A. Penerapan pasal 287 ayat 1 KUHP terhadap anak dibawah umur yang melakukan
persetubuhan dengan tindak kekerasan di Pengadilan Negeri Samarinda.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan di dalam proses
peradilan tindak pidana kesusilaan yang dilakukan anak di bawah umur di
perlukan adanya perlindungan hukum terhadap anak yang tidak dapat dilepaskan
dari apa yang sebenarnya tujuan atau dasar pemikiran dari peradilan anak itu
sendiri bertolak dari dasar pemikiran baru yang dapat ditentukan apa dan
bagaimana hakikat wujud dari perlindungan hukum yang sifatnya di berikan kepada
anak.
Pada dasarnya dalam sidang
untuk anak, sidang dilakukan secara tertutup untuk umum, dan dalam persidangan
hakim tidak menggunakan toga, sidang dilakukan di ruangan sendiri yang telah
disediakan oleh pihak pengadilan, terdakwanya biasanya itu didampingi oleh
orang tuanya guna mendengarkan apa yang menyebabkan anak dari orang tua
tersebut melakukan perbuatan yang melanggar norna-norma asusila, selain anak di
dampingi oleh orang tuanya anak biasanya juga ada yang didampingi oleh BAPAS,
sanksi pidananya yang di berikan untuk anak ½ (setengah) dari hukuman yang
dijatuhkan kepada orang dewasa. Dalam putusan terbuka untuk umum, sesuai dengan
(pasal 26 ayat 1, 2, 3 dan 4 Undang-Undang Peradilan Anak) di dalam persidangan
anak, majelis mendapat informasi terlebih dahulu dari BAPAS agar supaya majelis
hakim dalam menjatuhkan putusan lebih mengerti dari kasus yang sebenarnya di
teliti.
Hakim Pengadilan Negeri Samarinda terhadap penerapan pasal 287 ayat KUHP dalam menangani perkara pidana sebagai
contoh perkara pidana No. 967/Pid.B/2009/PN.Smda, sehubungan dengan
penerapannya terhadap pasal 287 ayat (1) KUHP tidak lain Hakim memperhatikan
unsur – unsurnya sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 287 ayat (1) KUHP yang
kemudian di jo pada Pasal 81 ayat 1 dan pasal 82 Undang – undang No.23 tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak. Mengingat korban adalah anak dibawah umur.Disamping
itu pula, Hakim mempertimbangkan berdasarkan saksi korban dalam hubungan dengan
terdakwa dan persesuainya antara yang satu dengan yang lainnya, maka
diketemukan fakta – fakta.
Berdasarkan fakta – fakta selanjutnya akan dipertimbangkan apakah
terdakwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu melanggar pasal 287 ayat (1) KUHP.
Bahwa berdasarkan pasal 287 ayat (1) KUHP terdapat unsur – unsur sebagai berikut :
1. Barang siapa, dalam
hal ini pria melakukan persetubuhan sebagaimana diancam pasal 287 ayat (1) KUHP
;
2. Diluar Perkawinan,
artinya pelaku yang melakukan perbuatan persetubuhan tersebut tidak ada ikatan perkawinan dengan wanita
yag disetubuhinya. Hal ini dapat dibuktikan dengan sebuah akta nikah ;
3. Diketahui wanita
tersebut ( korban ) belum waktunya untuk dikawin yaitu wanita belum lima
belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas.
Disebutkan bahwa pada unsure ke- 3
pasal 287 ayat 1 KUHP tersebut menyebutkan anak – anak, maka Hakim menerapkan
pasal 287 Ayat 1 Jo Undang – undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Perlu diingat disini bahwa mengacu pada
KUHP, Aturan Penutup yaitu pasal 103 KUHP yang berbunyi, “ Ketentuan – ketentuan dalam Bab I sampai Bab
VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan – perbuatan yang oleh ketentuan
perundang – undangan lainya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang –
umdang ditentukan lain”.Ini merupakan landasan atas lex spesialis lex generalis, yang berarti mengutamakan yang khusus
dengan mengesampingkan yang umum ( yang disebut lex spesialis disini adalah Undang – undang No.23 tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak sedangkan lex generalis adalah KUHP ).Sehubungan
dengan hal tersebut maka penerapan pasal 287 ayat 1 KUHP pasti Jo Undang –
undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak .
Kemudian di dalam Undang – undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
Pasal 81 menyebutkan :
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain.
Pasal 82 menyebutkan :
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat
3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Berdasarkan keterangan saksi korban dan keterangan, terdakwa telah
melakukan tindak pidana persetubuhan dengan anak dibawah umur, perbuatan
terdakwa tersebut jelas melanggar pasal 287 ayat (1) KUHP Jo Pasal 81 ayat 1
dan pasal 82 Undang – undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam
hal ini perbuatan terdakwa telah terungkap dalam persidangan, terbukti secara
sah dan meyakinkan dengan terpenuhi unsur sebagaimana tercantum pada pasal 287
ayat (1) KUHP Jo Pasal 81 ayat 1 dan pasal 82 Undang – undang No.23 tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak. Untuk itu penulis berpendapat bahwa penerapan pasal
287 ayat (1) KUHP Jo Pasal 81 ayat 1 dan pasal 82 Undang – undang No.23 tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak sudah tepat yaitu sanksi pidana seper dua (1/2)
dari sanksi pidana untuk orang dewasa.
Mengenai hukuman yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terlepas dari hal –
hal yang memberatkan dan meringankan hukuman yang dijatuhkan terhadap seseorang
yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana.
Melakukan tindak pidana persetubuhan dengan anak dibawah umur dengan lamanya
hukuman selama 3 ( tiga ) Tahun dan denda sebesar Rp.60.000.000,- ( enam puluh
juta ) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan
pidana kurungan selama 3 ( tiga ) bulan, menurut penulis sangat sesuai.
Memang sudah keharusan hukuman yang dijatuhkan harus lebih ringan, karena
tindakan tersebut meskipun merusak mentalitas masyarakat dan merupakan
perbuatan amoral dan kesusilaan, bahkan merusak masa depan korban yang masih
anak – anak.Tetapi karena pelakunya adalah anak dibawah umur yang berhak
mendapatkan perlindungan hukum. Apabila hukuman yang dijatuhkan terlalu berat,
maka akan membawa kesan betapa hukum kita tidak menghargai hak – hak anak dan
sekaligus terjadi diskriminasi anak, karena tidak adanya perbedaan hukuman
meskipun pelaku dewasa ataupun anak dibawah umur.
Pandangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia Mengenai Anak di Bawah Umur Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
masyarakat sering terjadi anak di bawah usia 18 tahun melakukan tindak
kejahatan dan pelanggaran, sehingga harus mempertanggungjawabkan secara hukum
positif melalui proses pengadilan. Dalam menghadapi perbuatan anak di bawah
usia 18 tahun, hakim harus sangat teliti apakah anak tersebut sudah dapat
membeda-bedakan secara hukum akibat dari perbuatannya atau belum. Apabila anak
tersebut sudah dapat mampu membeda-bedakan, maka hakim dapat manjatuhkan pidana
terhadap anak dengan dikurangi sepertiga dari hukuman pidana biasa, kemungkinan
lain hakim dapat memerintahkan anak tersebut untuk diserahkan kepada negara
untuk dididik melainkan tanpa pidana apapun, jika anak tersebut belum dapat
membeda-bedakan akibat perbuatannya, maka hakim dapat memerintahkan agar anak
dikembalikan kepada orang tuanya atau wali yang mengasuhnya.
Menurut penulis bahwa penerapan
pasal 287 ayat 1 KUHP yang di Jo Pasal 81 ayat 1 dan pasal 82 Undang – undang
No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak terhadap pelaku anak dibawah umur di
Pengadilan Negeri Samarinda sudah sesuai dengan :
a. Rancangan Undang-Undang-Pengadilan Anak (pasal 3) dan juga konsep
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru (pasal 52) menetapkan batas usia minimal
12 tahun untuk dapat dijatuhi pidana, khususnya pidana penjara.
b. Hukum
acara yang digunakan dalam pengadilan anak seperti halnya yang terdapat pada
Undang-Undang No.3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yaitu tentang Sanksi pidana ½ dari sanksi pidana untuk orang dewasa.
B. Hambatan –
hambatan dalam penerapan pasal 287 ayat 1 KUHP terhadap anak dibawah umur yang
melakukan persetubuhan dengan tindak kekerasan di Pengadilan Negeri Samarinda.
Berdasarkan penelitian bahwa
Pengadilan Negeri Samarinda dalam menerapkan pasal 287 ayat 1 KUHP terhadap
anak dibawah umur yang melakukan persetubuhan dengan tindak kekerasan mengalami
hambatan – hambatan antara lain :
1. Perbedaan
kriteria penafsiran pengertian anak di perundang – undangan ini, dalam
prakteknya kadang-kadang menimbulkan kesulitan menentukan status terdakwa,
apakah terdakwa anak dibawah umur ataukah dewasa, karena tidak semua orang
memiliki akte kelahiran. Seorang anak harus diberi perlindungan khusus dari
semua pihak, maka pengaturan terhadap perlindungan anak harus tegas dan
diberlakukan. Anak dalam perbuatan belum diakui kapasitas legalnya, maka dalam
pemberian kesaksian didampingi oleh orang tuanya atau walinya. Dengan adanya
semua ini, maka laporan yang diberikan anak terhadap orang tuanya atau keluarga
lain hendaknya ditanggapi dan diperhatikan. Disamping itu bahwa anak dibawah
umur juga mendapatkan jaminan hak dan perlindungan hokum.
2. Pandangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia Mengenai Anak di Bawah Umur Tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat sering terjadi anak di bawah usia 18
tahun melakukan tindak kejahatan dan pelanggaran, sehingga harus
mempertanggungjawabkan secara hukum positif melalui proses pengadilan. Dalam
menghadapi perbuatan anak di bawah usia 18 tahun, hakim harus sangat teliti
apakah anak tersebut sudah dapat membeda-bedakan secara hukum akibat dari
perbuatannya atau belum. Apabila anak tersebut sudah dapat mampu
membeda-bedakan, maka hakim dapat manjatuhkan pidana terhadap anak dengan
dikurangi sepertiga dari hukuman pidana biasa ( kemungkinan lain hakim dapat
memerintahkan anak tersebut untuk diserahkan kepada negara untuk dididik
melainkan tanpa pidana apapun, jika anak tersebut belum dapat membeda-bedakan
akibat perbuatannya, maka hakim dapat memerintahkan agar anak dikembalikan
kepada orang tuanya atau wali yang mengasuhnya ).
3. Seringkali
orang tua merasa malu mendampingi anaknya yang tersangkut hokum padahal itu
adalah kewajiban orang tua, sehingga hakim tidak dapat meminta nasihat kepada
orang tuanya, yang mana nasihat tersebut adalah dapat dijadikan dasar putusan
hakim.Padahal putusan atas dasar nasihat dari orang tua terdakwa lebih bernilai
keadilan baik bagi terdakwa maupun korban.
4. Adannya
terdakwa anak jarang ditemani penasihat hukum yang mana penasihat hokum ini
sangatlah penting guna meluruskan putusan hakim apakah putusanya sudah tepat.Sehingga
hakim harus berpikir lebih tepat dan bijaksana mengambil keputusan.
5. Keterlambatannya
proses pemeriksaan yang dilakukan langsung oleh BAPAS, sehingga untuk masuknya
surat ke Pengadilan Negeri tersebut lambat, dan juga terlambatnya surat yang di
buat dari kejaksaan lambat, dan masalahnya terdakwanya anak-anak sehingga dalam
mempengaruhinya sangat sulit untuk diajak ke muka persidangan harus dengan di
bujuk atau merayunya harus pakai segala macam cara supaya mau, dan dari
sulitnya untuk merayu anak tersebut memperlambat proses persidangannya, karena
pengadilan sifatnya memutus perkara baik masalahnya kecil sampai ke permasalahan
yang besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar