Selasa, 05 Januari 2016

Penerapan Izin Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil ditinjau dari PP No.10 Tahun 1983 Jo PP No.45 Tahun 1990



A.    Penerapan Izin Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil ditinjau dari PP No.10 Tahun 1983 Jo PP No.45 Tahun 1990

Berdasarkan penelitian menunjukan bahwa prosedur pelaksanaan perkawinan poligami bagi Pegawai Negeri Sipil di kota Samarinda dilakukan dengan mengajukan permohonan tertulis kepada walikota selaku pejabat yang berwenang memberikan izin melalui Pengadilan Agama setempat yang dilampiri  dengan syarat – syarat yang telah ditentukan serta dalam pemohon tersebut harus dijelaskan alas an untuk melakukan poligami.Kemudian Pengadilan Agama akan memberrikan pertimbangan secara tertulis terhadap pemohon yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil bawahannya, kemudian disampaikan kepada Walikota Samarinda.Kemudian Tim pelaksana pereturan PP No.10 Tahun 1983 Jo PP. No.45 Tahun 1990 akan memberikan pertimbangan kepada walikota atas permohonan yang disampaikan tersebut.Berdasarkan pertimbangan yang diberikan Tim pelaksana pereturan PP No.10 Tahun 1983 Jo PP. No.45 Tahun 1990,  maka Walikota akan memberikan izin atau menolak permohonan dari pemohon untuk melakukan perkawinan poligami yang disampaikan kepada secara tertulis kepada yang bersangkutan paling lambat tiga bulan setelah permohonan diterima oleh Walikota.Bahkan factor – factor  yang menyebabkan seorang Pegawai Negeri Sipil melakukan poligami antara lain karena :
a.       Si istri tidak mapu memberikan keturuna
b.      Istri mendapat cacat badan ataupenyakit yang tidak dapat disembuhkan
c.       Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
d.      Suami mengalami kelainan hubungan sex ( Hipersex )
e.       Akibat pergaulan suami yang mengakibatkan suami harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya
f.       Karena keadaan ekonomi membaik dan yang menjanjikan perubahan untuk kehidupan masa depan.


B.     Hambatan Yang Timbul Dalam Mengajukan Izin Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil dan Pemecahannya

Pegawai negeri sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang dan pegawai negeri sipil wanita yang akan menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari yang pegawai negeri sipil diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat. Bagi pegawai negeri sipil pria dengan adanya izin dari pejabat yang berwenang untuk dapat berpoligami, maka harus membuat permohonan izin kepengadilan yang berwenang, dengan melampirkan surat izi dari pejabat tersebut, karena izin dari pejabat sifatnya interen administartif saja, maka tidak ada keharusan bagi pengadilan untuk mengabulkan permohonan itu.
Jika pengadilan menagbulkan permohonan pegawai negeri sipil pria untuk melakukan poligami atau beristri lebih dari seorang, berdasarka alasan-alasan yang dikemukan maka yang bersangkutan dapat melangsungkan perkawinannya dengan tetap berpegang kepada semua pernyataan yang telah diperbuatnya, antara lain harus bersikap adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, termasuk dalam hal ini pembagian gaji.
Sulitnya dan bahkan terasa birokratisnya untuk memperoleh izin untuk beristri lebih dari seoarang ini dimaksudkan agar yang bersangkutan mempunyai waktu yang cukup lama untuk memikirkan kembali tindakan yang telah diambilnya itu.
Dengan waktu yang cukup lama ditambah dengan nasehat dari pejabat yang dimintakan izin, kemungkinan untuk mengurungkan niat itu bias saja terjadi sehingga perkawinan yang telah dilangsungkan atau yang telah ada diharapkan dapat kekal sesuai dengan tujuan perkawinan yang termuat dalam pasal 1 undang-undang no 1 tahun 1974. Hal ini juga tidak terlepas dari tanggung jawab seorang pegawai negeri sipil sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat yang harus menjadi contoh dan tauladan dalam ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
Dari sisi lain, dengan adanya cara yang dianggap terlalu birokratis dan memakan waktu yang cukup lama ini menyebabkan sebagian orang untuk mengambil jalan pintas yang tidak diharapkan yaitu dengan cara melangsung perkawinan dengan cara dibawah tangan, hidup bersama tanpa ikatan perkawinan atau tindakan yang kurang wajar lainnya. Disini timbul dilemma yang sulit dipecahkan, sebab jika diberikan dengan cepat maka akan membuat semakin banyak permohonan izin untuk beristri dari seorang, sehingga akan timbul perbuatan sewenag-wenang terhadap wanita (istri), sedangkan jika dipersulit akan membawa dampak yang merugikan citra pegawai negeri sipil.
Berdasarka penelitian hambatan-hambatan dalam penerapan poligami terhadap pegawai negeri sipil ini, disebabkan antara lain :
1.      Kurangnya  kesadaran hokum dari sebagian pegawai negeri sipil
2.      Prosedur yang dianggap birokratis dan terlalu lama
3.      Tidak adanya tindakan yang tegas terhadap mereka yang melakukan pelanggaran poligami ini.
Kurangnya kesadaran hukum ini menyebabkan ada pegawai negeri sipil yang melangsungkan perkawinan dengan cara dibawah tangan, tanpa memandang adari aspek yuridisnya, sehingga kurang memperhatikan akibat hukum nantinya bagi istri serta anak-anak dari perkawinan tersebut.
Memperhatikan pasal 45 PP nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang no 1 tahun 1974, menyatakan bahwa, jika seseorang tidak melaporkan perkawinannya kepada pegawai pencatat perkawinan, diancam dengan hukuman denda. Ancaman denda yang relative ringan ini membuat sebagian orang beranggapan bahwa, keharusan melaporkan perkawinan itu hanya sekedar syarat administrative belaka. Karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran hokum ini membuat hal ini membuat sementara orang menganggap tidak perlunya pendaftaran perkawinan.
Hal ini sungguh suatu hal yang keliru, karena bagaimanapun antara PP no 9 tahun 1975 tidak dapat dipisahkan dengan unadang-undang No. 1 tahun 1974. Dalam undang-undang no. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (2) menyatakan, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Negara yang didalam hal ini pemerintah hanya memandang atau mengetahui perkawinan itu jika dicatat dalam kadaster perkawinan.
Jika perkawinan itu hanya dilakukan dengan cara dibawah tangan didaftarkan, maka perkawinan itu hanya sah menurut agama akan tetapi tidak sah menurut Negara. Hal inilah yang perlu diperhatikan oleh tiap orang yang melangsungkan perkawinan secara dibawah tangan, sebab ini menyangkut kepentingan si anak kelak misalnya dalam hal membutkan akta kelahiran, dan juga jika suatu waktu suami istri tersebut akan melakukan perceraian. Jika tidak tidak mungkin mereka dapat diputus cerai, karena Negara menganggap perkawinan itu tidak pernah ada secara hukum Negara.
Praktek poligami illegal seperti perkawinan secara dibawah tangan ini pada kenyataannya di masyarakat cukup banyak terjadi dan ini bukan saja karena krang mengerti hukum tapi ada unsur kesengajaan sebagai suatu penyuludupan hukum. Ada banyak pertimbangan yang membuat hal ini banyak dilakukan oleh sebagian orang termasuk pegawai negeri sipil karena jika hal ini diketahui oleh istri pertamanya dan menuntut kepengadilan hal ini agak sulit untuk dibuktikan sebagai suatu perkawinan.
Prosedur yang birokratis dan memakan waktu yang terlau lama memang bertujuan agar, pegawai negeri sipil mempunyai waktu yang cukup untuk memikirkan kembali niatnya beristri lebih dari seorang dan juga untuk mempersulit terjadinya poligami. Akan tetapi dilain pihak hal ini membuat mereka untuk memilih jalan menghindarinya., sehingga menyebabkan timbulnya banyak perkawinan dibawah tangan dan hidup bersama.
Tidak adanya sanksi yang tegas membuat semakin banyaknya praktek poligami ilegal yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil. Dengan berlakunya PP no 10 tahun 1983 secara khusus bagi pegawai negeri sipil sebenarnya telah memuat sanksi yang tegas bagi pegawai negeri sipil yang melakukan hidup bersama tanpa ikatan perkawinan, yaitu dengan ancaman sanksi disiplin berat, berupa pemberhentian denag hormat tidak atas permintaan sendiri (pasal 15 PP. No. 10 Tahun 1983 ). Jika hal ini diterapkan dengan tepat dan benar maka praktek poligami ilegal termasuk perkawinan dengan cara dibawah tangan dapat dihindari, sehingga poligami dapat diterapkan. Disini diperlukan ketegasan dari pejabat yang berwenang agar dapat menerapkan peraturan itu tanpa pandang bulu.
Dengan masih adanya laporan mengenai pelanggaran poligami ilegal yang diselesaikan secara interen dan secara musyawarah, tanpa dibarengi dengan suatu sanksi sebagaimana diatur dalam PP No. 10 Tahun. 1983 itu akan membuat masalah ini berlangsung terus. Jika atasan / pejabat yang menerima pengaduan atas bawahannya yang melakukan poligami ilegal atau hidup bersama bertindak tegas. Dengan cara mendengar kerterangan masing-masing pihak yang terkait serta mencari bukti-bukti yang kuat untuk mendukung adanya pelanggaran itu, serta menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka hal ini akan menjadi pelajaran yang beharga bagi pegawai lainnya. Dengan cara demikian maka poligami akan bisa diterapkan bagi pegawai negeri sipil sehingga akan menjadi contoh yang baik bagi masyarakat dalam ketaatan atas peraturan hukum, mengingat fungsinya sebagai aparatur Negara, abdi Negara dan abdi masyarakat.                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar