Selasa, 05 Januari 2016

Penerapan pasal 287 ayat 1 KUHP terhadap anak dibawah umur yang melakukan persetubuhan dengan tindak kekerasan di Pengadilan Negeri Samarinda



A.         Penerapan  pasal 287 ayat 1 KUHP  terhadap anak dibawah umur yang melakukan persetubuhan dengan tindak kekerasan di Pengadilan Negeri Samarinda.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan di dalam proses peradilan tindak pidana kesusilaan yang dilakukan anak di bawah umur di perlukan adanya perlindungan hukum terhadap anak yang tidak dapat dilepaskan dari apa yang sebenarnya tujuan atau dasar pemikiran dari peradilan anak itu sendiri bertolak dari dasar pemikiran baru yang dapat ditentukan apa dan bagaimana hakikat wujud dari perlindungan hukum yang sifatnya di berikan kepada anak.
Pada dasarnya dalam sidang untuk anak, sidang dilakukan secara tertutup untuk umum, dan dalam persidangan hakim tidak menggunakan toga, sidang dilakukan di ruangan sendiri yang telah disediakan oleh pihak pengadilan, terdakwanya biasanya itu didampingi oleh orang tuanya guna mendengarkan apa yang menyebabkan anak dari orang tua tersebut melakukan perbuatan yang melanggar norna-norma asusila, selain anak di dampingi oleh orang tuanya anak biasanya juga ada yang didampingi oleh BAPAS, sanksi pidananya yang di berikan untuk anak ½ (setengah) dari hukuman yang dijatuhkan kepada orang dewasa. Dalam putusan terbuka untuk umum, sesuai dengan (pasal 26 ayat 1, 2, 3 dan 4 Undang-Undang Peradilan Anak) di dalam persidangan anak, majelis mendapat informasi terlebih dahulu dari BAPAS agar supaya majelis hakim dalam menjatuhkan putusan lebih mengerti dari kasus yang sebenarnya di teliti.
Hakim Pengadilan Negeri Samarinda terhadap penerapan pasal 287 ayat  KUHP dalam menangani perkara pidana sebagai contoh perkara pidana No. 967/Pid.B/2009/PN.Smda, sehubungan dengan penerapannya terhadap pasal 287 ayat (1) KUHP tidak lain Hakim memperhatikan unsur – unsurnya sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 287 ayat (1) KUHP yang kemudian di jo pada Pasal 81 ayat 1 dan pasal 82 Undang – undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Mengingat korban adalah anak dibawah umur.Disamping itu pula, Hakim mempertimbangkan berdasarkan saksi korban dalam hubungan dengan terdakwa dan persesuainya antara yang satu dengan yang lainnya, maka diketemukan fakta – fakta.
Berdasarkan fakta – fakta selanjutnya akan dipertimbangkan apakah terdakwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu melanggar pasal 287 ayat (1) KUHP.
Bahwa berdasarkan pasal 287 ayat (1) KUHP terdapat   unsur – unsur sebagai berikut :
1.   Barang siapa, dalam hal ini pria melakukan persetubuhan sebagaimana diancam pasal 287 ayat (1) KUHP ;
2.   Diluar Perkawinan, artinya pelaku yang melakukan perbuatan persetubuhan  tersebut tidak ada ikatan perkawinan dengan wanita yag disetubuhinya. Hal ini dapat dibuktikan dengan sebuah akta nikah ;
3.   Diketahui wanita tersebut ( korban ) belum waktunya untuk dikawin yaitu wanita belum  lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas.
            Disebutkan bahwa pada unsure ke- 3 pasal 287 ayat 1 KUHP tersebut menyebutkan anak – anak, maka Hakim menerapkan pasal 287 Ayat 1 Jo Undang – undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Perlu diingat disini bahwa mengacu pada  KUHP, Aturan Penutup yaitu pasal 103 KUHP yang berbunyi, “  Ketentuan – ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan – perbuatan yang oleh ketentuan perundang – undangan lainya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang – umdang ditentukan lain”.Ini merupakan landasan atas lex spesialis lex generalis, yang berarti mengutamakan yang khusus dengan mengesampingkan yang umum ( yang disebut lex spesialis disini adalah Undang – undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak  sedangkan lex generalis adalah KUHP ).Sehubungan dengan hal tersebut maka penerapan pasal 287 ayat 1 KUHP pasti Jo Undang – undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak .
Kemudian di dalam Undang – undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 81 menyebutkan :
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82 menyebutkan :
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Berdasarkan keterangan saksi korban dan keterangan, terdakwa telah melakukan tindak pidana persetubuhan dengan anak dibawah umur, perbuatan terdakwa tersebut jelas melanggar pasal 287 ayat (1) KUHP Jo Pasal 81 ayat 1 dan pasal 82 Undang – undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam hal ini perbuatan terdakwa telah terungkap dalam persidangan, terbukti secara sah dan meyakinkan dengan terpenuhi unsur sebagaimana tercantum pada pasal 287 ayat (1) KUHP Jo Pasal 81 ayat 1 dan pasal 82 Undang – undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Untuk itu penulis berpendapat bahwa penerapan pasal 287 ayat (1) KUHP Jo Pasal 81 ayat 1 dan pasal 82 Undang – undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sudah tepat yaitu sanksi pidana seper dua (1/2) dari sanksi pidana untuk orang dewasa.
Mengenai hukuman yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terlepas dari hal – hal yang memberatkan dan meringankan hukuman yang dijatuhkan terhadap seseorang yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Melakukan tindak pidana persetubuhan dengan anak dibawah umur dengan lamanya hukuman selama 3 ( tiga ) Tahun dan denda sebesar Rp.60.000.000,- ( enam puluh juta ) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 ( tiga ) bulan, menurut penulis sangat sesuai.
Memang sudah keharusan hukuman yang dijatuhkan harus lebih ringan, karena tindakan tersebut meskipun merusak mentalitas masyarakat dan merupakan perbuatan amoral dan kesusilaan, bahkan merusak masa depan korban yang masih anak – anak.Tetapi karena pelakunya adalah anak dibawah umur yang berhak mendapatkan perlindungan hukum. Apabila hukuman yang dijatuhkan terlalu berat, maka akan membawa kesan betapa hukum kita tidak menghargai hak – hak anak dan sekaligus terjadi diskriminasi anak, karena tidak adanya perbedaan hukuman meskipun pelaku dewasa ataupun anak dibawah umur.
            Pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia Mengenai Anak di Bawah Umur Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat sering terjadi anak di bawah usia 18 tahun melakukan tindak kejahatan dan pelanggaran, sehingga harus mempertanggungjawabkan secara hukum positif melalui proses pengadilan. Dalam menghadapi perbuatan anak di bawah usia 18 tahun, hakim harus sangat teliti apakah anak tersebut sudah dapat membeda-bedakan secara hukum akibat dari perbuatannya atau belum. Apabila anak tersebut sudah dapat mampu membeda-bedakan, maka hakim dapat manjatuhkan pidana terhadap anak dengan dikurangi sepertiga dari hukuman pidana biasa, kemungkinan lain hakim dapat memerintahkan anak tersebut untuk diserahkan kepada negara untuk dididik melainkan tanpa pidana apapun, jika anak tersebut belum dapat membeda-bedakan akibat perbuatannya, maka hakim dapat memerintahkan agar anak dikembalikan kepada orang tuanya atau wali yang mengasuhnya.
            Menurut penulis bahwa penerapan pasal 287 ayat 1 KUHP yang di Jo Pasal 81 ayat 1 dan pasal 82 Undang – undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak terhadap pelaku anak dibawah umur di Pengadilan Negeri Samarinda sudah sesuai dengan :
a.   Rancangan Undang-Undang-Pengadilan Anak (pasal 3) dan juga konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru (pasal 52) menetapkan batas usia minimal 12 tahun untuk dapat dijatuhi pidana, khususnya pidana penjara.
b.   Hukum acara yang digunakan dalam pengadilan anak seperti halnya yang terdapat pada Undang-Undang No.3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yaitu tentang Sanksi pidana ½ dari sanksi pidana untuk orang dewasa.

B.           Hambatan – hambatan dalam penerapan pasal 287 ayat 1 KUHP terhadap anak dibawah umur yang melakukan persetubuhan dengan tindak kekerasan di Pengadilan Negeri Samarinda.
Berdasarkan penelitian bahwa Pengadilan Negeri Samarinda dalam menerapkan pasal 287 ayat 1 KUHP terhadap anak dibawah umur yang melakukan persetubuhan dengan tindak kekerasan mengalami hambatan – hambatan antara lain :
1.      Perbedaan kriteria penafsiran pengertian anak di perundang – undangan ini, dalam prakteknya kadang-kadang menimbulkan kesulitan menentukan status terdakwa, apakah terdakwa anak dibawah umur ataukah dewasa, karena tidak semua orang memiliki akte kelahiran. Seorang anak harus diberi perlindungan khusus dari semua pihak, maka pengaturan terhadap perlindungan anak harus tegas dan diberlakukan. Anak dalam perbuatan belum diakui kapasitas legalnya, maka dalam pemberian kesaksian didampingi oleh orang tuanya atau walinya. Dengan adanya semua ini, maka laporan yang diberikan anak terhadap orang tuanya atau keluarga lain hendaknya ditanggapi dan diperhatikan. Disamping itu bahwa anak dibawah umur juga mendapatkan jaminan hak dan perlindungan hokum.
2.      Pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia Mengenai Anak di Bawah Umur Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat sering terjadi anak di bawah usia 18 tahun melakukan tindak kejahatan dan pelanggaran, sehingga harus mempertanggungjawabkan secara hukum positif melalui proses pengadilan. Dalam menghadapi perbuatan anak di bawah usia 18 tahun, hakim harus sangat teliti apakah anak tersebut sudah dapat membeda-bedakan secara hukum akibat dari perbuatannya atau belum. Apabila anak tersebut sudah dapat mampu membeda-bedakan, maka hakim dapat manjatuhkan pidana terhadap anak dengan dikurangi sepertiga dari hukuman pidana biasa ( kemungkinan lain hakim dapat memerintahkan anak tersebut untuk diserahkan kepada negara untuk dididik melainkan tanpa pidana apapun, jika anak tersebut belum dapat membeda-bedakan akibat perbuatannya, maka hakim dapat memerintahkan agar anak dikembalikan kepada orang tuanya atau wali yang mengasuhnya ).
3.      Seringkali orang tua merasa malu mendampingi anaknya yang tersangkut hokum padahal itu adalah kewajiban orang tua, sehingga hakim tidak dapat meminta nasihat kepada orang tuanya, yang mana nasihat tersebut adalah dapat dijadikan dasar putusan hakim.Padahal putusan atas dasar nasihat dari orang tua terdakwa lebih bernilai keadilan baik bagi terdakwa maupun korban.
4.      Adannya terdakwa anak jarang ditemani penasihat hukum yang mana penasihat hokum ini sangatlah penting guna meluruskan putusan hakim apakah putusanya sudah tepat.Sehingga hakim harus berpikir lebih tepat dan bijaksana mengambil keputusan.
5.      Keterlambatannya proses pemeriksaan yang dilakukan langsung oleh BAPAS, sehingga untuk masuknya surat ke Pengadilan Negeri tersebut lambat, dan juga terlambatnya surat yang di buat dari kejaksaan lambat, dan masalahnya terdakwanya anak-anak sehingga dalam mempengaruhinya sangat sulit untuk diajak ke muka persidangan harus dengan di bujuk atau merayunya harus pakai segala macam cara supaya mau, dan dari sulitnya untuk merayu anak tersebut memperlambat proses persidangannya, karena pengadilan sifatnya memutus perkara baik masalahnya kecil sampai ke permasalahan yang besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar