Selasa, 05 Januari 2016

Pelaksanaan Pertanggungjawaban Pidana bagi Pelaku yang Mengakibatkan Kematian dalam Kecelakaan Lalu Lintas di Jalan Raya



A. Pelaksanaan Pertanggungjawaban Pidana bagi Pelaku yang Mengakibatkan Kematian dalam Kecelakaan Lalu Lintas di Jalan Raya

Sudah lama dirasakan perlu adanya tindakan tegas terhadap keteledoran /kesengajaan orang yang menyebabkan matinya orang lain atau luka berat khususnya terhadap pengemudi kendaraan umum (bus umum) yang setiap harinya membawa penumpang atau jiwa orang banyak karena kelalaiannya atau sifatnya kurang mengindahkan nilai jiwa manusia yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas, rupanya ancaman hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun tidaklah cukup merupakan kekangan, sering dirasakan tidak setimpal dengan perbuatan yang dilakukan, sehingga ancaman itu harus diperberat.
Penentuan kesalahan ditentukan bahwa meskipun pelaku dapat membayangkan akibat yang mungkin terjadi karena perbuatan itu akan tetapi ia tidak melakukan tindakan-tindakan untuk mencegah timbulnya akibat, jadi kematian tersebut diakibatkan karena kekurangan penghati-hatian.
Dari hasil penelitian didapat bahwa terhadap kecelakaan yang mengakibatkan kematian, misal seseorang telah  mengemudikan sepeda motor  secara sembrono atau kurang hati-hati sehingga menabrak pejalan kaki sampai mati,
maka dalam hal ini harus diselidiki masalah-masalah yang meliputi :
1)  Kondisi sepeda motor : rem, stir, dan sebagainya.
2)  Kondisi kesehatan bagi pengemudi : sehat, sakit, ngantuk, mabuk, dan sebagainya.
3)  Kecepatan sepeda motor saat terjadi kecelakaan.
Kecepatan tersebut dapat untuk mengetahui apakah si pembuat dapat dikatakan alpa atau kurang hati-hati mengemudikan mobilnya dilihat dari apakah ia melakukan penduga-duga sebegaimana diharuskan oleh hukum dan apakah ia melakukan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Kepada pengemudi yang terbukti mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas dapat dijerat 359 KUHP bahwa,“ apabila kealpaan atau kelalaian pengemudi itu mengakibatkan orang lain atau korban meninggal dunia ancaman pidananya dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun ”.Sedangkan pada Pasal 310 Ayat (4) Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan juga memberi sanksi,  ”Dalam hal kecelakaan karena kelalaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”, dan pada Pasal 311 Ayat (5) menyebutkan,” Dalam hal perbuatan kecelakaan kesengajaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)”.
Kemudian prosesnya yaitu pemeriksaan yang berada di Poltabes Samarinda. Dalam pemeriksaan tersebut penyidik dari Poltabes melakukan penyidikan sebelum diadakan penyidikan lebih lanjut dan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang dilakukan oleh penyidik, Polisi Lalu Lintas dan tim identifikasi untuk turun ke lapangan guna mengetahui kejadian yang sebenarnya dan mengamankan barang bukti dari pihak tersangka maupun korban.Setelah itu tim penyidik membuat laporan BAP dan itu setelah kalau sudahdinyatakan P21 dan ACC oleh Kasatlantas baru berkas tersebut dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.
Penyelenggaraan Penegakan Hukum  lalu lintas merupakan suatu pameo klasik memberikan alternative yang dilematis, antara materi hukum  yang bagus dijalankan oleh aparat penegak hukum yang jelek, atau materi hukum yang  cacat dijalankan oleh aparat penegak hukum yang bagus, maka akan terpilih alternatif kedua, karena  output nya akan lebih baik daripada memilih alternatif pertama. Kondisi idealnya adalah baik materi hukum maupun aparat penegak hukumnya bagus. Hal ini menunjukkan pentingnya  “Kualitas moral dan etika aparat penegak hukum” khususnya
Polri dan PPNS yang diberi wewenang untuk melakukan dan mengambil tindakan dalam rangka penegakan hukum akan berdampak pada kinerja yang profesional. Kualitas moral dan etika penegak hukum yang tinggi guna terwujudnya kinerja penegak hukum yang baik. Kenyataan dalam proses ini penyelenggaraan penegakan hukum dibidang lalu lintas, bahwa masing-masing aparat belum bekerja secara professional, hal ini bisa dilihat dari data pada Tabel berikut :
Data Kecelakaan bulan Januari sampai dengan Desember Tahun 2009
NO
BULAN
JUMLAH
MD
LB
LR
MATERIIL
1
JANUARI
20
5
12
15
Rp. 23.100.000
2
FEBRUARI
23
4
14
22
Rp. 46.700.000
3
MARET
30
8
18
30
Rp. 34.400.000
4
APRIL
18
4
9
13
Rp. 30.200.000
5
MEI
9
3
8
11
Rp. 23.500.000
6
JUNI
27
7
17
16
Rp. 58.700.000
7
JULI
13
6
5
8
Rp. 15.000.000
8
AGUSTUS
17
5
9
12
Rp. 83.800.000
9
SEPTEMBER
28
8
17
20
Rp. 36.500.000
10
OKTOBER
40
10
25
23
Rp. 51.500.000
11
NOVEMBER
12
2
8
10
Rp. 20.300.000
12
DESEMBER
17
6
12
9
Rp. 23.500.000
JUMLAH
254
67
154
189
Rp.447.200.000
Sumber data : Lantas Poltabes Samarinda
Data Kecelakaan bulan Januari sampai dengan Desember Tahun 2010
NO
BULAN
JUMLAH
MD
LB
LR
MATERIIL
1
JANUARI
19
7
8
16
Rp. 58.200.000
2
FEBRUARI
15
6
8
5
Rp. 25.900.000
3
MARET
14
12
8
9
Rp. 18.150.000
4
APRIL
13
1
10
8
Rp. 16.400.000
5
MEI
11
1
9
5
Rp. 18.200.000
6
JUNI
11
3
5
9
Rp. 44.500.000
7
JULI
19
5
13
11
Rp. 44.000.000
8
AGUSTUS
15
7
6
12
Rp. 53.900.000
9
SEPTEMBER
14
-
10
14
Rp. 35.000.000
10
OKTOBER
25
6
9
25
Rp. 74.000.000
11
NOVEMBER
24
8
13
23
Rp. 33.550.000
12
DESEMBER
9
1
4
9
Rp.  5.400.000
JUMLAH
189
48
103
146
Rp.427.600.000
Sumber data : Lantas Poltabes Samarinda
Ketidak profesionalnya bahwa table tersebut dapat disimpulkan bahwa penjatuhan vonis oleh hakim terhadap pelaku pelaku lalu lintas masih mengacu pada tabel tilang (kesepakatan Diljapol) tidak mengindahkan ancaman pidana yang tercantum pada ketentuan pidana yang diatur dalam  Pasal 359 KUHP, Pasal  310 Ayat (1) dan Pasal 311 Ayat (5) yang tertera pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.
Penerapan hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 22 Tahun 2009 belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, seperti penerapan terhadap pasal-pasal ancaman pidana pasal 273 sampai dengan pasal 317 maupun pasal-pasal yang mengatur tentang Pendidikan pengemudi seperti yang tertera pada pasal 78 sampai dengan pasal 79 juncto pasal 87 sampai dengan pasal 89. Penjatuhan vonis oleh hakim terhadap pelaku pelanggaran lalu litas masih mengacu pada tabel tilang (kesepakatan Diljapol) tidak mengindahkan ancaman pidana yang tercantum pada ketentuan yang diatur pada pasal-pasal yang tertera pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dengan nominal denda yang relatif sangat ringan sehingga vonis yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera bagi pelanggar yang dihukum.
Ini dikarenakan juga karena konsistensi dalam pelaksanaan penegakan hukum belum diproyeksikan pada upaya  peningkatan keselamatan lalu lintas dan kepatuhan hukum masyarakat walaupun telah ada konsep tentang penindakan dengan pola System Potensial Point Target (SPPT) dan pelaksanaan kawasan tertib lalu lintas (KTL). Penerapan Perda yang bertentangan dengan ketentuan hirarki perundang-undangan. Pemanfaatan teknologi dan laboratorium forensik dalam bidang pengungkapan kasus kecelakaan lalu lintas utamanya kasus-kasus kecelakaan yang menonjol belum memadai.
Adapun sikap penegak hukum lalu lintas adalah sebagai berikut:
1.     Lemahnya etika moral dan profesionalisme sebagai aparat penegak hukum serta sikap arogansi yang masih melekat dalam melaksanakan tugas penegakan hukum.
2.     Banyaknya penyimpangan yang dilakukan dengan cara melampaui batas wewenang, pungli, bertindak kasar dan tidak mencerminkan sebagai sosok pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
3.     Lemahnya koordinasi antar aparat penegak hukum baik sesama aparat penegak hukum di jalan maupun dengan unsur Criminal Justice System (CJS).
4.     Pelaksanaan penegakan hukum oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Departemen Perhubungan / LLAJR terhadap pelanggaran yang sesuai dengan kewenangannya tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada.
5.     Penanganan dan pengelolaan trayek angkutan umum baik angkutan umum antar  propinsi maupun trayek didalam satu propinsi sering menimbulkan terjadinya protes akibat adanya tumpang tindih perijinan trayek serta tidak rasionalnya pemberian trayek pada daerah tertentu dengan dalih otonomi daerah.
6.  Traffic Education belum dilaksanakan dengan baik dan kontinyu.
7.  Proses pemberian surat ijian mengemudi (SIM) tidak dilaksanakan sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang ada.

B. Kendala dalam Pelaksanaan Pertanggungjawaban Pidana bagi Pelaku yang Mengakibatkan Kematian dalam Kecelakaan Lalu Lintas di Jalan Raya
Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa dalam pelaksanaan pertanggungjawaban pidana pelaku yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas di jalan raya  antara lain adalah :
1.     Lemahnya etika moral dan profesionalisme sebagai aparat penegak hukum serta sikap arogansi yang masih melekat dalam melaksanakan tugas penegakan hukum. Penegak hokum dan Pegawai negeri sipil (PPNS) Departemen Perhubungan / LLAJR terhadap pelanggaran yang sesuai dengan kewenangannya tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada. Banyaknya penyimpangan yang dilakukan dengan cara melampaui batas wewenang, pungli, bertindak kasar dan tidak mencerminkan sebagai sosok pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
2.     Lemahnya koordinasi antar aparat penegak hukum baik sesama aparat penegak hukum di jalan maupun dengan unsur Criminal Justice System (CJS).
3.     Penjatuhan vonis oleh hakim terhadap pelaku pelanggaran lalu litas masih mengacu pada tabel tilang (kesepakatan Diljapol) tidak mengindahkan ancaman pidana yang tercantum pada ketentuan yang diatur pada pasal-pasal yang tertera pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dengan nominal denda yang relatif sangat ringan sehingga vonis yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera bagi pelanggar yang dihukum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar