A. Pelaksanaan
Diskresi yang dimiliki oleh Polisi dalam Penyidikan di Polsekta Samarinda Ulu
Pemberian wewenang diskresi yang
biasanya berupa penyaringanpenyaringan perkara didalam proses biasanya
didasarkan pada peraturan perundang-undangan maupun atas dasar aspek
sosiologis. Terminologi diskresi di lembaga kepolisian disebut sebagai diskresi
kepolisian, biasanya berupa memaafkan, menasehati, penghentian penyidikan dan
lainnya. Pada tingkat penuntutan oleh jaksa adalah adanya wewenang jaksa untuk
mendeponir perkara yang biasa disebut dengan asas oportunitas, sedangkan pada
peradilan berupa keputusan hakim bebas, hukuman bersyarat, lepas dan denda.
Ditingkat pemasyarakatan berupa remisi atau pengurangan hukuman. Adanya penyaringanpenyaringan
perkara yang masuk didalam proses peradilan pidana merupakan realisasi dari
kebutuhan-kebutuhan praktis sistem peradilan pidana, asas dan tujuan sistem
peradilan pidana. Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa dalam kenyataanya
hukum tidak secara kaku diberlakukan kepada siapapun dalam
kondisi apapun seperti yang tercantum
dalam undang-undang. Berikut adalah data tentang perkara yang masuk pada proses
peradilan pidana pada saat penyidikan di Polsekta Samarinda Ulu .
Pelaksanaan diskresi kepolisian bagi
tiap personel polisi di Polsekta Samarinda Ulu berbeda-beda, hal ini
dikarenakan diskresi itu sendiri sangat situasional dan subyektif pada tiap
polisi. Artinya, penerapan dan pelaksanaan dari diskresi itu sendiri sangat
tergantung pada masalah yang dihadapi juga situasi dan kondisi yang ada di
lapangan yang dialami oleh polisi tersebut.
Tabel 1. Data hasil penyidikan
bulan April 2011
No
|
Penyidikan
|
Januari
2011
|
1
|
Jumlah perkara
|
34
|
2
|
Perkara yang
sudah selesai
|
22
|
2
|
Pemberitahuan
penyidikan kepada PU
|
6
|
3
|
Dihentikan
penyidikan
|
5
|
4
|
Yang telah
berwujud BAP dikirim kepada PU
|
1
|
5
|
BAP dikembalikan kepada
penyidik atau dilengkapi
|
1
|
6
|
BAP
diserahakan kembali ke PU
|
1
|
7
|
BAP yang tidak
/ belum kembali ke PU
|
5
|
Sumber data : Bagian Hukum
Polsekta Samarinda Ulu
Data tersebut menunjukkan kerjasama dalam proses
peradilan pidana, yaitu antara komponen kepolisian dengan kejaksaan. Disini
terlihat data perkara yang dihentikan oleh polisi dari bulan April 2011 yaitu 5
perkara. Berdasarakan hasil penelitian yang dilakukan penulis penghentian
perkara tersebut dikarenakan dihentikan demi hukum, adanya bukti-bukti kurang
kurang lengkap atau karena pertimbangan lain yang dapat dipertanggungjawabkan
dan dipahami oleh kejaksaan. Seleksi perkara dengan penghentian penyidikan oleh
polisi tersebut adalah suatu hal yang wajar dan memang menjadi wewenang polisi
terlebih apabila dilihat dari segi jumlah perkara yang ditangani atau jumlah
kejahatan dibandingkan dengan kemampuan petugas penyidik pada khususnnya dan komponen
sistem peradilan pidana pada umumnya. Sehingga diprioritaskan pada kasus-kasus
perkara yang berat sedangkan perkara yang ringan dapat diselesaikan ditingkat
penyidikan saja, sehingga tidak terjadi penumpukan perkara.
Sekalipun diskresi kepolisian bersifat situasional dan
subjektif, namun diskresi juga terdapat dasar hukumnya, sehingga bukan
asal-asalan saja. Dasar hukum tersebut dapat ditemukan dalan undang-undang
kepolisian baik yang lama maupun yang terbaru yaitu Undang-Undang No 2 tahun
2002 tentang kepolisian, khususnya pasal 18. Didalam KUHAP juga terdapat aturan
yang mengatur dan menyinggung tentang wewenang diskresi yang dimiliki oleh polisi
ini.
Diskresi sendiri ada bukan karena polisi ingin memiliki
kebebasan didalam bertindak, tapi memang undang-undang memberikan kesempatan pada
polisi untuk menyelesaikan masalah di lapangan yang terkadang tidak bisa untuk
diberlakukan aturan hukum secara kaku atau bahkan belum terdapat pengaturannya
sama sekali. Tentunya hal tersebut memerlukan suatu kebijaksanaan dari polisi
itu sendiri, karena jika sudah berada di lapangan terutama didalam menghadapi
situasi yang harus diselesaikan dengan segera maka akan sulit jika polisi
tersebut harus meminta pertimbangan dan pendapat terlebih dahulu kepada
pimpinanya yang tidak ikut serta di lapangan tersebut.
Sekalipun undang-undang memberikan kesempatan bagi
polisi untuk melakukan diskresi namun polisi sebagai penyidik di Polsekta
Samarinda Ulu tidak bisa bertindak sewenang-wenang tanpa batas. Terdapat
pengawasan dan pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan diskresi itu, dalam hal
ini pelaksanaan diskresi tidak boleh melampaui batas-batas yang ditentukan oleh
undang-undang, tidak boleh merugikan orang lain maupun pihak-pihak tertentu,
melampaui kewenangan atau menyalah gunakan wewenang yang dimilikinya. Pelaksaan
diskresi harus sesuai dengan kebijakan dari pimpinanan, kebijakan sosial dan kriminal.
Sekalipun sangat subyektif tetapi tidak boleh diskriminatif. Adanya diskresi
bertujuan demi kepentingan masyarakat yang lebih luas, jadi tidak dibenarkan
jika pelaksanaanya demi memperkaya dan menguntungkan diri sendiri. Dengan
demikian maka setiap keputusan terhadap diskresi dapat diminta untuk
pertanggungjawabannya.
Ketika penulis mengadakan penelitian di Polsekta
Samarinda Ulu, penulis mendapatkan data bahwa dalam praktek kepolisian,
diskresi dalam penyidikan bukanlah hal yang asing lagi, hal ini dengan berbagai
pertimbangan. Bapak Sairuddin, SH ( Waka
Bagian Hukum Polsekta Samarinda Ulu ) menyatakan bahwa: “Dalam hal ini didalam
melihat hukum pidana positif tidak harus begitu kaku, melainkan terdapat juga
berbagai kebijaksanaan, yang dalam terminologi polisi disebut sebagai diskresi.
Seperti penyampingan perkara, penghentian perkara pidana dalam penyidikan
selama dapat dipertanggungjawabkan dari sisi tugas kepolisian dan diskresi
adalah salah satu jalan keluarnya. Kebijaksanaan untuk menghentikan,
mengenyampingkan maupun menyelesaikan perkara ditingkat penyidikan didalam
menentukan diskresi tersebut terkadang terjadi ketidaksamaan kepentingan
kebijaksanaan, untuk mengabulkan permohonan perkara para pihak. Hal tesebut
dalam artian para pelaku dan korban berkeinginan agar perkara diselesaiakan
saja ditingkat penyidikan. Ketidaksamaan kepentingan kebijaksanaan tersebut
disebabkan karena cara-cara yang digunakan mungkin secara teoritis hukum dan
administrasi tidak dibenarkan, akan tetapi didalam kebutuhan praktek daperlukan
atau dapat ditempuh, meskipun secara kasuistis penangannya berbeda”.
Tabel 2. Daftar perkara pidana yang ada di
unit Reskrim Polsekta Samarinda Ulu pada bulan April 2011
Sat. Idik
|
Jml. Pkr
|
Dilimpahkan ke
Kjksn
|
Tdk ckp Bkt
|
Bkn Tp
|
Dihentikan
|
|||
Ne Bis In Idem
|
Tak Mati
|
Di Cbt
|
Kjd Biasa
|
|||||
Jit Koor
|
13
|
7
|
1
|
1
|
-
|
-
|
5
|
1
|
Harda
|
16
|
8
|
-
|
-
|
1
|
-
|
-
|
7
|
VC
|
5
|
1
|
-
|
-
|
-
|
1
|
-
|
-
|
Sumber data : Unit
Reskrim Polsekta Samarinda Ulu
Keterangan : Jit Koor :
Jiwa Tubuh dan Kehormatan
Harda : Harta Benda
VC : Vice Control ( seperti kasus judi, narkotika, dsb ).
Pelaksanaan diskresi pada saat penyidikan tentunya
mempunyai pola dan bentuk tersendiri yang dipengaruhi oleh kasus, keadaan
sosial, ekonomi dan budaya setempat, situasi dan kondisi maupun oleh perasaan
hukum petugas penyidik itu sendiri. Seperti penyelesaian perkara pidana pada
saat penyidikan yang diselesaikan secara adat kebiasaan yang hukum adatnya
sangat kuat, seperti kasus pencurian, pengeroyokan, perzinahan. Dalam hal ini
polisi hanya mengawasi dan mengkoordonasi serta memonitor untuk menghindari
sanksi-sanksi yang mungkin melampaui batasan hak asasi manusia dan kemanusiaan
serta hukum.
Menurut Bapak Aiptu
Heru Santoso ( Wakanit Reskrim Polsekta Samarinda Ulu ) bahwa : “ pada prinsipnya sebagai penyidik
akan melakukan tindakan penyidikan pada semua perkara pidana yang terjadi
didalam wilayahnnya. Namun, untuk proses selanjutnya polisi sering melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang berupa diskresi tersebut “.
Diskresi tadi akibat terlalu banyaknya perkara-perkara
ringan, kurang berarti, kurang efisien dan efektif, untuk itu apabila
perkara-perkara tersebut diproses tidak efisien sehingga menurut polisi cukup
diambil tindakan memaafkan, menasehati dan mendidik mereka. Tindakan yang
diambil oleh polisi sebagai penyidik tidak boleh bertentangan dengan agama,
kesusilaan, hukum dan kesopanan. Dalam kaitanya perkara yang demikian pihak
polisi menurut pasal 107 ayat (2) jo pasal 109 KUHAP, polisi selalu mengadakan kontak
dengan kejaksaan begitu perkaranya mulai disidik oleh penyidik, baru setelah
itu polisi mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Dari penelitian penulis di Polsekta Samarinda Ulu
terdapat beberapa perkara pidana yang tidak diproses walaupun semua perkara itu
merupakan tindak pidana, diantaranya adalah:
1. Petugas polisi menangkap
seorang pencuri penderita Kleptomania, tetapi polisi kemudian melepaskan pencuri
tersebut dikarenakan korban meminta dengan sangat kepada polisi agar pencuri
tersebut dilepaskan.
2. Dalam tindakan pencurian
ringan polisi bisa melepaskan pelakunya apabila pemilik barang yang dicuri
ternyata merelakan barang miliknya tersebut.
3. Penjualan barang-barang yang
mereknya dipalsukan oleh pedagang asongan walau dianggap pelanggaran, tatapi
petugas seringkali tidak menindaknya apabila jumlah yang beredar dimasnyarakat
sedikit dan tidak membahayakan.
4. Penghentian penyidikan
terhadap KDRT dikarenakan pihak keluarganya sepakat menyelesaikan secara damai
dan kekeluargaan.
5. Terhadap kasus anak dibawah
umur yang melakukan tindak pidana ringan atau dengan kerugian yang minim.
Dari contoh perkara diatas walau termasuk perbuatan
pidana tetapi seringkali dilakukan diskresi oleh penyidik dengan
dikesampingkan, karena perkara tersebut terlalu ringan, pihak yang dirugikan
tidak menuntut malah memaafkannya. Pengenyampingan perkara itu didasari oleh
kebutuhan praktek, bukan saja dipandang dari segi hukum semata, tetapi dari
kebutuhan sosial budaya setempat serta pembinaan dan bimbingan masyarakat. Bapak Aiptu Heru Santoso ( Wakanit Reskrim
Polsekta Samarinda Ulu ).
Ditinjau dari sudut Hak Asasi Manusia pelaksanaan
diskresi oleh polisi terkadang menemui pro dan kontra. Seperti diketahui
didalam hukum setiap manusia memiliki kedudukan yang sama dimata hukum, seperti
yang diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945. Namun seringkali demi
pencapaian keberhasilan penyidikan polisi harus melakukan pilihan-pilihan
terhadap kejahatan tertentu terutama yang dikategorikan sangat serius dan
mendapat sorotan dari masyarakat banyak untuk diselesaikan terlebih dahulu,
tentu saja hal tersebut terkesan terdapat unsur diskriminasi.
Dalam hal seperti itu penyidik menghargai dan
menjunjung tinggi aturan yang mengatur tentang hak asasi manusia didalam KUHP
dan undang-undang tentang kepolisian, namun jika aturan tersebut diterapkan apa
adanya dengan dalih menjunjung tinggi hak asasi manusia justru berakibat kasus
yang ditangani tidak kunjung selesai, jadi menurut responden tindakan penyidik
tetap mengutamakan demi kepentingan masyarakat yang lebih luas dan demi organisasi
kepolisian.
Pada masing-masing petugas polisi didalam memaknai hak
asasi manusia sangatlah beragam, pada umumnya dipengaruhi oleh pola hubungan
dengan sesama polisi didalam organisasi, pengalaman didalam kepolisian dan
lainnya. Pemaknaan polisi sebagai penyidik terhadap ketentuan yang mengatur
tentang hak asasi manusia biasanya tergantung dari arahan atau perintah
atasannya, serta kebiasaan yang ditempuh didalam organisasi, seperti masalah
diskriminasi diatas sebenarnya polisi sebagai penyidik juga mengetahui tentang
hal tersebut begitu pula dengan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik namun
dalam kenyataanya peran atasan sangat dominan. Dalam pelaksanaan penyidikan
oleh polisi dengan pemberian diskresi walau peran atasan sangat dominan, unsure-unsur
perlindungan terhadap hak asasi manusia juga menjadi perhatian
Peraturan yang Menjadi Dasar
Hukum Diskresi oleh Polisi
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan Bapak Sairuddin, SH ( Waka Bagian Polsekta
Samarinda Hukum Ulu ) diperoleh keterangan bahwa setiap anggota kepolisian
di Polsekta Samarinda Ulu ini memiliki hak untuk melaksanakan diskresi didalam
mencari penyelesaian permasalahan
demi kemanfaatan yang lebih luas bagi masyarakat.
Dijelaskan pula bahwa
diskresi sendiri pada intinya adalah suatu tindakan atau kebijaksanaan yang dilakukan
oleh anggota kepolisian dimana melawan atau bertentangan dengan aturan yang ada
dengan tujuan demi kepentingan umum yang lebih besar dan bermanfaat. Bagaimanapun
juga diskresi terkadang merupakan jalan keluar yang diambil akan tetapi sedikit
menyimpang dari aturan hukum yang telah ditetapkan. Namun, diskresi inilah
merupakan jalan keluar yang terkadang cukup membantu polisi sehingga
permasalahan menjadi lebih mudah. Tentunya polisi tidak begitu saja mengambil
inisiatif melakukan diskresi dengan alasan agar mudah melainkan diskresi itu
sendiri terdapat dasar yang membolehkan untuk dilakukan oleh polisi menurut
hukum.
Dari penuturan Bapak
Sairuddin, SH ( Waka Bagian Hukum Polsekta Samarinda Ulu ) bahwa peraturan
perundangan yang menjadi dasar diskresi oleh polisi itu adalah:
1. Undang - undang Nomer 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Dasar
pengaturan diskresi oleh polisi pada saat penyidikan diatur didalam Pasal 5 dan
Pasal 7
2. Undang - undang Nomor 2 tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dasar yang membolehkan
pelaksanaan diskresi oleh polisi menurut Undang - undang Nomor 2 Tahun 2002 ini
terdapat didalam Pasal 16 dan Pasal 18.
3. Hukum tidak tertulis yang
berlaku didalam masyarakat.
Hukum tidak tertulis yang menjadi dasar diskresi ini menurut responden
seperti adat kebiasaan serta kebudayaan yang berlaku di masyarakat dan tidak
betentangan dengan hukum positif. Dihubungkan dengan pelaksanaan tugas–tugas
kepolisian, didalam menyelesaikan persoalan-persoalam hukum di masyarakat
sering dapat diselesaikan berdasar hukum tidak tertulis yang berupa hukum adat,
dan dalam kaitannya dengan hukum adat tersebut yang dapat dijadikan pedoman adalah
adat kebiasaan yang ada di masyarakat yang sesuai atau tidak bertentangan
dengan hukum positif yang ada, mempunyai tujuan mempertahankan keamanan dan
ketertiban didalam masyarakat serta tidak merugikan hak-hak orang lain.
Begitu pula penyelesaian perkara-perkara atau mengenyampingkan perkara-perkara
pidana yang serba ringan berdasarkan kebiasaan praktek atau hukum tidak
tertulis itu biasanya ditempuh dikarenakan apabila dipaksakan berlakunya hukum
pidana justru akan menimbulkan permasalahan baru, sehingga adat kebiasaanlah
yang dipakai dalam menyelesaikan suatu perkara, karena bagaimanapun juga hal
itu dirasa lebih praktis dan lebih murah daripada diselesaikan lewat sistem
peradilan pidana. Misalnya saja ditempuh dengan upaya kekeluargaan yang dirasa
bisa menyelesaikan masalah tanpa menjadikan hubungan yang ada dimasyarakat tadi
menjadi renggang atau pecah.
4. Pendapat para ahli hukum yang
sesuai dan yurisprudensi. Pendapat para ahli hukum ini dijadikan sebagai dasar
pemikiran atau untuk menambah wawasan yang lebih luas mengenai segala sesuatu
yang berkaitan dengan diskresi kepolisian, sehingga kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang diambil oleh penyidik nantinya mempunyai landasan atau alasan yang kuat
B. Faktor - faktor yang Mendorong dan Menghambat Diskresi dalam Penyidikan
di Polsekta Samarinda Ulu
Dalam hal penyidikan diskresi bukanlah hal yang asing
lagi di kalangan polisi. Karena pelaksanaan dari wewenang diskresi yang
dimiliki oleh polisi pada saat penyidikan seringkali dilakukan ketika polisi
dihadapkan pada masalah-masalah yang ringan, kurang efisien jika diproses,
menuntut untuk diselesaikan dengan segera dan sebagainya. Manfaat dari adanya
diskresi ini menjadikan pelaksanaan kerja dari polisi menjadi lebih efisien dan
efektif, hal ini mengingat keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh
polisi didalam lembaganya.
Sekalipun hanya wewenang diskresi namun ternyata
diskresi ini besar sekali pengaruhnya didalam komponen sistem peradilan pidana
lainnya. Diskresi sendiri ada pada saat penyidikan terdapat faktor-faktor yang melatarbelakanginya.
Dalam melakukan proses penyidikan, para penyidik dari Unit Reskrim Polsekta
Samarinda Ulu seringkali didukung oleh faktor-faktor tertentu, namun disamping
itu para penyidik seringkali menemukan kendala.
Dukungan dan kendala itu berasal dari internal maupun
dari eksternal. Demikian juga dalam pelaksanaan dari wewenang diskresi oleh
polisi pada saat penyidikan di Polsekta Samarinda Ulu juga terdapat dukungan
dan kendalanya.
Beberapa faktor yang mendorong penyidik dalam menggunakan wewenang
diskresinya pada saat penyidikan tindak pidana di Polsekta Samarinda Ulu
adalah:
1. Faktor
Internal
a. Substansi
undang-undang yang memadai.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mencantumkan kewenangan diskresi,
sekalipun tidak mengatur secara rinci tapi setidaknya telah bisa mengatur dan menjembatani
permasalahan yang ada di masyarakat.
Sehingga batasan mana yang boleh dilakukan dan mana
yang tidak boleh dilakukan dapat dengan mudah untuk dipahami. Begitu pula
tentang aturan diskresi, sekalipun hanya termuat dakan 2 pasal saja yaitu dalam
pasal 16 dan 18 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 akan tetapi telah menyebutkan
dengan jelas bahwa polisi diperbolehkan oleh undang-undang untuk melakukan
diskresi pada tugas-tugasnya, tentunya dengan catatan harus mengingat dan
melihat situasi dan kondisi yang terjadi dilapangan.(Hasil wawancara dengan Bapak Sairuddin, SH ( Waka Bagian Hukum
Polsekta Samarinda Ulu ).
b. Instruksi
dari pihak atasan.
Instruksi dari pihak atasan sangat membantu bagi para
penyidik dalam melakukan tugasnya. Hal ini senada dengan yang dikatakan Bapak Aiptu Heru Santoso ( Wakanit Reskrim
Polsekta Samarinda Ulu ). Bahwa: “ sekalipun tugas penyidik yang dilakukan oleh
penyidik berdasarkan sumpah jabatan, karena memang kewajibannya dan tuntutan
profesionalisme kerja, tetapi terkadang masih mendapat petunjuk maupun
instruksi pemecahan masalah dari atasan atau pimpinan secara langsung berupa
perintah. Tentunya dalam hal ini pimpinan dianggap lebih tahu dan berpengalaman
serta lebih berwenang dibandingkan dengan bawahan. Instruksi dari atasan untuk
memproses atau melanjutkan penyidikan ataupun diambil jalan diskresi yang terkadang
berupa memaafkan, menasehati, ataupun menghentikan penyidikan akan dipatuhi dan
dilaksanakan oleh penyidik yang bersangkutan”.
c. Faktor
petugas penyidik.
Peran dan kedudukan polisi sebagai seorang penyidik
telah memberikan wewenang pada polisi tersebut untuk melakukan diskresi sesuai
yang telah diatur oleh undang-undang sehingga petugas penyidik tersebut dapat mempergunakan
diskresi dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini juga dapat menjadi faktor
pendorong diskresi, karena penyidik tersebut memang telah memiliki wewenang
untuk melakukan diskresi.
d. Faktor
fasilitas.
Di Polsekta Samarinda Ulu memiliki fasilitas seperti
struktur organisasi yang baik dan fasilitas lainnya yang mendukung sehingga
mekanisme kerjanya bisa berjalan professional dan efektif. Lingkungan kerja dan
komunikasi antar sesama penyidik maupun dengan petugas polisi lainnya sangat
kondusif, sehingga koordinasi kerja penyidikmenjadi baik, tentu saja hal ini
mempermudah ruang gerak wewenang diskresi itu sendiri pada saat penyidikan
(Hasil wawancara dengan Bapak Heru
Santoso ( Wakanit Reskrim Polsekta Samarinda Ulu ).
2. Faktor
eksternal.
Dukungan dari tokoh masyarakat dalam hal ini datang
dari para pengacara. Dalam melakukan penyidikan pihak pemeriksa dari Polsekta
Samarinda Ulu selalu memberikan kesempatan bagi para pelaku tindak pidana untuk
didampingi pengacara. Namun, jika tersangka tersebut tidak mampu untuk
mendatangkan pengacara pribadi, padahal tersangka tersebut membutuhkan
didampingi pengacara, maka pihak pemeriksa Polsekta Samarinda Ulu akan membantu
mendatangkan pengacara untuk mendampinginya dengan cara menunjuk pengacara yang
telah menjadi langganan tentunya tidak dipungut biaya. Salah satu peran
pengacara disini adalah membantu tersangka mengungkapkan secara jujur tanpa
berbelit-belit sehingga hal ini akan memudahkan proses penyidikan. Apabila
tersangka mempermudah proses penyidikan, maka penyidikpun juga akan mempermudah
jalan keluar untuk permasalahan tersebut yaitu dengan diskresi salah satunya, terlebih
apabila ada permintaan yang sangat dari tersangka dan pengacaranya tersebut.
Adapun faktor yang menghambat penyidik untuk melakukan diskresi pada
saat penyidikan di Polsekta Samarinda Ulu :
1. Faktor
internal.
a. Kurang
optimalnya profesionalitas dan keahlian polisi.
Di Polsekta Samarinda Ulu masih membutuhkan lagi
tambahan polisi yang berkualitas untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas
penyidikan yang mengalami hambatan karena masih sedikitnya penyidik yang
benar-benar memiliki profesionalitas kerja yang baik. Profesionalitas dan
keahlian polisi yang kurang optimal tersebut membawa akibat dalam pemberian diskresi
oleh penyidik tidak tepat sesuai dengan yang diharapkan, artinya perkara yang
seharusnya didiskresikan malah tidak didiskresikan sedangkan yang tidak
didiskresikan justru oleh polisi diberi diskresi, karena persepsi polisi yang
keliru.
b. Oknum
aparat.
Oknum aparat dapat menentukan baik buruknya kualitas
diskresi. Adanya penyidik yang mudah disuap, diperdaya maupun diajak kerjasama
dengan alasan masih rendahnya kesejahteraan polisi menjadikan kualitas diskresi
rendah. Hal ini dikarenakan diskresi diberikan bukan karena tuntutan hukum akan
tetapi lebih berorientasi pada tuntutan pribadi penyidik itu sendiri untuk
kepentingan dan keuntungan pribadinya ( Hasil wawancar dengan Bapak Sairuddin, SH ( Waka Bagian Hukum
Polsekta Samarinda Ulu ).
c. Terhadap
perkara yang apabila SPDP ( Surat Pemberitauan Dimulainya Penyidikan ) telah
dikirim dan diterima Jaksa Penuntut Umum, maka diskresi tidak dapat diberikan
meskipun tuntutannya telah dicabut dan diambil penyelesaian damai tetapi
perkara tersebut akan tetap diproses. ( Hasil wawancar dengan Bapak Heru Santoso ( Wakanit Reskrim
Polsekta Samarinda Ulu ).
2. Faktor
eksternal.
Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap diskresi. Menurut responden
ketika penggalian data maka kurangnya partisipasi masyarakat terhadap
kepolisian juga menjadikan kerja polisi sedikit berat. Demikian juga pada saat
penyidikan, karena masyarakat mempunyai peran dalam memberikan informasi yang
dibutuhkan oleh polisi. Apabila informasi yang dimiliki polisi sedikit maka
pertimbangan untuk melakukan diskresi juga malah memakan waktu yang lebih lama.
Selain hal itu, setiap tindakan polisi yang berupa diskresi ditangkap oleh masyarakat
sebagai suatu tindakan yang buruk. Masyarakat menganggap diskresi sebagai suatu
tindakan penyimpangan hukum yang salah (Hasil wawancara dengan Bapak Sairuddin, SH ( Waka Bagian Hukum
Polsekta Samarinda Ulu ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar