Selasa, 05 Januari 2016

Kejahatan Kehutanan dalam kaitannya dengan Undang – undang Anti Korupsi


A.    Kejahatan Kehutanan dalam kaitannya dengan Undang – undang Anti Korupsi

Sebagian besar orang mengaitkan praktek Kejahatan kehutanan hanya merupakan kejahatan lingkungan. Untuk menjerat para pelaku, aparat penegak hukum menggunakan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 41 Tahun 1999 jo UU No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Pasalpasal dalam UU No. 23 tahun 1997 yang dapat digunakan untuk menjerat kasus Kejahatan kehutanan yakni diatur dalam pasal 419 dan 4210. Sedangkan tindak pidana yang berkaitan dengan Kejahatan Kehutanan yang diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 terdapat dalam pasal 50 seperti:
1)   Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
2)   Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
3)   Setiap orang dilarang:
a.   merambah kawasan hutan;
b.   melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan;
1.   500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2.   200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3.   100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
4.   50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5.   2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
6.   130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
d.   menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
e.   menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
f.    mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersamasama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
g.   membawa alatalat berat dan atau alatalat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
h.   membawa alatalat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
i.    mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuhtumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undangundang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
Sebenarnya kalau kita telaah dari peraturan perundangundangan di Indonesia, kejahatan Kejahatan kehutanan bukan hanya sekedar kejahatan lingkungan, tetapi lebih dari itu merupakan tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan dengan adanya Kejahatan kehutanan, keuangan negara telah dirugikan mengingat hutan merupakan aset negara. Tentunya penebangan tersebut dilakukan di wilayah hutan negara.Menurut Muhamad Dahlan, peneliti Departemen Ekonomi di Soegeng Sarjadi Syndicated menyatakan bahwa total kerugian negara Rp 30 Triliun per tahun atau Rp 2,5 Triliun per bulan.12 Namun, Menteri Kehutanan memperkirakan bahwa aktivitas pembalakan liar telah merugikan negara sebesar Rp 30 triliun atau 3,3 miliar dollar AS per tahun.Jumlah kerugian ini setara dengan 11% anggaran Pemerintah Indonesia untuk mensubsidi bahan bakar minyak pada tahun 2004.Ada juga data lain yang menyebutkan kerugian akibat Kejahatan kehutanan sebesar Rp 40 triliun (US$ 4 milliar) per tahun. 1)
Kalau kita mau mengklaim bahwa Kejahatan kehutanan merupakan tindak pidana korupsi, maka perbuatan tersebut harus mencakup unsurunsur UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, Misalnya yang tercantum dalam pasal 2:
a. setiap orang
b. melawan hukum
c. memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
d. dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara
Unsur melawan hukum dalam kasus Kejahatan kehutanan terkait dengan pelanggaran prosedur penebangan berupa pelaksanaan di luar area yang dijinkan, melebihi kuota yang dijinkan, dan penebangan yang tidak dilaporkan. Hal ini dapat dilihat dari kasus penggarapan lahan untuk keperluan kelapa sawit di daerah Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur yang hanya diperkenankan menggarap seluas 16.085 hektar ternyata merambah ke Wilayah Pasir dengan jumlah luasan penebangan mencapai 2.153 hektar. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) Kaltim, kerugian negara ditaksir Rp 30 miliar. 2)
Unsur memperkaya diri dapat dilihat bahwa dengan melakukan penebangan liar tersebut si pelaku memperoleh keuntungan yang cukup besar. Perkiraan biaya bagi HPH besar untuk mengeluarkan kayu legal di Indonesia (termasuk pajak ‘informal’ sebesar 20%) ke pintu pabrik sekitar US$ 85/m3, sedangkan biaya kayu ilegal sebesar US$ 32/m3. Selisih yang cukup mencolok sebesar US$ 53/m3 jika dikalikan jutaan meter kubik, tentu saja akan membuat para pelaku mendapat hasil yang menggiurkan. Hasil riset yang dilaksanakan oleh Tropical Forest Management Project (United Kingdom), juga menunjukkan ketimpangan manfaat ekonomi Kejahatan kehutanan, seperti yang ditunjuk dalam  tabel 1.
Perlu diingat disini bahwa mengacu pada  KUHP, Aturan Penutup yaitu pasal 103 KUHP yang berbunyi, “  Ketentuan – ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan – perbuatan yang oleh ketentuan perundang – undangan lainya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang – undang ditentukan lain”.Ini merupakan landasan atas lex spesialis lex generalis, yang berarti mengutamakan yang khusus dengan mengesampingkan yang umum ( yang disebut lex spesialis disini adalah Undang – undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sedangkan lex generalis adalah KUHP ).Sehubungan dengan hal tersebut maka penerapan penerapannya mengacu pada Undang – undang Kehutanan jo Undang – undang anti Korupsi.
Table 1. Perbandingan Perincian Pembalakan Legal dan Ilegal yang Didasarkan pada Data di Indonesia Tahun 1998

KOMPONEN
LEGAL LOGGING
ILLEGAL LOGGING
Harga pasar dari kayu bulatX (US$/m3)
90
40

Biaya Operasional
47
20
• Tenaga Kerja
4
3,5
• Kapital
17
x9,5
• Bahan Bakar
7
7
• Jalan
1
xx
• Manajemen
18
x
Keuntungan Sesudah Pajak
23
20
Pendapatan pemerintah
termasuk pajak
20

SSumber : Indonesia Corruption Watch (ICW)
Sedangkan unsur ketiga “merugikan keuangan negara” dapat dikaitkan bahwa hutan merupakan salah satu kekayaan negara. Mengambil pohonpohon yang di luar prosedur dapat menyebabkan kerugian negara, mengingat hutan merupakan salah satu sumber devisa. Padahal setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja (Pasal 35 ayat 1 UU No. 41 tahun 1999). Di samping itu mereka juga wajib menyediakan dana investasi untuk pelestarian hutan (Pasal 35 ayat 2 UU No. 41 tahun 1999). Dengan melakukan penebangan di luar prosedur, maka para pelaku tidak membayar iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dana jaminan kinerja yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Dengan menggunakan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak hanya para pelaku lapangan saja yang dapat terjerat hukum, para pemodal Kejahatan kehutanan pun dapat dijerat pasal tindak pidana korupsi dengan mengetahui aliran dana. Peran PPATK dalam mengungkap aliran dana hasil illegal yang berperan sentral untuk membawa para pemodal kayu illegal ke meja persidangan
Para pembeking yang berasal dari aparat negara yang melindungi kasus Kejahatan kehutanan pun dapat dijerat dengan pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Pasal tersebut menyatakan “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Ancaman hukumannya pun lebih berat menggunakan UU Anti Korupsi. Di dalam UU tersebut ancaman hukuman maksimal sampai 20 tahun, sedangkan UU Kehutanan ancaman hukumannya sampai 15 tahun. Ancaman hukuman maksimal di UU Pengelolaan Lingkungan Hidup lebih rendah lagi yakni 10 tahun.
Di samping itu, kalau kita hanya mengunakan UU Kehutanan, aparat penegak hokum yang berwenang untuk melakukan penyidikan hanya kepolisian. Jika aparat kepolisian menjadi beking dari pelaku Kejahatan kehutanan, maka kasus tersebut tidak akan sampai ke tahap penuntutan oleh kejaksaan. Tetapi jika menggunakan UU Anti Korupsi, aparat yang dapat melakukan penyidikan bertambah banyak yakni bisa melibatkan kepolisian, kejaksaan, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (bila melibatkan penyelenggara negara). Dengan penegakan hokum yang melibatkan banyak aparat, diharapkan kasus Kejahatan kehutanan dapat tertangani secara menyeluruh. Namun sangat disayangkan, UU Anti Korupsi tersebut jarang digunakan untuk menjerat pelakupelaku Kejahatan kehutanan. Dalam beberapa kasus, UU Anti Korupsi hanya dikenakan jika pejabat telah mengkorup Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).
Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan kota/kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur menempati peringkat tinggi dalam laporan kasus korupsi. Dari 40 ribu laporan yang masuk, 1.254 buah di antaranya ihwal kasus korupsi. "Banyaknya laporan sejak 2004 hingga sekarang," kata pejabat KPK, Bibit Samad Rianto, di Balikpapan, Sabtu lalu, dalam acara diskusi publik di Balikpapan. Bibit memaparkan, Kota Samarinda menempati posisi pertama di Kalimantan Timur untuk kasus korupsi terbanyak. Jumlah laporannya mencapai 264 kasus. Disusul Kutai Kartanegara 203 kasus, Berau 106 kasus, Bontang 100 kasus, dan Paser 95 kasus. Komisi memilah penanganan kasusnya untuk ditangani sendiri atau dilimpahkan ke institusi kejaksaan ataupun kepolisian.Beberapa kasus korupsi pejabat Kalimantan Timur, di antaranya, yang melibatkan bekas Gubernur Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah, bekas Bupati Kutai Kartanegara Syaukani H.R., hingga Wakil Bupati Kutai Kartanegara Samsuri Aspar. 3)

B.     Penerapan Undang – undang Tindak Pidana Korupsi dalam Menjerat Pelaku Kejahatan Kehutanan

Setiap perbuatan  Kejahatan Kehutanan yang telah ditentukan dan diancam  sebagaimana diatur dalam Undang - undang. Perbuatan Kejahatan  Kehutanan yang dilakukan dapat dikatakan merupakan perbuatan korupsi, apabila perbuatan tersebut telah mengarah kepada kejahatn yang memperkaya diri sendiri atau orang lain dan atau merugikan negara.
Akan tetapi hal tersebut harus dibuktikan dengan apakah telah memenuhi unsur – unsur perbuatan Korupsi. Adapun unsur – unsur perbuatan korupsi sebagaimana diatur dan diancam sebagai contoh unsure dalam pasal 2 Undang – undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :
a. setiap orang
b. melawan hukum
c. memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
d. dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara
Sebagai contoh Penerapan Undang – undang Anti Korupsi yaitu pada Kasus Suwarna AF (Gubernur Kaltim).
Kasus Posisi:
1.   Suwarna AF sebagai Gubernur Kaltim mencanangkan program lahan kelapa sawit di Kalimantan Timur.
2.   Yang dipermasalahkan dalam kasus ini yakni Suwarna telah mengeluarkan tiga produk surat yang mengandung unsur korupsi dan dapat merugikan keuangan negara.Pertama, surat rekomendasi persetujuan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit kepada 11 perusahaan. Kedua, surat persetujuan prinsip pembukaan lahan dan izin pemanfaatan kayu terhadap tiga perusahaan PT Berau Perkasa Mandiri, PT Sebuku Sawit Perkasa dan PT Bumi SimanggarisIndah. Ketiga, dispensasi garansi bank untuk 7 perusahaan yakni PT Tirta Madu Sawit Jaya, PT Marsam Citra Adi Perkasa, PT Bulungan Hijau Perkasa, PT Berau Perkasa Mandiri, PT Sebuku Sawit Perkasa, PT Bumi Simanggaris Indah dan PT Kaltim Bakti Sejahtera. Perusahaan tersebut dibawah Surya Dumai Group dengan pimpinan Martias. Tiga produk surat itu. Kebijakan Suwarna diindikasikan bertentangan dengan peraturan perundangundangan yakni SK Menhutbun No.107/KptsII/1999 tentang Perizinan Usaha Perkebunan dan SK Menhutbun Nomor 538/KptsII/1999 tentang Izin Pemanfaatan Kayu.
3.   Sejak 19 Juni 2006 Suwarna telah ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi pelepasan ijin pembebasan lahan perkebunan kelapa sawit  hektar.

Pra Peradilan:
Permohonan praperadilan ini didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 12 Juli 2006. Alasan permohonan praperadilan karena KPK telah bertindak sewenangwenang dalam melakukan penahanan dan telah melanggar asas kepastian hukum dalam melakukan penyidikan perkara berkaitan dengan Program Sawit Sejuta Hektar sampai dengan penahanan terhadap Pemohon. Karena KPK telah melanggar penerapan UU secara bersurut (retroaktif). Larangan UU berlaku surut diatur pasal 1 ayat 1 KUHP.

Putusan Pra Peradilan Peradilan:
Hakim tunggal Kresna Menon dalam sidang pembacaan keputusan praperadilan menyatakan penahanan yang dilakukan KPK terhadap Suwarna adalah sah menurut hukum. Menurut hakim, perintah penahanan, penahanan lanjutan atau perpanjangan penahanan yang diajukan oleh penyidik KPK telah memenuhi syaratsyarat subjektif dan objektif. Mengenai adanya penafsiran tentang syarat subjektif, Kresna menilai karena alasan subyektif tidak djelaskan secara rinci dalam aturan hukum pidana, maka alasan subyektif untuk melakukan penahanan bias ditafsirkan sendiri oleh lembaga yang berwenang melakukan penahanan. KPK dianggap telah menjalankan prosedur seperti yang diatur dalam hukum acara karena sudah terlebih dahulu mengeluarkan surat perintah penahanan yang juga telah ditembuskan kepada keluarganya. Ia juga menilai materi yang diajukan pemohon, seperti masalah KPK yang dinilai melanggar asas retroaktif dan penetapan pemohon sebagai tersangka dinilai bukan obyek pemeriksaan praperadilan.
Selain itu, hakim menilai KPK telah memiliki alat bukti yang cukup sesuai pasal yang disangkakan kepada pemohon, yaitu pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidanan Korupsi tentang perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi secara melawan hukum, atau tentang penyalahgunaan wewenang.

Dakwaan
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itu, penuntut umum KPK mendakwa Suwarna telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 346,8 miliar. Menurut penuntut umum, kerugian tersebut diakibatkan serangkaian perbuatan Suwarna dalam kurun waktu sejak Agustus 1999 sampai Desember 2002. Perbuatan Suwarna yang dinilai penuntut KPK melanggar mulai dari pemberian rekomendasi areal perkebunan sawit, memberikan persetujuan sementara Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Perkebunan (HPHTP sementara) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), hingga memberikan persetujuan prinsip pembukaan lahan dan pemanfaatan kayu. Suwarna juga dianggap telah menyalahi aturan ketika memberikan dispensasi kewajiban penyerahan jaminan bank (Bank Garansi) kepada perusahaan yang tergabung dalam Surya Dumai Group yang dikendalikan Martias alias Pung Kian Hwa tanpa mengindahkan peraturan teknis bidang kehutanan.

Selain itu, Suwarna juga memberi perintah secara lisan kepada Kepala Kantor Wilayah Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Kaltim serta Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Kaltim untuk menerbitkan IPK yang belum memenuhi syarat kepada Surya Dumai Group. Dengan mengantongi IPK tersebut, Martias pada kenyataannya tidak melaksanakan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Tapi hanya memanfaatkan IPK guna mengambil kayu pada areal hutan yang direkomendasikan untuk perkebunan. Hasilnya, Martias memperoleh kayu sebanyak 692 meter kubik senilai Rp 346,8 miliar.
Tindakan Suwarna tersebut oleh penuntut dalam dakwaan primairnya diancam dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 (UU Korupsi) jo Pasal 55 ayat (1) ke1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam dakwaan subsidairnya, Suwarna dianggap menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya dengan serangkaian perbuatan yang memberikan ijin kepada Surya Dumai Group untuk pembukaan lahan dan pemanfaatan kayu. Perbuatan ini diancam Pasal 3 jo Pasal 18 UU Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.


Tuntutan
Tuntutan digelar pada tanggal 2 Maret 2007. Penuntut Umum KPK menuntut Gubernur Kalimantan Timur Mayjend (Purn) Suwarna Abdul Fatah 7 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider kurungan 6 bulan. Terdakwa melanggar pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Terdakwa kasus korupsi pelepasan ijin pembebasan seribu hektar lahan perkebunan kelapa sawit ini dinilai tidak menikmati sendiri hasil korupsinya. Justru Martias alias Pung Kian Hwa, pengendali sejumlah perusahaan yang tergabung dalam Surya Dumai Group, yang menikmati hasil korupsi Suwarna. Merujuk pada perhitungan ahli BPKP, Penuntut KPK menaksir Suwarna telah memperkaya Martias sebesar Rp 5,16 miliar atau korporasi sebesar Rp578 miliar yangberasal dari penjualan kayu perusahaanperusahaan yang bernaung di bawah Surya Dumai Group (SDG), atau setidaktidaknya sebesar Rp346 miliar. Angkaangka tersebut menunjukkankerugian yang ditanggung negara. Menurut Penuntut KPK, kerugian tersebut diakibatkan serangkaian perbuatan Suwarna sejak Agustus 1999 hingga Desember 2002. Pelanggaran hukum dilakukan Suwarna ketika memberikan persetujuan sementara Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Perkebunan (HPHTP sementara) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), hingga memberikan persetujuan prinsip pembukaan lahan dan pemanfaatan kayu.

Suwarna juga dianggap telah menyalahi aturan ketika memberikan dispensasi kewajiban penyerahan jaminan bank (Bank Garansi) kepada sejumlah perusahaan yang tergabung dalam Surya Dumai Group yang dikendalikan Martias tanpa mengindahkan peraturan teknis bidang kehutanan.

Selain itu, Suwarna juga memberi perintah secara lisan kepada Kepala Kantor Wilayah Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Kaltim serta Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Kaltim untuk menerbitkan IPK yang belum memenuhi syarat kepada Surya Dumai Group. Dengan mengantongi IPK tersebut, Martias pada kenyataannya tidak melaksanakan  pembangunan perkebunan kelapa sawit. Tapi hanya memanfaatkan IPK guna mengambil kayu pada areal hutan yang direkomendasikan untuk perkebunan. Belakangan terungkap, proyek pembukaan lahan itu terbengkalai. Yang aneh, sebagian besar lahan sudah ditebangi kayunya, tapi tidak ditanami kelapa sawit.

Putusan
Pengadilan Tingkat Pertama
Majelis hakim yang diketuai Gus Rizal hanya menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp200 juta subsidair tiga bulan kurungan. Majelis hakim menyatakan Suwarna terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait pelepasan izin pembebasan lahan perkebunan kelapa sawit seribu hektar. Pidana uang pengganti tidak dikenakan karena tidak ada fakta persidangan yang menyatakan Suwarna menikmati hasil tindak pidana korupsi yang dilakukannya.

Walaupun terbukti melakukan tindak pidana korupsi, majelis hakim menilai perbuatan Suwarna tidak memenuhi unsurunsur Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dakwaan primair JPU Majelis hakim justru berpendapat dakwaan subsidair yakni Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang terbukti.

Putusan ini diwarnai dengan pendapat berbeda atau dissenting opinion dari salah seorang anggota majelis, Slamet Subagio. Slamet menyatakan tidak setuju dengan pendapat mayoritas majelis hakim yang menyatakan perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsurunsur pasal dalam dakwaan primair. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan berdasarkan fakta persidangan terungkap bahwa Suwarna telah membuat sejumlah kebijakan dalam rangka Program Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Sejuta Hektar Kalimantan Timur. Kebijakankebijakan tersebut diantaranya diberikan kepada sejumlah perusahaan yang ternyatatergabung dalam Surya Dumai Grup.
Kebijakan dimaksud antara lain penerbitan surat persetujuan prinsip pembukaan lahan dan pemanfaatan Kayu, rekomendasi areal perkebunan sawit, persetujuan sementara hak pengusahaan hutan tanaman perkebunan (HPHTP sementara), izin pemanfaatan kayu (IPK), dan dispensasi kewajiban penyerahan jaminan bank garansi dana reboisasi (DR) dan provisi sumber daya hutan (PSDH).

Majelis hakim berpendapat perbuatan Suwarna belum dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan yang melanggar hukum karena beberapa kebijakan yang dibuatnya seperti surat persetujuan prinsip pembukaan lahan dan pemanfaatan Kayu dan persetujuan HPHTP sementara belum ada dasar hukumnya. Pertimbangan majelis hakim diantaranya didasarkan pada keterangan ahli Soeparno dari Biro Hukum Departemen Kehutanan yang menyatakan HPHTP sementara, sejauh ini tidak ada dasar hukumnya.

Sementara itu, untuk dakwaan subsidair, majelis hakim menegaskan bahwa kebijakankebijakan yang dibuat Suwarna terbukti telah melampaui kewenangannya sebagai Gubernur Kaltim. Sebagai contoh, kebijakan menerbitkan surat persetujuan prinsip pembukaan lahan dan pemanfaatan Kayu yang semestinya bukan kewenangan seorang Gubernur atau Kepala Daerah.

Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) SK Menhut No. 107/KptsII/1999 tanggal 3 Maret 1999 tentang Perizinan Usaha Perkebunan, maka izin usaha perkebunan berskala besar diterbitkan oleh Menhut. Padahal, usaha perkebunan yang dijalankan perusahaanperusahaan Surya Dumai Grup masuk kualifikasi usaha perkebunan skala besar karena lebih dari 10 ribu hektar. Selain itu, majelis juga menyatakan kebijakankebijakan yang dibuat Suwarna terbukti secara nyata telah menguntungkan orang lain yakni Martias alias Pung Kian Hwa yang tidak lain adalah pimpinan Surya Dumai Grup.

Terkait unsur kerugian negara, majelis hakim berpendapat perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh ahli dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak valid. Pasalnya, ahli BPKP hanya menghitung kerugian negara berdasarkan datadata yang dimiliki penyidik KPK dan tidak melakukan penelusuran ke lapangan.

Perhitungan ahli BPKP tidak melingkupi fakta adanya tunggakan sejumlah perusahaan Surya Dumai Grup sebesar Rp5.7 milyar untuk PSDH dan Rp1,5 milyar untuk DR yang telah dibayar lunas. Akibatnya, jumlah kerugian negara Rp346.823.970.564,24 yang diperoleh ahli BPKP kurang akurat dan oleh karenanya dikesampingkan oleh majelis hakim. Selanjutnya, majelis hakim dalam menghitung kerugian negara mendasarkan pada keuntungan yang diperoleh Surya Dumai Grup akibat diterbitkannya pemberian IPK yang tidak sesuai dengan aturan. Majelis hakim merujuk pada keterangan Martias dalam BAP penyidik KPK pada 3 Mei 2006 yang menyatakan keuntungan yang diperoleh sebesar Rp5.167.723.032.

Pengadilan Tingkat Banding:
Jika pengadilan tingkat pertama memvonis Suwarna 18 bulan penjara dengan dakwaan subsider, maka Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru menghukum Suwarna empat tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider dua bulan. Majelis hakim perkara Suwarna yang terdiri atas Suratno, Iswari, Widodo, Abdurrahman Hasan, dan Ny Amik membacakan vonis terhadap Suwarna pada 26 Juni 2007. Majelis hakim menilai Suwarna terbukti melanggar dakwaan primer, yaitu melanggar Pasal 2 Ayat 1 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4)

Mengenai hukuman yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terlepas dari hal – hal yang memberatkan dan meringankan hukuman yang dijatuhkan terhadap seseorang yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Melakukan tindak pidana korupsi dengan, jika pengadilan tingkat pertama memvonis Suwarna 18 bulan penjara dengan dakwaan subsider, maka Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru menghukum Suwarna empat tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider dua bulan.
Seharusnya hukuman yang dijatuhkan harus diperberat, karena tindakan tersebut telah merusak hutan dan tindak pidana korupsi dan merupakan perbuatan amoral. Apabila hukuman yang dijatuhkan terlalu ringan, maka akan membawa kesan betapa lemahnya hukum kita dan sekaligus terjadi pelecehan terhadap norma hukum yang berlaku.
Untuk itu penulis berharap seyogyanya terhadap terdakwa pelaku tindak pidana korupsi yang dikaitkan dengan kejahatan kehutanan dijatuhi hukuman yang cukup berat, agar dikemudian hari tidak lagi akan mengulangi perbuatan yang serupa atau bisa dijadikan pelajaran bagi para pelaku korupsi yang lainnya.Dengan pertimbangan dampak dan akibat dari kerusakan hutan.


1) www.cps-sss.org
2) Friday, 08 May 2009 20:27 WALHI

3) www.kpk.go.id
4) Ibid


Tidak ada komentar:

Posting Komentar