A. Implementasi KEPPRES No.77
Tahun 2003 Terhadap Peran dan Tanggungjawab Komisi Perlindungan Anak Indonesia Provinsi
Kalimantan Timur Di Samarinda
Anak adalah
titipan Tuhan Yang Maha Esa sehingga ia dipandang sebagai manusia yang
membutuhkan perlindungan dan penanganan khusus ( special safeguard and care ), termasuk perlindungan hukum ( legal protection ), baik setelah maupun
sebelum dilahirkan”. Timbul pertanyaan siapakah anak itu? Maka menurut UU No.23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang tergolong anak berdasarkan Pasal 1 adalah
manusia pada kelompok umur di bawah 18 tahun termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
Melindungi
anak berarti memahami persoalan anak. Memahami persoalan anak berarti memahami
derita anak. Anak-anak Indonesia yang kini tengah
menghadapi bahaya penderitaan dapat digolongkan dalam dua “wajah”. Pertama,
yakni anak-anak yang menjadi korban ( victim
), terutama yang disebabkan oleh faktor-faktor kondisi ekonomi, sosial, politik
dan kultural. Korban itu sendiri bisa berarti korban kejahatan ( victim of crime ) juga bisa berarti
korban penyalahgunaan kekuasaan ( victim
of abuse of fower ).Kedua, anak-anak “bermasalah” yang mengalami
bahaya pederitaan karena terlibat dalam proses-proses dan perilaku-perilaku
yang asosial maupun proses-proses reaksi sosial terhadap perilakunya yang bermasalah
itu sendiri, termasuk peradilan pidana yang dihadapinya. Kendati anak-anak
bermasalah hakikatnya juga sebagai korban karena ia sebenarnya belum sempurna perkembangan
fisik, psikis, dan sosialnya, namun dalam hal ini dipisahkan untuk memperoleh
kajian secara lebih mendalam. Bagi anak-anak itu, hari-hari ini adalah
hari-hari buruk, suatu masa penderitaan yang rasanya tak berujung, dan tak
berlebihan jika ia dikatakan mengalami proses pengorbanan ganda ( double victimization ). Kasus-kasus
masih maraknya eksplotasi anak-anak jalanan (
exploitation of street children ) seperti pengemisan maupun sebagai subyek physical abuse dan sexually abused, pekerja
anak ( child labour ), penjualan anak
( sale of children ), prostitusi anak
( child prostitution ), keterlibatan
dalam lalu lintas obat-obatan terlarang (
drug trafficking ), dan berbagai bentuk kekerasan yang menciptakan
penderitaan anak-anak adalah bukti
konkret anak-anak menjadi korban. 1)
Meskipun
anak-anak dalam kasus-kasus itu tampak menjadi pelaku, tetapi hakikatnya adalah
korban, baik korban akibat “disabilitas” (ketidakmampuan) diri,
ketidakberdayaan keluarga secara ekonomi, atau karena pandangan kultural yang
mensubordinasi anak-anak pada kepentingan di luar kepentingan utama dan pertama
bagi anak-anak maupun pengaruh perilaku-perilaku jahat yang muncul dari
lingkungan hidupnya yang tidak bisa dihindari dan ditampiknya secara bebas,
yang sering disebut sebagai child abuse.
Semua itu terakumulasi dalam “wajah anak-anak yang menjadi korban”, yang
menampilkan kesulitan dan penderitaan untuk sekedar mencapai kelangsungan
hidupnya.
Secara
tegas berbagai produk peraturan perundang-undangan telah diatur namun dalam
kenyataannya masih banyak terjadi kasus pelanggaran dan kejahatan hak asasi
anak. Peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan dan
penghormatan terhadap anak-anak perlu diikuti dengan tindakan penegakan hukum.
Untuk itu, dibutuhkan para penegak hukum khusus bagi Anak, mulai dari Polisi,
Jaksa, Hakim, dan Pengacara yang memahami dan memberikan perhatian yang serius
kepada masalah dan kepentingan anak, yang memiliki kepekaan atas kebutuhan
anak-anak ( sense of child needs ).
Berdasarkan
penelitian penulis maka perlu adanya penguatan peran Lembaga Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) yang telah ada sejak tahun 2003, sehingga benar-benar
memberikan perlindungan yang komprehensif terhadap anak-anak Indonesia. Diharapkan KPAI tidak
menjadi lembaga di atas kertas semata. Karena itu, pimpinan KPAI diharapkan
memiliki rasa membutuhkan Anak ( sense of
child needs ).
Dari hasil wawancara
penulis dengan Bapak Akhmadianor, S.Pd, MH selaku Ketua Komisi Perlindungan
Anak Indonesia Daerah Kalimantan Timur (KPAID KALTIM ) mengatakan bahwa,
di Indonesia perangkat perundang undangan tentang perlindungan anak diatur
melalui UU No.23 Tahun 2002 yang memuat ketentuan - ketentuan sanksi pidana
pelanggaran hak anak ( Pasal 77 sampai dengan Pasal 90 UU No 23 Tahun 2002 ).
Adapun berkaitan dengan Penyalahgunaan Anak, berdiri Pasal 20 dalam Undang
Undang Perlindungan Anak (UUPA) dengan jelas mengatakan bahwa Negara, Pemerintah,
masyarakat, Keluarga dan Orang tua berkewajiban dan
bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Selanjutnya pendapat Ketua
Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Kalimantan Timur (KPAID KALTIM ) mempertegas
maksud Pasal 25 menyebutkan bahwa kewajiban dan tanggungjawab masyarakat
tehadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran serta masyarakat
dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Bertitik tolak dari
gambaran awal tersebut di atas, Bapak Akhmadianor
menegaskan bahwa , perlindungan anak menjadi penting karena beberapa alasan :
Pertama, jumlah pelanggaran terhadap hak hak
anak terus meningkat, disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat, keluarga
dan orang tua tentang hak hak anak. Sehingga untuk mengurangi pelbagai
tingkat pelanggaran terhadap anak diperlukan kerjasama dari semua pihak dalam
upaya preventif.
Kedua, dalam setiap pandangan agama
bahwa memberikan perlindungan terhadap anak adalah wajib. Perlindungan
tersebut salah satunya dilakukan melalui cara menyayangi anak.
Untuk melakukan semua diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap hak hak
beserta prinsip prinsip dan menyelenggarakan perlindungan hak hak anak.
Sehingga diharapkan pemahaman yang akan dilakukan dapat efektif untuk
mengurangi tingkat pelanggaran terhadap Hak-Hak Anak.
Seperti yang dikatakan
Beliau, bahwa permasalahan anak di Kalimantan Timur kebanyakan adalah anak yang
menjadi korban pencabulan, pemerkosaan dan sodomi, sedangkan terhadap anak
sebagai pelaku kejahatan kebanyakan adalah kasus pencurian dan perkelahian.
Menyikapi berbagai
permasalahan yang dihadapi anak, keberadaan KPAI yang merupakan lembaga
negara independen yang dibentuk berdasarkan amanat UU No.23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak dan berdasarkan Keputusan Presiden No.77 Tahun
2003 Tentang KPAI adalah bagian implementasi dari perintah yang terdapat
pada Pasal 74 UU Perlidungan Anak (UUPA), yang secara tegas dinyatakan
bahwa: “Dalam Rangka Peningkatan Penyelenggaraan Perlindungan Anak, maka
dibentuk KPAI yang bersifat independen “.
Adapun tugas KPAI
sebagaimana tercantum dalam Pasal 76 UUPA yaitu melakukan sosialisasi seluruh
ketentuan peraturan perundangan undangan yang berkaitan dengan
perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan
masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak serta memberikan laporan, saran, masukan dan
pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.
Dalam pelaksanaan
perlindungan yang dimaksud dalam rumusan diatas memiliki dua (2) dimensi yaitu
melakukan sosialisasi guna menyadarkan semua pihak terhadap hak dan kewajiban
anak, dan melakukan pengawasan terhadap perlindungan anak oleh berbagai pihak.
Sehingga dalam hal ini
KPAI dalam menjalankan tugasnya mensosialisasikan UU No.23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak dan perundang undangan yang terkait dengan
anak perlu merangkul dan bekerjasama dengan para pemangku kebijakan dan para
penyelenggara perlindungan anak yang mempunyai pengaruh besar dikalangannya dan
didaerahnya masing masing untuk mensosialisasikan Undang-Undang Perlindungan
Anak kepada khalayak masyarakat supaya pemahaman akan hak dan
perlindungan anak di Indonesia dapat tersosialisasikan dengan baik
sampai ke masyarakat bawah. “ Karena dengan bekerjasama dengan para
pemangku kebijakan dan para penyelenggara perlindungan anak efektivitas
perlindungan anak dapat dicapai karena para pemangku kebijakan dan para
penyelenggara perlindungan anak merupakan ujung tombak dalam
merealisasikan perlindungan anak,” seperti yang dikatakan Bapak Akhmadianor.
Bapak Akhmadianor juga
mengatakan bahwa, “ Yang menjadi program KPAID KALTIM adalah sesuai dengan
Kelompok Kerja yang ada yaitu melaksanakan sosialisasi peraturan perundang –
undangan tentang Anak, menyediakan Advocasi bagi Anak Yang Berkonflik Hukum,
melakukan pendataan, memberikan fasilitas dan pengaduan Psikolog. Selanjutnya
semua program KPAID KALTIM tersebut berjalan hanya saja kurang maksimal ”.
Tujuan kegiatan
umum meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan anak dan melakukan
sosialisasi terhadap seluruh ketentuan dan penyelenggaraan peraturan
perundang undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak.
Tujuan khusus untuk mensosialisasikan
UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Perundang
undangan terkait anak bagi para pemangku kebijakan dan para penyelenggara
perlindungan anak untuk membangun kerjasama yang lebih efektif dan
produktif bagi upaya perlindungan anak di Indonesia dalam mewujudkan kota
ramah anak.
Bapak Akhmadianor juga
menegaskan, out put yang diharapkan
adalah Para pemangku kebijakan dan para penyelenggara perlindungan anak
diharapkan dapat mengetahui, memahami dan mengaktualisasikan UU No.23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak dan peraturan perundang undangan
terkait anak lainnya serta mewujudkan Kota Ramah Anak kepada masyarakat.
Para pemangku kebijakan dan para
penyelenggara perlindungan anak sadar akan kewajibannya memberikan perlindungan
terhadap pemenuhan hak hak anak dengan memberikan pemahaman dan
mengajak para stakehodernya untuk senantiasa melindungi , mengharagai dan
memenuhi hak hak anak demi kepentingan terbaik bagi anak.
Para pemangku kebijakan dan para
penyelenggara perlindungan anak dapat menjadi mitra KPAI untuk bersama
sama mensosialisasikan peraturan perundang undangan yang berkaitan
dengan perlindungan anak dan mengupayakan serta mewujudkan Kota Ramah Anak
kepada masyarakat luas.
Peran KPAID KALTIM
Dari
uraian diatas Bapak Akhmadianor selaku Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Daerah Kalimantan Timur (KPAID KALTIM ) menuturkan bahwa dalam melaksanakan
Tugas – tugas Pokoknya KPAID KALTIM membentuk Kelompok Kerja.
Adapun Kelompok
Kerja di KPAID KALTIM antara lain :
1. Kelompok Kerja Sosialisasi
2. Kelompok Kerja Advocasi
3. Kelompok Kerja bidang pendataan
4. Kelompok Kerja Fasilitasi dan
pengaduan Psikolog
Pada prinsipnya semua Kelompok
Kerja tersebut sudah berjalan sesuai dengan ketentuan akan tetapi belum
maksimal hal ini dikarenakan kurangnya dana, dimana dana anggaran KPAID
tersebut berasal dari Gubernur KALTIM dan adanya wewenang diluar kemampuan
KPAID KALTIM, Contohnya : Masalah Anak jalanan yang terorganisir dan dikuasai
oleh kelompok – kelompok tertentu ( Kelompok Preman ) sehingga KPAID KALTIM
kesulitan mengadakan pendataan dan penyuluhan. Dari hasil wawancara dengan
Bapak Akhmadianor bahwa, ” bahwa KPAID Kalimantan Timur dikelola secara mandiri
berdasarkan kesepakatan bersama. Selanjutnya masalah gaji Ketua dan gaji Staff KPAID Kalimantan Timur
sampai saat ini belum ada honor yang pasti, dikarenakan belum adanya Surat
Keputusan dari Gubernur. Padahal KPAID Kalimantan Timur sudah mengajukan
permohonan ke Gubernur. Kemudian
mengenai tempat kerja dan fasilitas
KPAID Kalimantan Timur selama ini disediakan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia ”.
Tabel I
Struktur Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Kalimantan Timur (
KPAID KAL-TIM )

Kemudian terhadap Anak yang
berkonflik dengan hukum KPAID KALTIM berupaya mengusulkan PERDA khusus KALTIM
dan parlemen anak dalam mengeluarkan pendapat. Menyediakan Advocasi guna
memberikan bantuan secara moral agar si anak tidak dikucilkan. PERDA yang
diusulkan adalah anak tidak dihukum dan pidana adalah pilihan terakir ( Ultimatum Remedium ).
Dalam memperjuangkan hak – hak
anak tersebut KPAID KALTIM bekerjasama dengan instansi terkait yaitu dengan
DEPSOS, LBH APIK, KOMNAS HAM, Badan Pemberdayaan Perempuan Dan Anak, Organisasi
Wanita, Dinas Tenaga Kerja, LSM dan Aparat Penegak Hukum.Adapun wujud kerjasama
tersebut adalah program sebagai upaya untuk kesejahteraan anak.
Sebagai analisa, penulis mencermati Keadilan Yang
Menyembuhkan ( Restorative Justice ).Disampaikan pada lokakarya di
Hotel MJ – Samarinda (23 Desember 2009) Oleh : Akmadianor, S.Pd, MH (Ketua
KPAID – KALTIM). Restorative Justice
sebagai berikut :
Restorative Justice
Mencermati :
Paradigma Baru Penanganan Anak Berkonflik Hukum
Peserta Lokakarya :
DEPSOS, LBH APIK, KOMNAS HAM, Badan
Pemberdayaan Perempuan Dan Anak, Organisasi Wanita, Dinas Tenaga Kerja, LSM,
Aparat Penegak Hukum dan Tokoh masyarakat.
Disampaikan
pada lokakarya Restorative Justice,
di Hotel MJ – Samarinda (23 Desember 2009) Oleh : Akhmadianor, S.Pd, MH (Ketua
KPAID – KALTIM), Tujuan dilaksanakan
lokakarya yang dimaksud adalah sebagai sosialisasi tentang keadilan yang
menyembuhkan bagi Anak Berkonflik Hukum, secara singkat dapat diuraikan sebagai
berikut :
A. Latar
Belakang
1.
Anak : harapan
keluarga, masyarakat dan bangsa
2.
Anak : potensi
aset bangsa
3.
Anak : amanah
Tuhan Yang Maha Esa
B. Masalah
1.
Anak labil dalam
berbagai hal.
2.
Anak mudah
terpengaruh dengan lingkungan.
3.
Tidak semua anak mampu menimbang sesuatu dalam
perspektif yang luas.
C. Akibatnya
1.
Anak mudah
terpengaruh termasuk dengan lingkungan, termasuk lingkungan yang negatif.
2.
Anak berbuat
sesuatu tanpa menimbang baik dan buruknya.
3.
Emosional anak
yang tinggi, mudah terbawa perasaan kelompoknya
4.
Anak memiliki
karakter era baru, mudah melanggar : sopan santun, tata tertib, nilai-nilai
budaya dan bahkan larangan agamanya, yang pada ujungnya dapat berbentuk delik
pidana.
D. Telegram
KAPOLRI (Nomor : 1124/2006)
Dalam kaitannya dengan penanganan Anak Berkonflik
Hukum ini, Kepolisian RI menyadari sepenuhnya, bahwa kasus-kasus delik hukum
sudah memiliki dasar hukum material dan formal, namun demikian, Kepolisian RI
juga menyadari dan membaca adanya perkembangan global dan hukum adat yang
berkembang di tanah air, dan ini terbukti dengan adanya Kapolri memberikan
paduan kepada jajarannya sebagai aparat penegak hukum terdepan, sebagaimana Telegram KAPOLRI antara lain berbunyi :
1.
Dalam menangani
anak yang berhadapan dengan kasus hukum, setiap penyidik mengedepankan azas kepentingan terbaik bagi anak, sebagai landasan
dalam mengambil keputusan dalam penanganannya.
2.
Penyidik mencari
alternatif penyelesaian yang terbaik bagi kepentingan tumbuh-kembang anak,
serta seoptimal mungkin berupaya menjauhkan anak dari proses peradilan formal
atau pengadilan.
3.
Menghentikan
praktek-prakter kekerasan, publikasi, serta kecendrungan menggunakan sistem
hukum formal dan tidak kreatif dalam mencari alternatif penyelesaian masalah
anak di luar pengadilan formal.
4.
Mengembangkan
kemitraan atau jejaring dengan pihak yang memiliki perhatian dan kepedulian
terhadap masalah anak, guna mendapatkan masukan yang dapat dijadikan alternatif
untuk mencari solusi lain yang komprehensif dalam penyelesaian masalah anak.
5.
Kewenangan
diskresi Kepolisian (Pasal 18, ayat (1), UU Nomor 2 Tahun 2002 dengan syarat
tindakan tersebut adalah tindakan yang tepat, berdasarkan azas keseimbangan,
yaitu mempertimbangkan sifat perbuatan anak dengan akibat yang ditimbulkan
dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
6.
Prinsip diversi
merupakan bentuk penyelesaian proses pidana formal kepada bentuk alternatif
penyelesaian dalam bentuk lain yang dinilai terbaik demi kepentingan terbaik
anak (Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2002).
7.
Sedapat mungkin
mengambangkan prinsip diversi dalam model Restorative Justice guna memproses
perkara pidana yang dilakukan oleh anak.
8.
Penahanan
terhadap anak hanya dilakukan ketika sudah tidak ada jalan lain dan merupakan
upaya terakhir (ultimatum remedium) & penahanannya harus dipisahkan dengan
orang dewasa.
Tabel II Jumlah Anak Berkonflik Hukum yang
telah diproses secara hukum se Kaltim
No.
|
Daerah Kota/Kab
|
Tahun 2008
|
Tahun 2009
|
Ket
|
1.
|
Kota Samarinda
|
14 perkara
|
25 perkara
|
|
2.
|
Kabupaten Kukar
|
21 perkara
|
22 perkara
|
|
3.
|
Kabupaten PPU
|
9 perkara
|
9 perkara
|
|
4.
|
Kabupaten Paser
|
9 perkara
|
16 perkara
|
|
5.
|
Kota Balikpapan
|
16 perkara
|
11 perkara
|
|
6.
|
Kota Tarakan
|
11 perkara
|
24 perkara
|
|
7.
|
Kabupaten Berau
|
11 perkara
|
14 perkara
|
|
8.
|
Kabupaten Bulungan
|
2 perkara
|
3 perkara
|
|
9.
|
Kabupaten Kubar
|
-perkara
|
2 perkara
|
|
10.
|
Kabupaten Malinau
|
4 perkara
|
4 perkara
|
|
11.
|
Kabupaten Kutim
|
10 perkara
|
10 perkara
|
|
12.
|
Kabupaten Bontang
|
7 perkara
|
7 perkara
|
|
13.
|
Kabupaten Nunukan
|
14 perkara
|
14 perkara
|
|
|
Jumlah
|
128 perkara
|
166 perkara
|
|
Sumber :
Kajati Prop. Kaltim (2008) dan Polda Kaltim (2009)
E. Dasar
penanganan Anak Berkonflik Hukum ( ABH )
Dalam pengamatan KPAID Kaltim, penangan ABH oleh
penegak hukum, aparat tetap mengedepankan pada pendekatan pertimbangan
psikologis dan pembinaan pada “ aspek anak ”, namun dalam penjatuhan pidana,
kebanyakan masih tetap berpegangan pada : Undang-Undang positif yang ada,
antara lain
1.
KUHP
2.
UU Darurat Nomor
12 Tahun 1951
3.
UU Nomor 23 Tahun
1951
4.
UU Nomor 5 Tahun
1997
5.
UU Nomor 41 Tahun
1999
6.
UU Nomor 23 Tahun
2002. 2)
Contohnya : Putusan No : 936/Pid.B/2008/PN.Smda dengan
terdakwa Dedy bin Hermanto, yang
menyatakan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “
Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh
dengannya diluar pernikahan “, yaitu melanggar pasal 285 KUHP. Kemudian Majelis
Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 3( tiga ) tahun dan 6 ( enam ) bulan, di
Balai Pemasyarakatan ( BAPAS ) Samarinda (2008). Hukuman tersebut cukup
berat untuk seorang anak, jika dilihat dari kepentingan anak untuk mempersiapan
kehidupan masa depannya.
Saran
sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua KPAID KALTIM yaitu :
Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam melakukan penegakan hukum dalam rangka mempertimbangan
kepentingan terbaik bagi anak yang berkonflik dengan hukum, diantaranya :
Pertama mengenai usia pertanggunjawaban pidana. Hal ini
bermanfaat agar tidak sembarang anak dapat dibawa ke proses hukum, tetapi
berdasarkan usia yang sudah ditetapkan.
Kedua mengenai proses hukum dan sistim administrasi
peradilan anak. Mulai dari tahap penyidikan, persidangan dan pemenjaraan
seringkali sebagai tempat dilanggarnya hak-hak anak.
Ketiga mengenai kesehatan. Perawatan kesehatan fisik dan
psikis anak sering tidak menjadi perhatian negara selama anak menjalaniproses
penahanan dan pemidanaan.
Keempat mengenai pendidikan. Anak yang melakukan
tindak pidana umumnya dikeluarkan dari sekolah, padahal belum ada keputusan
tetap yang mengikat, apakah anak tersebut bersalah atau tidak, sehingga
menyalahi prinsip praduga tak bersalah dan tentunya menghilangkan hak anak atas
pendidikan.
B. Faktor - faktor Yang Mempengaruhi
Implementasi KEPPRES No.77 Tahun 2003 Terhadap Peran dan Tanggungjawab Komisi
Perlindungan Anak Indonesia Provinsi Kalimantan Timur Di Samarinda
Berdasarkan hasil wawancara
dengan Bapak Akhmadianor bahwa faktor penghambat yang mempengaruhi Implementasi
KEPPRES No.77 Tahun 2003 terhadap peran dan tanggungjawab KPAID KALTIM antara lain adalah :
1. Kurangnya dana dari
Gubernur KALTIM.Yang mana ditegaskan oleh Bapak Akhmadianor bahwa, ”Ketua KPAID
Kalimantan Timur diangkat oleh Gubernur dengan masa jabatan 2.5 tahun sampai
dengan 3 tahun.Selanjutnya otoritas organisasi tunduk pada Gubernur. KPAID
Kalimantan Timur dikelola secara mandiri berdasarkan kesepakatan bersama.
Selanjutnya masalah gaji Ketua dan gaji
Staff KPAID Kalimantan Timur sampai saat ini belum ada honor yang pasti,
dikarenakan belum adanya Surat Keputusan dari Gubernur. Padahal KPAID
Kalimantan Timur sudah mengajukan permohonan
ke Gubernur. Kemudian mengenai tempat kerja dan fasilitas KPAID Kalimantan Timur selama ini disediakan
oleh Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia ”.
2. Fasilitas, sarana dan
prasarana yang terbatas dan tidak memadai
3. Komitmen Pemerintah
kurang dalam hal :
a. Anggaran
b. Fasilitas
c.
Koordinasi
4. Tidak adanya Lembaga
Permasyarakatan Anak di Kalimantan Timur, yang kemudian KPAID mengupayakan
pembangunan Lembaga Permasyarakatan Anak , informal tersebut diajukan ke
Kementerian Hukum Dan HAM
5. Tidak adanya perwakilan
KPAID KALTIM ditingkat kabupaten/kota.Bagaimana mungkin KPAID KALTIM bisa
mengurusi semua permasalahan di wilayah Kalimantan Timur.Sehingga hal tersebut
memperlambat kinerja KPAI. Sebenarnya hal ini merupakan wewenang Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kalimantan Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar