejar dalam melaksanakan perjanjian.
Pasal 1338 ayat (3) BW secara umum menentukan bahwa segala perjanjian harus dilakukan secara jujur, sedang menurut pasal 1339 BW bahwa kedua belah pihak tidak hanya terikat oleh apa yang secara tegas (uitdrukkelijk) disebutkan dalam suatu perjanjian melainkan juga oleh yang diharuskan menurut sifat perjanjian kepatuhan ada kebiasaan dan undang-undang. Lebih jelas lagi dikatakan dalam pasal 1347 BW bahwa apabila pada sebuah perjanjian ada tersangkut janji-janji yang memang lazim dipakai dalam masyarakat (bestendig gebruikelijk, yaitu menurut adapt kebiasaan), maka janji-janji ini dianggap termuat dalam isi persetujuan, meskipun kedua belah pihak dalam membentuk perjanjian sama sekali tidak menyebutkannya.
Menurut kata-kata yang dipakai dalam pasal 1339 BW sekedar mengenai adat kebiasaan, dan yang dipakai dalam pasal 1347 BW, nampaknya sedikit suatu pertentangan antara dua pasal tersebut. Menurut pasal 1339 BW disamping apa yang termuat dalam perjanjian, harus diperhatikan pula adat kebiasaan dan undang-undang perihal soal yang termaktub dalam perjanjian itu. Sedang pasal 1347 BW mengatakan bahwa janji-janji yang menurut adat kebiasaan melekat pada perjanjian semacam yang bersangkutan, dianggap termuat dalam isi perjanjian perbedaan yang menuntut kata-kata yang terpakat, kentara antara dua pasal tersebut, ialah bahwa menurut pasal 1339 adat kebiasaan, yang tidak termuat dalam isi perjanjian tidak dapat menyampingkan peraturan undang-undang, yang bersifat menambah isi perjanjian (aanvullend reht), sedang menurut pasal 1347 peraturan undang-undang yang bersifat tambahan ini malahan dianggap disampingkan oleh adat kebiasaan.
Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian harus diperbedakan daripada itikad baik pada waktu mulai berlakunya perhubungan hukum, seperti hal itikad baik memang barang benda sebagai salah suatu syarat guna memperoleh milik barang yang dipegang itu, secara lampau waktu (benzit tegoeder trouw dalam pasal 1963 sebagai syarat memperoleh milik barang secara “verjaring”). Itikad baik yang belakangan ini berupa pengiraan dalam hati sanubari pihak yang memegang barang pada waktu ia mulai memegang barang itu, bahwa syarat yang diperlukan untuk mendapat hak milik (eigendom) atas barang itu telah dipenuhi, sedang kemudian ternyata, bahwa syarat-syarat itu tidak semua dipenuhi. Maka itikad baik semacam ini diperlindungi oleh hukum.
Bagaimanakah halnya dengan unsur itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian ? Disinipun itikad baik terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi titik berat dari itikad baik ini terletak pada tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam hal melaksanakan janji. Dalam melaksanakan tindakan inilah itikad baik harus berjalan dalam hati sanubari seorang manusia berupa selalu mengingat, bahwa manusia itu sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat menipukan pihak lain dengan mempergunakan secara membabi buta kata-kata yang dipakai pada waktu kedua belah pihak membentuk suatu perjanjian. Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal ini dan tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi. Itikad baik dalam hal belakangan bersifat “dinamis”, sedang itikad baik sebagai syarat untuk mendapat hak milik adalah bersifat “statis”.
Hal kepatuhan dalam pelaksanaan perjanjian berbeda daripada itikad baik sekedar itikad baik ini mempunyai unsure subjectief, terletak terutama pada hati sanubari orang-orang yang berkepentingan sedang kepatuhan mempunyai untuk object, terletak terutama pada keadaan sekitar perjanjian.
Syarat kepatuhan (bilijkheid, redelijkheid) ini sebetulnya berakar pada suatu sifat peraturan hukum pada umumnya, yaitu usaha untuk mengadakan keseimbangan dari pelbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat. Dalam suatu tata hukum pada hakekatnya tidak diperbolehkan suatu kepentingan seorang dipenuhi seluruhnya dengan akibat, bahwa kepentingan orang lain sama sekali didesak atau diabaikan. Masyarakat harus merupakan suatu neraca yang berdiri tegak dalam keadaan seimbang (evenwicht). Kalau neraca itu mendorong ke suatu pihak, maka tidak boleh tidak ada suatu keganjilan dalam masyarakat, yang pada suatu waktu tentu kelihatan akibatnya yang jelek bagi keselamatan dan bahagia masyarakat sendiri.
Bagaimana telitipun orang membuat suatu peraturan hukum pada umumnya atau suatu peraturan perjanjian pada khususnya, selalu dalam pelaksanaan nampak sedikit banyak keganjilan. Maka dalam melaksanakan perjanjian, kedua belah pihak harus memperhatikan tujuan dari peraturan hukum, supaya ada keseimbangan antara pelbagai kepentingan yang bersangkutan.
Di atas sudah dikemukakan bahwa kedua belah pihak harus beritikad baik dalam melaksanakan suatu perjanjian. Ada kalanya itikad baik sudah sepenuhnya dilakukan dan diperhatikan, tetapi pelaksanaan perjanjian masih berada dalam jalan buntu (deadlock). Disinilah perhatian dituntut ke arah kepatuhan agar suatu peristiwa dapat diselesaikan secara memuaskan.
Tentunya seperti halnya dengan segala barang sesuatu yang mengandung penghargaan (waardering), kepatuhan ini tidak mungkin mengakibatkan suatu penyelesaian peristiwa yang memuaskan setiap orang manusia, melainkan selalu bersifat tak mutlak (relatief), yaitu patut dalam pikiran dan perasaan orang-orang yang bertugas menyelesaikan suatu peristiwa, seperti Hakim atau Badan Pemerintah sesudah memperhatikan segala faktor-faktor, yang dapat terpakai dalam alam pikiran dan alam perasaan orang-orang itu.

B.      Akibat Dari Perjanjian Yang Dilaksanakan Tidak Dengan Itikad Baik

Semua perjanjian yang dibuat secara sah adalah mengikat, jadi mengikat pihak-pihak dalam perjanjian. Orang bebas membuat perjanjian karena adanya kebebasan berkontrak, orang boleh membuat perjanjian yang menyimpang daripada yang ditentukan oleh undang-undang, karena ketentuan undang-undang mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian adalah hukum pelengkap.
Namun ada perkecualian, karena tidak diperkirakan juga oleh pembentuk undang-undang bahwa kehendak dari pihak-pihak kadang-kadang harus menyisih demi kepentingan masyarakat, karena beranggapan dalam undang-undanglah selalu terdapat pembatasan kebebasan kepada para pihak. Kadang-kadang undang-undang mengatur dengan kata-kata yang banyak bahwa ketentuan itu adalah hukum pemaksa, apabila peraturan itu mengenai ketertiban umum dan kesusilaan.
Pada puluhan tahun terakhir terjadilah pemasyarakatan dalam hukum, disini kebebasan mengadakan perjanjian telah mengalami pengikisan besar. Hukum Publuk mendesak hukum perdata, kebebasan masyarakat dalam hal hak-hak perdatanya telah dibatasi dari tahun ke tahun.
Dalam pasal 1338 ayat (3) BW disebutkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 1339 BW menyebutkan bahwa perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Dengan dimasukkannya itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berarti tidak lain kita harus menafsirkan perjanjian itu berdasar keadilan dan kepatutan.
Perjanjian Tukar tambah benda bergerak jenis kendaraan  harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik adalah sangat erat hubungannya dengan pelaksanaan perjanjian tukar tambah benda bergerak jenis kendaraan . Pada waktu memulai melaksanakan perjanjian timbullan bermacam-macam persoalan yang harus dilakukan, karena hal inilah itikad baik sangat penting dalam melaksanakan perjanjian. Pelaksanaan perjanjian bergantung juga terhadap kejujuran seseorang untuk mematuhi perjanjian tersebut. Kalau perjanjian dilakukan dengan itikad tidak baik (itikad buruk) maka perjanjian tersebut telah melanggar norma-norma itikad baik yang menentukan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik harus berjalan dalam hati sanubari seseorang manusia harus mengingat, bahwa manusia itu sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat menipu terhadap pihak lain. Itikad baik sanagt penting dalam pelaksanaan perjanjian karena dengan itikad baik maka seseorang akan percaya terhadap pihak lain.
Para pihak dalam perjanjian harus menghindari pelaksanaan perjanjian dengan itikad buruk. Jika hal tersebut terjadi maka yang dirugikan dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan. Sebagai negara hukum, setiap warga negara memperoleh kedudukan yang sama dalam hukum sehingga setiap warga negara dilindungi oleh hukum.
Dengan demikian terjadi hubungan yang erat antara ajaran itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian dan teori kepercayaan pada saat perjanjian. Itikad baik (pasal 1338 ayat 3) dan kepatutan (pasal 1339) umumnya disebutkan secara senafas, apabila hakim setelah menguji dengan kepantasan dari suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan maka berarti perjanjian itu bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Hal inil menunjukkan bahwa seseorang yang telah melakukan suatu perjanjian dengan itikad tidak baik berarti pula dapat dikatakan telah melanggar kepatutan atau kesusilaan. Penulis berpendapat bahwa perjanjian yang dibuat atau dilakukan dengan tidak disertai itikad baik apabila dihubungkan dengan syarat sahnya suatu perjanjian khususnya pada pasal 1320 BW yaitu pada syarat obyektif (suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal), berarti perjanjian tersebut akan berakibat batal demi hukum.
Pasal 1338 ayat (3) dan pasal 1339 sebagai alat pengontrol apakah itikad baik dan kepatutan dipenuhi atau tidak dalam suatu perjanjian. Disamping itu itikad baik dan kepatutan dapat pula merubah atau melengkapi perjanjian.
Perjanjian tidak hanya ditentukan oleh para pihak dalam perumusan perjanjian tetapi juga ditentukan oleh itikad baik dan kepatutan, jadi itikad baik dan kepatutan ikut pula menentukan isi dari perjanjian itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian khususnya perjanjian pinjam meminjam uang apabila dilaksanakan tidak dengan itikad baik (itikad buruk) maka perjanjian tersebut bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan serta norma-norma hukum yang berlaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar