Selasa, 05 Januari 2016

Pelaksanaan Diskresi yang dimiliki oleh Polisi dalam Penyidikan di Polsekta Samarinda Ulu



A.  Pelaksanaan Diskresi yang dimiliki oleh Polisi dalam Penyidikan di Polsekta Samarinda Ulu

Pemberian wewenang diskresi yang biasanya berupa penyaringanpenyaringan perkara didalam proses biasanya didasarkan pada peraturan perundang-undangan maupun atas dasar aspek sosiologis. Terminologi diskresi di lembaga kepolisian disebut sebagai diskresi kepolisian, biasanya berupa memaafkan, menasehati, penghentian penyidikan dan lainnya. Pada tingkat penuntutan oleh jaksa adalah adanya wewenang jaksa untuk mendeponir perkara yang biasa disebut dengan asas oportunitas, sedangkan pada peradilan berupa keputusan hakim bebas, hukuman bersyarat, lepas dan denda. Ditingkat pemasyarakatan berupa remisi atau pengurangan hukuman. Adanya penyaringanpenyaringan perkara yang masuk didalam proses peradilan pidana merupakan realisasi dari kebutuhan-kebutuhan praktis sistem peradilan pidana, asas dan tujuan sistem peradilan pidana. Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa dalam kenyataanya hukum tidak secara kaku diberlakukan kepada siapapun dalam
kondisi apapun seperti yang tercantum dalam undang-undang. Berikut adalah data tentang perkara yang masuk pada proses peradilan pidana pada saat penyidikan di Polsekta Samarinda Ulu .
Pelaksanaan diskresi kepolisian bagi tiap personel polisi di Polsekta Samarinda Ulu berbeda-beda, hal ini dikarenakan diskresi itu sendiri sangat situasional dan subyektif pada tiap polisi. Artinya, penerapan dan pelaksanaan dari diskresi itu sendiri sangat tergantung pada masalah yang dihadapi juga situasi dan kondisi yang ada di lapangan yang dialami oleh polisi tersebut.

Tabel 1. Data hasil penyidikan bulan April 2011
No
Penyidikan
Januari
2011
1
Jumlah perkara
34
2
Perkara yang sudah selesai
22
2
Pemberitahuan penyidikan kepada PU
6
3
Dihentikan penyidikan
5
4
Yang telah berwujud BAP dikirim kepada PU
1
5
BAP dikembalikan kepada penyidik atau dilengkapi
1
6
BAP diserahakan kembali ke PU
1
7
BAP yang tidak / belum kembali ke PU
5
Sumber data : Bagian Hukum  Polsekta Samarinda Ulu
Data tersebut menunjukkan kerjasama dalam proses peradilan pidana, yaitu antara komponen kepolisian dengan kejaksaan. Disini terlihat data perkara yang dihentikan oleh polisi dari bulan April 2011 yaitu 5 perkara. Berdasarakan hasil penelitian yang dilakukan penulis penghentian perkara tersebut dikarenakan dihentikan demi hukum, adanya bukti-bukti kurang kurang lengkap atau karena pertimbangan lain yang dapat dipertanggungjawabkan dan dipahami oleh kejaksaan. Seleksi perkara dengan penghentian penyidikan oleh polisi tersebut adalah suatu hal yang wajar dan memang menjadi wewenang polisi terlebih apabila dilihat dari segi jumlah perkara yang ditangani atau jumlah kejahatan dibandingkan dengan kemampuan petugas penyidik pada khususnnya dan komponen sistem peradilan pidana pada umumnya. Sehingga diprioritaskan pada kasus-kasus perkara yang berat sedangkan perkara yang ringan dapat diselesaikan ditingkat penyidikan saja, sehingga tidak terjadi penumpukan perkara.
Sekalipun diskresi kepolisian bersifat situasional dan subjektif, namun diskresi juga terdapat dasar hukumnya, sehingga bukan asal-asalan saja. Dasar hukum tersebut dapat ditemukan dalan undang-undang kepolisian baik yang lama maupun yang terbaru yaitu Undang-Undang No 2 tahun 2002 tentang kepolisian, khususnya pasal 18. Didalam KUHAP juga terdapat aturan yang mengatur dan menyinggung tentang wewenang diskresi yang dimiliki oleh polisi ini.
Diskresi sendiri ada bukan karena polisi ingin memiliki kebebasan didalam bertindak, tapi memang undang-undang memberikan kesempatan pada polisi untuk menyelesaikan masalah di lapangan yang terkadang tidak bisa untuk diberlakukan aturan hukum secara kaku atau bahkan belum terdapat pengaturannya sama sekali. Tentunya hal tersebut memerlukan suatu kebijaksanaan dari polisi itu sendiri, karena jika sudah berada di lapangan terutama didalam menghadapi situasi yang harus diselesaikan dengan segera maka akan sulit jika polisi tersebut harus meminta pertimbangan dan pendapat terlebih dahulu kepada pimpinanya yang tidak ikut serta di lapangan tersebut.
Sekalipun undang-undang memberikan kesempatan bagi polisi untuk melakukan diskresi namun polisi sebagai penyidik di Polsekta Samarinda Ulu tidak bisa bertindak sewenang-wenang tanpa batas. Terdapat pengawasan dan pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan diskresi itu, dalam hal ini pelaksanaan diskresi tidak boleh melampaui batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, tidak boleh merugikan orang lain maupun pihak-pihak tertentu, melampaui kewenangan atau menyalah gunakan wewenang yang dimilikinya. Pelaksaan diskresi harus sesuai dengan kebijakan dari pimpinanan, kebijakan sosial dan kriminal. Sekalipun sangat subyektif tetapi tidak boleh diskriminatif. Adanya diskresi bertujuan demi kepentingan masyarakat yang lebih luas, jadi tidak dibenarkan jika pelaksanaanya demi memperkaya dan menguntungkan diri sendiri. Dengan demikian maka setiap keputusan terhadap diskresi dapat diminta untuk pertanggungjawabannya.
Ketika penulis mengadakan penelitian di Polsekta Samarinda Ulu, penulis mendapatkan data bahwa dalam praktek kepolisian, diskresi dalam penyidikan bukanlah hal yang asing lagi, hal ini dengan berbagai pertimbangan. Bapak Sairuddin, SH ( Waka Bagian Hukum Polsekta Samarinda Ulu ) menyatakan bahwa: “Dalam hal ini didalam melihat hukum pidana positif tidak harus begitu kaku, melainkan terdapat juga berbagai kebijaksanaan, yang dalam terminologi polisi disebut sebagai diskresi. Seperti penyampingan perkara, penghentian perkara pidana dalam penyidikan selama dapat dipertanggungjawabkan dari sisi tugas kepolisian dan diskresi adalah salah satu jalan keluarnya. Kebijaksanaan untuk menghentikan, mengenyampingkan maupun menyelesaikan perkara ditingkat penyidikan didalam menentukan diskresi tersebut terkadang terjadi ketidaksamaan kepentingan kebijaksanaan, untuk mengabulkan permohonan perkara para pihak. Hal tesebut dalam artian para pelaku dan korban berkeinginan agar perkara diselesaiakan saja ditingkat penyidikan. Ketidaksamaan kepentingan kebijaksanaan tersebut disebabkan karena cara-cara yang digunakan mungkin secara teoritis hukum dan administrasi tidak dibenarkan, akan tetapi didalam kebutuhan praktek daperlukan atau dapat ditempuh, meskipun secara kasuistis penangannya berbeda”.

Tabel 2. Daftar perkara pidana yang ada di unit Reskrim Polsekta Samarinda Ulu pada bulan April 2011
Sat. Idik
Jml. Pkr
Dilimpahkan ke Kjksn
Tdk ckp Bkt
Bkn Tp
Dihentikan





Ne Bis In Idem
Tak Mati
Di Cbt
Kjd Biasa
Jit Koor
13
7
1
1
-
-
5
1
Harda
16
8
-
-
1
-
-
7
VC
5
1
-
-
-
1
-
-
Sumber data : Unit Reskrim Polsekta Samarinda Ulu
Keterangan   :   Jit Koor              : Jiwa Tubuh dan Kehormatan
                            Harda                : Harta Benda
                            VC                      : Vice Control ( seperti kasus judi, narkotika, dsb ).

Pelaksanaan diskresi pada saat penyidikan tentunya mempunyai pola dan bentuk tersendiri yang dipengaruhi oleh kasus, keadaan sosial, ekonomi dan budaya setempat, situasi dan kondisi maupun oleh perasaan hukum petugas penyidik itu sendiri. Seperti penyelesaian perkara pidana pada saat penyidikan yang diselesaikan secara adat kebiasaan yang hukum adatnya sangat kuat, seperti kasus pencurian, pengeroyokan, perzinahan. Dalam hal ini polisi hanya mengawasi dan mengkoordonasi serta memonitor untuk menghindari sanksi-sanksi yang mungkin melampaui batasan hak asasi manusia dan kemanusiaan serta hukum.
Menurut Bapak Aiptu Heru Santoso ( Wakanit Reskrim Polsekta Samarinda Ulu )   bahwa : “ pada prinsipnya sebagai penyidik akan melakukan tindakan penyidikan pada semua perkara pidana yang terjadi didalam wilayahnnya. Namun, untuk proses selanjutnya polisi sering melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berupa diskresi tersebut “.
Diskresi tadi akibat terlalu banyaknya perkara-perkara ringan, kurang berarti, kurang efisien dan efektif, untuk itu apabila perkara-perkara tersebut diproses tidak efisien sehingga menurut polisi cukup diambil tindakan memaafkan, menasehati dan mendidik mereka. Tindakan yang diambil oleh polisi sebagai penyidik tidak boleh bertentangan dengan agama, kesusilaan, hukum dan kesopanan. Dalam kaitanya perkara yang demikian pihak polisi menurut pasal 107 ayat (2) jo pasal 109 KUHAP, polisi selalu mengadakan kontak dengan kejaksaan begitu perkaranya mulai disidik oleh penyidik, baru setelah itu polisi mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Dari penelitian penulis di Polsekta Samarinda Ulu terdapat beberapa perkara pidana yang tidak diproses walaupun semua perkara itu merupakan tindak pidana, diantaranya adalah:
1.   Petugas polisi menangkap seorang pencuri penderita Kleptomania, tetapi polisi kemudian melepaskan pencuri tersebut dikarenakan korban meminta dengan sangat kepada polisi agar pencuri tersebut dilepaskan.
2.   Dalam tindakan pencurian ringan polisi bisa melepaskan pelakunya apabila pemilik barang yang dicuri ternyata merelakan barang miliknya tersebut.
3.   Penjualan barang-barang yang mereknya dipalsukan oleh pedagang asongan walau dianggap pelanggaran, tatapi petugas seringkali tidak menindaknya apabila jumlah yang beredar dimasnyarakat sedikit dan tidak membahayakan.
4.   Penghentian penyidikan terhadap KDRT dikarenakan pihak keluarganya sepakat menyelesaikan secara damai dan kekeluargaan.
5.   Terhadap kasus anak dibawah umur yang melakukan tindak pidana ringan atau dengan kerugian yang minim.

Dari contoh perkara diatas walau termasuk perbuatan pidana tetapi seringkali dilakukan diskresi oleh penyidik dengan dikesampingkan, karena perkara tersebut terlalu ringan, pihak yang dirugikan tidak menuntut malah memaafkannya. Pengenyampingan perkara itu didasari oleh kebutuhan praktek, bukan saja dipandang dari segi hukum semata, tetapi dari kebutuhan sosial budaya setempat serta pembinaan dan bimbingan masyarakat. Bapak Aiptu Heru Santoso ( Wakanit Reskrim Polsekta Samarinda Ulu ).
Ditinjau dari sudut Hak Asasi Manusia pelaksanaan diskresi oleh polisi terkadang menemui pro dan kontra. Seperti diketahui didalam hukum setiap manusia memiliki kedudukan yang sama dimata hukum, seperti yang diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945. Namun seringkali demi pencapaian keberhasilan penyidikan polisi harus melakukan pilihan-pilihan terhadap kejahatan tertentu terutama yang dikategorikan sangat serius dan mendapat sorotan dari masyarakat banyak untuk diselesaikan terlebih dahulu, tentu saja hal tersebut terkesan terdapat unsur diskriminasi.
Dalam hal seperti itu penyidik menghargai dan menjunjung tinggi aturan yang mengatur tentang hak asasi manusia didalam KUHP dan undang-undang tentang kepolisian, namun jika aturan tersebut diterapkan apa adanya dengan dalih menjunjung tinggi hak asasi manusia justru berakibat kasus yang ditangani tidak kunjung selesai, jadi menurut responden tindakan penyidik tetap mengutamakan demi kepentingan masyarakat yang lebih luas dan demi organisasi kepolisian.
Pada masing-masing petugas polisi didalam memaknai hak asasi manusia sangatlah beragam, pada umumnya dipengaruhi oleh pola hubungan dengan sesama polisi didalam organisasi, pengalaman didalam kepolisian dan lainnya. Pemaknaan polisi sebagai penyidik terhadap ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia biasanya tergantung dari arahan atau perintah atasannya, serta kebiasaan yang ditempuh didalam organisasi, seperti masalah diskriminasi diatas sebenarnya polisi sebagai penyidik juga mengetahui tentang hal tersebut begitu pula dengan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik namun dalam kenyataanya peran atasan sangat dominan. Dalam pelaksanaan penyidikan oleh polisi dengan pemberian diskresi walau peran atasan sangat dominan, unsure-unsur perlindungan terhadap hak asasi manusia juga menjadi perhatian

Peraturan yang Menjadi Dasar Hukum Diskresi oleh Polisi
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan Bapak Sairuddin, SH ( Waka Bagian Polsekta Samarinda Hukum Ulu ) diperoleh keterangan bahwa setiap anggota kepolisian di Polsekta Samarinda Ulu ini memiliki hak untuk melaksanakan diskresi didalam mencari penyelesaian permasalahan demi kemanfaatan yang lebih luas bagi masyarakat.
Dijelaskan pula bahwa diskresi sendiri pada intinya adalah suatu tindakan atau kebijaksanaan yang dilakukan oleh anggota kepolisian dimana melawan atau bertentangan dengan aturan yang ada dengan tujuan demi kepentingan umum yang lebih besar dan bermanfaat. Bagaimanapun juga diskresi terkadang merupakan jalan keluar yang diambil akan tetapi sedikit menyimpang dari aturan hukum yang telah ditetapkan. Namun, diskresi inilah merupakan jalan keluar yang terkadang cukup membantu polisi sehingga permasalahan menjadi lebih mudah. Tentunya polisi tidak begitu saja mengambil inisiatif melakukan diskresi dengan alasan agar mudah melainkan diskresi itu sendiri terdapat dasar yang membolehkan untuk dilakukan oleh polisi menurut hukum.
Dari penuturan Bapak Sairuddin, SH ( Waka Bagian Hukum Polsekta Samarinda Ulu ) bahwa peraturan perundangan yang menjadi dasar diskresi oleh polisi itu adalah:
1.   Undang -  undang Nomer 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Dasar pengaturan diskresi oleh polisi pada saat penyidikan diatur didalam Pasal 5 dan Pasal 7
2.   Undang - undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dasar yang membolehkan pelaksanaan diskresi oleh polisi menurut Undang - undang Nomor 2 Tahun 2002 ini terdapat didalam Pasal 16 dan Pasal 18.
3.   Hukum tidak tertulis yang berlaku didalam masyarakat.
Hukum tidak tertulis yang menjadi dasar diskresi ini menurut responden seperti adat kebiasaan serta kebudayaan yang berlaku di masyarakat dan tidak betentangan dengan hukum positif. Dihubungkan dengan pelaksanaan tugas–tugas kepolisian, didalam menyelesaikan persoalan-persoalam hukum di masyarakat sering dapat diselesaikan berdasar hukum tidak tertulis yang berupa hukum adat, dan dalam kaitannya dengan hukum adat tersebut yang dapat dijadikan pedoman adalah adat kebiasaan yang ada di masyarakat yang sesuai atau tidak bertentangan dengan hukum positif yang ada, mempunyai tujuan mempertahankan keamanan dan ketertiban didalam masyarakat serta tidak merugikan hak-hak orang lain.
Begitu pula penyelesaian perkara-perkara atau mengenyampingkan perkara-perkara pidana yang serba ringan berdasarkan kebiasaan praktek atau hukum tidak tertulis itu biasanya ditempuh dikarenakan apabila dipaksakan berlakunya hukum pidana justru akan menimbulkan permasalahan baru, sehingga adat kebiasaanlah yang dipakai dalam menyelesaikan suatu perkara, karena bagaimanapun juga hal itu dirasa lebih praktis dan lebih murah daripada diselesaikan lewat sistem peradilan pidana. Misalnya saja ditempuh dengan upaya kekeluargaan yang dirasa bisa menyelesaikan masalah tanpa menjadikan hubungan yang ada dimasyarakat tadi menjadi renggang atau pecah.
4.   Pendapat para ahli hukum yang sesuai dan yurisprudensi. Pendapat para ahli hukum ini dijadikan sebagai dasar pemikiran atau untuk menambah wawasan yang lebih luas mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan diskresi kepolisian, sehingga kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil oleh penyidik nantinya mempunyai landasan atau alasan yang kuat


B.  Faktor - faktor yang Mendorong dan Menghambat Diskresi dalam Penyidikan di Polsekta Samarinda Ulu
Dalam hal penyidikan diskresi bukanlah hal yang asing lagi di kalangan polisi. Karena pelaksanaan dari wewenang diskresi yang dimiliki oleh polisi pada saat penyidikan seringkali dilakukan ketika polisi dihadapkan pada masalah-masalah yang ringan, kurang efisien jika diproses, menuntut untuk diselesaikan dengan segera dan sebagainya. Manfaat dari adanya diskresi ini menjadikan pelaksanaan kerja dari polisi menjadi lebih efisien dan efektif, hal ini mengingat keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh polisi didalam lembaganya.
Sekalipun hanya wewenang diskresi namun ternyata diskresi ini besar sekali pengaruhnya didalam komponen sistem peradilan pidana lainnya. Diskresi sendiri ada pada saat penyidikan terdapat faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Dalam melakukan proses penyidikan, para penyidik dari Unit Reskrim Polsekta Samarinda Ulu seringkali didukung oleh faktor-faktor tertentu, namun disamping itu para penyidik seringkali menemukan kendala.
Dukungan dan kendala itu berasal dari internal maupun dari eksternal. Demikian juga dalam pelaksanaan dari wewenang diskresi oleh polisi pada saat penyidikan di Polsekta Samarinda Ulu juga terdapat dukungan dan kendalanya.
Beberapa faktor yang mendorong penyidik dalam menggunakan wewenang diskresinya pada saat penyidikan tindak pidana di Polsekta Samarinda Ulu adalah:

1.   Faktor Internal
a.   Substansi undang-undang yang memadai.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mencantumkan kewenangan diskresi, sekalipun tidak mengatur secara rinci tapi setidaknya telah bisa mengatur dan menjembatani permasalahan yang ada di masyarakat.
Sehingga batasan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan dapat dengan mudah untuk dipahami. Begitu pula tentang aturan diskresi, sekalipun hanya termuat dakan 2 pasal saja yaitu dalam pasal 16 dan 18 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 akan tetapi telah menyebutkan dengan jelas bahwa polisi diperbolehkan oleh undang-undang untuk melakukan diskresi pada tugas-tugasnya, tentunya dengan catatan harus mengingat dan melihat situasi dan kondisi yang terjadi dilapangan.(Hasil wawancara dengan Bapak Sairuddin, SH ( Waka Bagian Hukum Polsekta Samarinda Ulu ).
b.   Instruksi dari pihak atasan.
Instruksi dari pihak atasan sangat membantu bagi para penyidik dalam melakukan tugasnya. Hal ini senada dengan yang dikatakan Bapak Aiptu Heru Santoso ( Wakanit Reskrim Polsekta Samarinda Ulu ). Bahwa: “ sekalipun tugas penyidik yang dilakukan oleh penyidik berdasarkan sumpah jabatan, karena memang kewajibannya dan tuntutan profesionalisme kerja, tetapi terkadang masih mendapat petunjuk maupun instruksi pemecahan masalah dari atasan atau pimpinan secara langsung berupa perintah. Tentunya dalam hal ini pimpinan dianggap lebih tahu dan berpengalaman serta lebih berwenang dibandingkan dengan bawahan. Instruksi dari atasan untuk memproses atau melanjutkan penyidikan ataupun diambil jalan diskresi yang terkadang berupa memaafkan, menasehati, ataupun menghentikan penyidikan akan dipatuhi dan dilaksanakan oleh penyidik yang bersangkutan”.
c.   Faktor petugas penyidik.
Peran dan kedudukan polisi sebagai seorang penyidik telah memberikan wewenang pada polisi tersebut untuk melakukan diskresi sesuai yang telah diatur oleh undang-undang sehingga petugas penyidik tersebut dapat mempergunakan diskresi dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini juga dapat menjadi faktor pendorong diskresi, karena penyidik tersebut memang telah memiliki wewenang untuk melakukan diskresi.
d.   Faktor fasilitas.
Di Polsekta Samarinda Ulu memiliki fasilitas seperti struktur organisasi yang baik dan fasilitas lainnya yang mendukung sehingga mekanisme kerjanya bisa berjalan professional dan efektif. Lingkungan kerja dan komunikasi antar sesama penyidik maupun dengan petugas polisi lainnya sangat kondusif, sehingga koordinasi kerja penyidikmenjadi baik, tentu saja hal ini mempermudah ruang gerak wewenang diskresi itu sendiri pada saat penyidikan (Hasil wawancara dengan Bapak Heru Santoso ( Wakanit Reskrim Polsekta Samarinda Ulu ).

2.   Faktor eksternal.
Dukungan dari tokoh masyarakat dalam hal ini datang dari para pengacara. Dalam melakukan penyidikan pihak pemeriksa dari Polsekta Samarinda Ulu selalu memberikan kesempatan bagi para pelaku tindak pidana untuk didampingi pengacara. Namun, jika tersangka tersebut tidak mampu untuk mendatangkan pengacara pribadi, padahal tersangka tersebut membutuhkan didampingi pengacara, maka pihak pemeriksa Polsekta Samarinda Ulu akan membantu mendatangkan pengacara untuk mendampinginya dengan cara menunjuk pengacara yang telah menjadi langganan tentunya tidak dipungut biaya. Salah satu peran pengacara disini adalah membantu tersangka mengungkapkan secara jujur tanpa berbelit-belit sehingga hal ini akan memudahkan proses penyidikan. Apabila tersangka mempermudah proses penyidikan, maka penyidikpun juga akan mempermudah jalan keluar untuk permasalahan tersebut yaitu dengan diskresi salah satunya, terlebih apabila ada permintaan yang sangat dari tersangka dan pengacaranya tersebut.
Adapun faktor yang menghambat penyidik untuk melakukan diskresi pada saat penyidikan di Polsekta Samarinda Ulu :

1.   Faktor internal.
a.   Kurang optimalnya profesionalitas dan keahlian polisi.
Di Polsekta Samarinda Ulu masih membutuhkan lagi tambahan polisi yang berkualitas untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas penyidikan yang mengalami hambatan karena masih sedikitnya penyidik yang benar-benar memiliki profesionalitas kerja yang baik. Profesionalitas dan keahlian polisi yang kurang optimal tersebut membawa akibat dalam pemberian diskresi oleh penyidik tidak tepat sesuai dengan yang diharapkan, artinya perkara yang seharusnya didiskresikan malah tidak didiskresikan sedangkan yang tidak didiskresikan justru oleh polisi diberi diskresi, karena persepsi polisi yang keliru.
b.   Oknum aparat.
Oknum aparat dapat menentukan baik buruknya kualitas diskresi. Adanya penyidik yang mudah disuap, diperdaya maupun diajak kerjasama dengan alasan masih rendahnya kesejahteraan polisi menjadikan kualitas diskresi rendah. Hal ini dikarenakan diskresi diberikan bukan karena tuntutan hukum akan tetapi lebih berorientasi pada tuntutan pribadi penyidik itu sendiri untuk kepentingan dan keuntungan pribadinya ( Hasil wawancar dengan Bapak Sairuddin, SH ( Waka Bagian Hukum Polsekta Samarinda Ulu ).
c.   Terhadap perkara yang apabila SPDP ( Surat Pemberitauan Dimulainya Penyidikan ) telah dikirim dan diterima Jaksa Penuntut Umum, maka diskresi tidak dapat diberikan meskipun tuntutannya telah dicabut dan diambil penyelesaian damai tetapi perkara tersebut akan tetap diproses. ( Hasil wawancar dengan Bapak Heru Santoso ( Wakanit Reskrim Polsekta Samarinda Ulu ).

2.   Faktor eksternal.
Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap diskresi. Menurut responden ketika penggalian data maka kurangnya partisipasi masyarakat terhadap kepolisian juga menjadikan kerja polisi sedikit berat. Demikian juga pada saat penyidikan, karena masyarakat mempunyai peran dalam memberikan informasi yang dibutuhkan oleh polisi. Apabila informasi yang dimiliki polisi sedikit maka pertimbangan untuk melakukan diskresi juga malah memakan waktu yang lebih lama. Selain hal itu, setiap tindakan polisi yang berupa diskresi ditangkap oleh masyarakat sebagai suatu tindakan yang buruk. Masyarakat menganggap diskresi sebagai suatu tindakan penyimpangan hukum yang salah (Hasil wawancara dengan Bapak Sairuddin, SH ( Waka Bagian Hukum Polsekta Samarinda Ulu ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar