Selasa, 05 Januari 2016

Implementasi KEPPRES No.77 Tahun 2003 Terhadap Peran dan Tanggungjawab Komisi Perlindungan Anak Indonesia Provinsi Kalimantan Timur Di Samarinda



A. Implementasi KEPPRES No.77 Tahun 2003 Terhadap Peran dan Tanggungjawab Komisi Perlindungan Anak Indonesia Provinsi Kalimantan Timur Di Samarinda

Anak adalah titipan Tuhan Yang Maha Esa sehingga ia dipandang sebagai manusia yang membutuhkan perlindungan dan penanganan khusus ( special safeguard and care ), termasuk perlindungan hukum ( legal protection ), baik setelah maupun sebelum dilahirkan”. Timbul pertanyaan siapakah anak itu? Maka menurut UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang tergolong anak berdasarkan Pasal 1 adalah manusia pada kelompok umur di bawah 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Melindungi anak berarti memahami persoalan anak. Memahami persoalan anak berarti memahami derita anak. Anak-anak Indonesia yang kini tengah menghadapi bahaya penderitaan dapat digolongkan dalam dua “wajah”. Pertama, yakni anak-anak yang menjadi korban ( victim ), terutama yang disebabkan oleh faktor-faktor kondisi ekonomi, sosial, politik dan kultural. Korban itu sendiri bisa berarti korban kejahatan ( victim of crime ) juga bisa berarti korban penyalahgunaan kekuasaan ( victim of abuse of fower ).Kedua, anak-anak “bermasalah” yang mengalami bahaya pederitaan karena terlibat dalam proses-proses dan perilaku-perilaku yang asosial maupun proses-proses reaksi sosial terhadap perilakunya yang bermasalah itu sendiri, termasuk peradilan pidana yang dihadapinya. Kendati anak-anak bermasalah hakikatnya juga sebagai korban karena ia sebenarnya belum sempurna perkembangan fisik, psikis, dan sosialnya, namun dalam hal ini dipisahkan untuk memperoleh kajian secara lebih mendalam. Bagi anak-anak itu, hari-hari ini adalah hari-hari buruk, suatu masa penderitaan yang rasanya tak berujung, dan tak berlebihan jika ia dikatakan mengalami proses pengorbanan ganda ( double victimization ). Kasus-kasus masih maraknya eksplotasi anak-anak jalanan ( exploitation of street children ) seperti pengemisan maupun sebagai subyek physical abuse dan sexually abused, pekerja anak ( child labour ), penjualan anak ( sale of children ), prostitusi anak ( child prostitution ), keterlibatan dalam lalu lintas obat-obatan terlarang ( drug trafficking ), dan berbagai bentuk kekerasan yang menciptakan penderitaan anak-anak  adalah bukti konkret anak-anak menjadi korban. 1)
Meskipun anak-anak dalam kasus-kasus itu tampak menjadi pelaku, tetapi hakikatnya adalah korban, baik korban akibat “disabilitas” (ketidakmampuan) diri, ketidakberdayaan keluarga secara ekonomi, atau karena pandangan kultural yang mensubordinasi anak-anak pada kepentingan di luar kepentingan utama dan pertama bagi anak-anak maupun pengaruh perilaku-perilaku jahat yang muncul dari lingkungan hidupnya yang tidak bisa dihindari dan ditampiknya secara bebas, yang sering disebut sebagai child abuse. Semua itu terakumulasi dalam “wajah anak-anak yang menjadi korban”, yang menampilkan kesulitan dan penderitaan untuk sekedar mencapai kelangsungan hidupnya.
Secara tegas berbagai produk peraturan perundang-undangan telah diatur namun dalam kenyataannya masih banyak terjadi kasus pelanggaran dan kejahatan hak asasi anak. Peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap anak-anak perlu diikuti dengan tindakan penegakan hukum. Untuk itu, dibutuhkan para penegak hukum khusus bagi Anak, mulai dari Polisi, Jaksa, Hakim, dan Pengacara yang memahami dan memberikan perhatian yang serius kepada masalah dan kepentingan anak, yang memiliki kepekaan atas kebutuhan anak-anak ( sense of child needs ).
Berdasarkan penelitian penulis maka perlu adanya penguatan peran Lembaga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang telah ada sejak tahun 2003, sehingga benar-benar memberikan perlindungan yang komprehensif terhadap anak-anak Indonesia. Diharapkan KPAI tidak menjadi lembaga di atas kertas semata. Karena itu, pimpinan KPAI diharapkan memiliki rasa membutuhkan Anak ( sense of child needs ).
Dari hasil wawancara penulis dengan Bapak Akhmadianor, S.Pd, MH selaku Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Kalimantan Timur (KPAID KALTIM ) mengatakan bahwa,  di Indonesia perangkat perundang undangan tentang perlindungan anak diatur melalui UU No.23 Tahun 2002 yang memuat ketentuan - ketentuan sanksi pidana pelanggaran hak anak ( Pasal 77 sampai dengan Pasal 90 UU No 23 Tahun 2002 ). Adapun berkaitan dengan Penyalahgunaan Anak, berdiri Pasal 20 dalam Undang Undang Perlindungan Anak (UUPA)  dengan jelas mengatakan bahwa Negara, Pemerintah, masyarakat, Keluarga dan  Orang tua  berkewajiban dan bertanggungjawab  terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Selanjutnya pendapat Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Kalimantan Timur (KPAID KALTIM ) mempertegas maksud Pasal 25 menyebutkan  bahwa kewajiban dan tanggungjawab masyarakat tehadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Bertitik tolak  dari gambaran awal tersebut di atas,  Bapak Akhmadianor menegaskan bahwa , perlindungan anak menjadi penting karena beberapa alasan :
Pertama, jumlah pelanggaran terhadap hak hak anak terus meningkat, disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat,  keluarga dan orang tua tentang hak hak anak.  Sehingga untuk mengurangi pelbagai tingkat pelanggaran terhadap anak diperlukan kerjasama dari semua pihak dalam upaya preventif. 
Kedua, dalam setiap  pandangan agama bahwa memberikan perlindungan  terhadap anak adalah wajib. Perlindungan tersebut salah satunya  dilakukan  melalui cara menyayangi anak. Untuk melakukan semua diperlukan  pemahaman yang mendalam terhadap hak hak beserta prinsip prinsip dan menyelenggarakan perlindungan hak hak anak. Sehingga diharapkan pemahaman yang akan dilakukan dapat efektif untuk mengurangi tingkat pelanggaran terhadap Hak-Hak  Anak.
Seperti yang dikatakan Beliau, bahwa permasalahan anak di Kalimantan Timur kebanyakan adalah anak yang menjadi korban pencabulan, pemerkosaan dan sodomi, sedangkan terhadap anak sebagai pelaku kejahatan kebanyakan adalah kasus pencurian dan perkelahian.
Menyikapi berbagai permasalahan yang dihadapi anak, keberadaan KPAI  yang merupakan lembaga negara independen  yang  dibentuk berdasarkan amanat UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan berdasarkan Keputusan Presiden No.77 Tahun 2003 Tentang KPAI adalah bagian implementasi dari perintah yang terdapat  pada Pasal 74 UU Perlidungan Anak (UUPA), yang secara tegas dinyatakan bahwa: “Dalam Rangka Peningkatan Penyelenggaraan Perlindungan Anak, maka dibentuk KPAI yang bersifat independen “.
Adapun tugas KPAI sebagaimana tercantum dalam Pasal 76 UUPA yaitu melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundangan undangan yang  berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak serta memberikan laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.
Dalam pelaksanaan perlindungan yang dimaksud dalam rumusan diatas memiliki dua (2) dimensi yaitu melakukan sosialisasi guna menyadarkan semua pihak terhadap hak dan kewajiban anak, dan melakukan pengawasan terhadap perlindungan anak oleh berbagai pihak.
Sehingga dalam hal ini KPAI dalam menjalankan tugasnya  mensosialisasikan  UU No.23 Tahun 2002 Tentang  Perlindungan Anak dan perundang undangan yang terkait dengan anak perlu merangkul dan bekerjasama dengan para pemangku kebijakan dan para penyelenggara perlindungan anak yang mempunyai pengaruh besar dikalangannya dan didaerahnya masing masing untuk mensosialisasikan Undang-Undang Perlindungan Anak kepada khalayak masyarakat  supaya pemahaman akan hak dan perlindungan  anak di Indonesia dapat tersosialisasikan  dengan baik sampai ke masyarakat bawah. “ Karena dengan bekerjasama  dengan para pemangku kebijakan dan para penyelenggara perlindungan anak efektivitas perlindungan anak dapat dicapai karena para pemangku kebijakan dan para penyelenggara perlindungan anak merupakan  ujung tombak dalam merealisasikan perlindungan anak,” seperti yang dikatakan Bapak Akhmadianor.
Bapak Akhmadianor juga mengatakan bahwa, “ Yang menjadi program KPAID KALTIM adalah sesuai dengan Kelompok Kerja yang ada yaitu melaksanakan sosialisasi peraturan perundang – undangan tentang Anak, menyediakan Advocasi bagi Anak Yang Berkonflik Hukum, melakukan pendataan, memberikan fasilitas dan pengaduan Psikolog. Selanjutnya semua program KPAID KALTIM tersebut berjalan hanya saja kurang maksimal ”.
Tujuan  kegiatan umum meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan anak dan melakukan sosialisasi terhadap seluruh ketentuan dan penyelenggaraan  peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak.
Tujuan khusus untuk mensosialisasikan UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak  dan Peraturan Perundang undangan terkait anak bagi para pemangku kebijakan dan para penyelenggara perlindungan anak  untuk membangun kerjasama yang lebih efektif dan produktif bagi upaya perlindungan anak di Indonesia  dalam mewujudkan kota ramah  anak.
Bapak Akhmadianor juga menegaskan, out put yang diharapkan adalah Para pemangku kebijakan dan para penyelenggara perlindungan anak diharapkan dapat mengetahui, memahami dan mengaktualisasikan UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak  dan peraturan perundang undangan  terkait anak lainnya serta mewujudkan Kota Ramah Anak kepada masyarakat.
Para pemangku kebijakan dan para penyelenggara perlindungan anak sadar akan kewajibannya memberikan perlindungan terhadap pemenuhan ­­­­­hak  hak anak dengan memberikan pemahaman dan mengajak para stakehodernya untuk senantiasa  melindungi , mengharagai dan memenuhi hak hak anak demi kepentingan terbaik bagi anak.
Para pemangku kebijakan dan para penyelenggara perlindungan anak dapat  menjadi mitra KPAI untuk bersama sama mensosialisasikan peraturan  perundang undangan  yang berkaitan dengan perlindungan anak dan mengupayakan serta mewujudkan Kota Ramah Anak kepada masyarakat luas.
Peran KPAID KALTIM
              Dari uraian diatas Bapak Akhmadianor selaku Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Kalimantan Timur (KPAID KALTIM ) menuturkan bahwa dalam melaksanakan Tugas – tugas Pokoknya KPAID KALTIM membentuk Kelompok Kerja.
Adapun Kelompok Kerja di KPAID KALTIM antara lain :
1.  Kelompok Kerja Sosialisasi
2.  Kelompok Kerja Advocasi
3.  Kelompok Kerja bidang pendataan
4.  Kelompok Kerja Fasilitasi dan pengaduan Psikolog
Pada prinsipnya semua Kelompok Kerja tersebut sudah berjalan sesuai dengan ketentuan akan tetapi belum maksimal hal ini dikarenakan kurangnya dana, dimana dana anggaran KPAID tersebut berasal dari Gubernur KALTIM dan adanya wewenang diluar kemampuan KPAID KALTIM, Contohnya : Masalah Anak jalanan yang terorganisir dan dikuasai oleh kelompok – kelompok tertentu ( Kelompok Preman ) sehingga KPAID KALTIM kesulitan mengadakan pendataan dan penyuluhan. Dari hasil wawancara dengan Bapak Akhmadianor bahwa, ” bahwa KPAID Kalimantan Timur dikelola secara mandiri berdasarkan kesepakatan bersama. Selanjutnya masalah gaji  Ketua dan gaji Staff KPAID Kalimantan Timur sampai saat ini belum ada honor yang pasti, dikarenakan belum adanya Surat Keputusan dari Gubernur. Padahal KPAID Kalimantan Timur sudah mengajukan permohonan  ke Gubernur. Kemudian mengenai tempat kerja dan fasilitas  KPAID Kalimantan Timur selama ini disediakan oleh  Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia ”.
Tabel          I

Struktur Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Kalimantan Timur ( KPAID KAL-TIM )

 








Kemudian terhadap Anak yang berkonflik dengan hukum KPAID KALTIM berupaya mengusulkan PERDA khusus KALTIM dan parlemen anak dalam mengeluarkan pendapat. Menyediakan Advocasi guna memberikan bantuan secara moral agar si anak tidak dikucilkan. PERDA yang diusulkan adalah anak tidak dihukum dan pidana adalah pilihan terakir ( Ultimatum Remedium ).
Dalam memperjuangkan hak – hak anak tersebut KPAID KALTIM bekerjasama dengan instansi terkait yaitu dengan DEPSOS, LBH APIK, KOMNAS HAM, Badan Pemberdayaan Perempuan Dan Anak, Organisasi Wanita, Dinas Tenaga Kerja, LSM dan Aparat Penegak Hukum.Adapun wujud kerjasama tersebut adalah program sebagai upaya untuk kesejahteraan anak.
Sebagai analisa, penulis mencermati Keadilan Yang Menyembuhkan ( Restorative Justice ).Disampaikan pada lokakarya di Hotel MJ – Samarinda (23 Desember 2009) Oleh : Akmadianor, S.Pd, MH (Ketua KPAID – KALTIM). Restorative Justice sebagai berikut :
Restorative Justice
Mencermati          : Paradigma Baru Penanganan Anak Berkonflik Hukum
Peserta Lokakarya :
DEPSOS, LBH APIK, KOMNAS HAM, Badan Pemberdayaan Perempuan Dan Anak, Organisasi Wanita, Dinas Tenaga Kerja, LSM, Aparat Penegak Hukum dan Tokoh masyarakat.

Disampaikan pada lokakarya Restorative Justice, di Hotel MJ – Samarinda (23 Desember 2009) Oleh : Akhmadianor, S.Pd, MH (Ketua KPAID – KALTIM), Tujuan dilaksanakan lokakarya yang dimaksud adalah sebagai sosialisasi tentang keadilan yang menyembuhkan bagi Anak Berkonflik Hukum, secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut :

A.   Latar Belakang
1.     Anak : harapan keluarga, masyarakat dan bangsa
2.     Anak : potensi aset bangsa
3.     Anak : amanah Tuhan Yang Maha Esa

B.   Masalah
1.     Anak labil dalam berbagai hal.
2.     Anak mudah terpengaruh dengan lingkungan.
3.     Tidak  semua anak mampu menimbang sesuatu dalam perspektif yang luas.

C.   Akibatnya
1.     Anak mudah terpengaruh termasuk dengan lingkungan, termasuk lingkungan yang negatif.
2.     Anak berbuat sesuatu tanpa menimbang baik dan buruknya.
3.     Emosional anak yang tinggi, mudah terbawa perasaan kelompoknya
4.     Anak memiliki karakter era baru, mudah melanggar : sopan santun, tata tertib, nilai-nilai budaya dan bahkan larangan agamanya, yang pada ujungnya dapat berbentuk delik pidana.
D.   Telegram KAPOLRI (Nomor : 1124/2006)
Dalam kaitannya dengan penanganan Anak Berkonflik Hukum ini, Kepolisian RI menyadari sepenuhnya, bahwa kasus-kasus delik hukum sudah memiliki dasar hukum material dan formal, namun demikian, Kepolisian RI juga menyadari dan membaca adanya perkembangan global dan hukum adat yang berkembang di tanah air, dan ini terbukti dengan adanya Kapolri memberikan paduan kepada jajarannya sebagai aparat penegak hukum terdepan, sebagaimana Telegram KAPOLRI antara lain berbunyi :
1.     Dalam menangani anak yang berhadapan dengan kasus hukum, setiap penyidik mengedepankan azas kepentingan terbaik bagi anak, sebagai landasan dalam mengambil keputusan dalam penanganannya.
2.     Penyidik mencari alternatif penyelesaian yang terbaik bagi kepentingan tumbuh-kembang anak, serta seoptimal mungkin berupaya menjauhkan anak dari proses peradilan formal atau pengadilan.
3.     Menghentikan praktek-prakter kekerasan, publikasi, serta kecendrungan menggunakan sistem hukum formal dan tidak kreatif dalam mencari alternatif penyelesaian masalah anak di luar pengadilan formal.
4.     Mengembangkan kemitraan atau jejaring dengan pihak yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap masalah anak, guna mendapatkan masukan yang dapat dijadikan alternatif untuk mencari solusi lain yang komprehensif dalam penyelesaian masalah anak.
5.     Kewenangan diskresi Kepolisian (Pasal 18, ayat (1), UU Nomor 2 Tahun 2002 dengan syarat tindakan tersebut adalah tindakan yang tepat, berdasarkan azas keseimbangan, yaitu mempertimbangkan sifat perbuatan anak dengan akibat yang ditimbulkan dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
6.     Prinsip diversi merupakan bentuk penyelesaian proses pidana formal kepada bentuk alternatif penyelesaian dalam bentuk lain yang dinilai terbaik demi kepentingan terbaik anak (Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2002).
7.     Sedapat mungkin mengambangkan prinsip diversi dalam model Restorative Justice guna memproses perkara pidana yang dilakukan oleh anak.
8.     Penahanan terhadap anak hanya dilakukan ketika sudah tidak ada jalan lain dan merupakan upaya terakhir (ultimatum remedium) & penahanannya harus dipisahkan dengan orang dewasa.








Tabel II                                                                                                                                                                                            Jumlah Anak Berkonflik Hukum yang telah diproses secara hukum se Kaltim

No.
Daerah Kota/Kab
Tahun 2008
Tahun 2009
Ket
1.
Kota Samarinda
14 perkara
25 perkara

2.
Kabupaten Kukar
21 perkara
22 perkara

3.
Kabupaten PPU
9 perkara
9 perkara

4.
Kabupaten Paser
9 perkara
16 perkara

5.
Kota Balikpapan
16 perkara
11 perkara

6.
Kota Tarakan
11 perkara
24 perkara

7.
Kabupaten Berau
11 perkara
14 perkara

8.
Kabupaten Bulungan
2 perkara
3 perkara

9.
Kabupaten Kubar
-perkara
2 perkara

10.
Kabupaten Malinau
4 perkara
4 perkara

11.
Kabupaten Kutim
10 perkara
10 perkara

12.
Kabupaten Bontang
7 perkara
7 perkara

13.
Kabupaten Nunukan
14 perkara
14 perkara


Jumlah
128 perkara
166 perkara

Sumber : Kajati Prop. Kaltim (2008) dan Polda Kaltim (2009)

E.   Dasar penanganan Anak Berkonflik Hukum ( ABH )
Dalam pengamatan KPAID Kaltim, penangan ABH oleh penegak hukum, aparat tetap mengedepankan pada pendekatan pertimbangan psikologis dan pembinaan pada “ aspek anak ”, namun dalam penjatuhan pidana, kebanyakan masih tetap berpegangan pada : Undang-Undang positif yang ada, antara lain
1.     KUHP
2.     UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951
3.     UU Nomor 23 Tahun 1951
4.     UU Nomor 5 Tahun 1997
5.     UU Nomor 41 Tahun 1999
6.     UU Nomor 23 Tahun 2002. 2)

Contohnya : Putusan No : 936/Pid.B/2008/PN.Smda dengan terdakwa Dedy bin Hermanto, yang menyatakan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “ Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengannya diluar pernikahan “, yaitu melanggar pasal 285 KUHP. Kemudian Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan  pidana penjara selama  3( tiga ) tahun dan 6 ( enam ) bulan,  di Balai Pemasyarakatan ( BAPAS ) Samarinda (2008). Hukuman tersebut cukup berat untuk seorang anak, jika dilihat dari kepentingan anak untuk mempersiapan kehidupan masa depannya.

Saran sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua KPAID KALTIM yaitu :
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan penegakan hukum dalam rangka mempertimbangan kepentingan terbaik bagi anak yang berkonflik dengan hukum, diantaranya :
Pertama mengenai usia pertanggunjawaban pidana. Hal ini bermanfaat agar tidak sembarang anak dapat dibawa ke proses hukum, tetapi berdasarkan usia yang sudah ditetapkan.
Kedua mengenai proses hukum dan sistim administrasi peradilan anak. Mulai dari tahap penyidikan, persidangan dan pemenjaraan seringkali sebagai tempat dilanggarnya hak-hak anak.
Ketiga mengenai kesehatan. Perawatan kesehatan fisik dan psikis anak sering tidak menjadi perhatian negara selama anak menjalaniproses penahanan dan pemidanaan.

Keempat mengenai pendidikan. Anak  yang melakukan tindak pidana umumnya dikeluarkan dari sekolah, padahal belum ada keputusan tetap yang mengikat, apakah anak tersebut bersalah atau tidak, sehingga menyalahi prinsip praduga tak bersalah dan tentunya menghilangkan hak anak atas pendidikan.


B. Faktor - faktor Yang Mempengaruhi Implementasi KEPPRES No.77 Tahun 2003 Terhadap Peran dan Tanggungjawab Komisi Perlindungan Anak Indonesia Provinsi Kalimantan Timur Di Samarinda
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Akhmadianor bahwa faktor penghambat yang mempengaruhi Implementasi KEPPRES No.77 Tahun 2003 terhadap peran dan tanggungjawab KPAID KALTIM  antara lain adalah :
1.     Kurangnya dana dari Gubernur KALTIM.Yang mana ditegaskan oleh Bapak Akhmadianor bahwa, ”Ketua KPAID Kalimantan Timur diangkat oleh Gubernur dengan masa jabatan 2.5 tahun sampai dengan 3 tahun.Selanjutnya otoritas organisasi tunduk pada Gubernur. KPAID Kalimantan Timur dikelola secara mandiri berdasarkan kesepakatan bersama. Selanjutnya masalah gaji  Ketua dan gaji Staff KPAID Kalimantan Timur sampai saat ini belum ada honor yang pasti, dikarenakan belum adanya Surat Keputusan dari Gubernur. Padahal KPAID Kalimantan Timur sudah mengajukan permohonan  ke Gubernur. Kemudian mengenai tempat kerja dan fasilitas  KPAID Kalimantan Timur selama ini disediakan oleh  Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia ”.
2.     Fasilitas, sarana dan prasarana yang terbatas dan tidak memadai
3.     Komitmen Pemerintah kurang dalam hal :
a.     Anggaran
b.     Fasilitas
c.      Koordinasi
4.     Tidak adanya Lembaga Permasyarakatan Anak di Kalimantan Timur, yang kemudian KPAID mengupayakan pembangunan Lembaga Permasyarakatan Anak , informal tersebut diajukan ke Kementerian Hukum Dan HAM
5.     Tidak adanya perwakilan KPAID KALTIM ditingkat kabupaten/kota.Bagaimana mungkin KPAID KALTIM bisa mengurusi semua permasalahan di wilayah Kalimantan Timur.Sehingga hal tersebut memperlambat kinerja KPAI. Sebenarnya hal ini merupakan wewenang Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kalimantan Timur.



1)Ibid.,www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/57-tips penegakkan-hukum-bagi-anak-yang-berkonflik dengan-hukum.html.

2) www.pa-samarinda.net/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar