A. Kejahatan Kehutanan dalam kaitannya dengan Undang – undang Anti Korupsi
Sebagian
besar orang mengaitkan praktek Kejahatan
kehutanan hanya merupakan kejahatan lingkungan. Untuk menjerat para
pelaku, aparat penegak hukum menggunakan UU No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 41 Tahun 1999 jo UU No. 19 Tahun 2004
tentang Kehutanan. Pasal‐pasal dalam UU No. 23 tahun 1997
yang dapat digunakan untuk menjerat kasus Kejahatan kehutanan yakni diatur dalam pasal 419 dan 4210.
Sedangkan tindak pidana yang berkaitan dengan Kejahatan Kehutanan yang diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999
terdapat dalam pasal 50 seperti:
1) Setiap
orang dilarang merusak prasarana
dan sarana perlindungan hutan.
2) Setiap
orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan
jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta
izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan
yang menimbulkan kerusakan hutan.
3) Setiap
orang dilarang:
a. merambah kawasan hutan;
b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau
jarak sampai dengan;
1. 500
(lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2. 200
(dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3. 100
(seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
4. 50
(lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5. 2
(dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
6. 130
(seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari
tepi pantai.
d. menebang
pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak
atau izin dari pejabat yang berwenang;
e. menerima,
membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau
memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan
hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
f. mengangkut,
menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama‐sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
g. membawa
alat‐alat berat dan atau alat‐alat
lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil
hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
h. membawa
alat‐alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau
membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
i. mengeluarkan,
membawa, dan mengangkut tumbuh‐tumbuhan dan satwa liar yang
tidak dilindungi undang‐undang yang berasal dari kawasan
hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
Sebenarnya
kalau kita telaah dari peraturan perundang‐undangan di Indonesia, kejahatan
Kejahatan kehutanan bukan hanya
sekedar kejahatan lingkungan, tetapi lebih dari itu merupakan tindak pidana
korupsi. Hal ini disebabkan dengan adanya Kejahatan kehutanan, keuangan negara telah dirugikan mengingat
hutan merupakan aset negara. Tentunya penebangan tersebut dilakukan di wilayah
hutan negara.Menurut Muhamad Dahlan, peneliti Departemen Ekonomi di Soegeng
Sarjadi Syndicated menyatakan bahwa total kerugian negara Rp 30 Triliun per
tahun atau Rp 2,5 Triliun per bulan.12 Namun, Menteri
Kehutanan memperkirakan bahwa aktivitas pembalakan liar telah merugikan negara sebesar
Rp 30 triliun atau 3,3 miliar dollar AS per tahun.Jumlah kerugian ini setara dengan 11% anggaran
Pemerintah Indonesia untuk mensubsidi bahan bakar minyak pada tahun 2004.Ada juga
data lain yang menyebutkan kerugian akibat Kejahatan kehutanan sebesar Rp 40
triliun (US$ 4 milliar) per tahun. 1)
Kalau
kita mau mengklaim bahwa Kejahatan
kehutanan merupakan tindak pidana korupsi, maka perbuatan tersebut harus
mencakup unsur‐unsur UU No. 31 Tahun 1999 jo UU
No. 20 Tahun 2001, Misalnya yang tercantum dalam pasal 2:
a. setiap orang
b. melawan hukum
c. memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi
d. dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara
Unsur melawan hukum dalam kasus Kejahatan kehutanan terkait dengan pelanggaran prosedur
penebangan berupa pelaksanaan di luar area yang dijinkan, melebihi kuota yang
dijinkan, dan penebangan yang tidak dilaporkan. Hal ini dapat dilihat dari
kasus penggarapan lahan untuk keperluan kelapa sawit di daerah Penajam Paser
Utara, Kalimantan Timur yang hanya diperkenankan menggarap seluas 16.085 hektar
ternyata merambah ke Wilayah Pasir dengan jumlah luasan penebangan mencapai
2.153 hektar. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) Kaltim, kerugian
negara ditaksir Rp 30 miliar. 2)
Unsur
memperkaya diri dapat dilihat bahwa dengan melakukan penebangan liar tersebut
si pelaku memperoleh keuntungan yang cukup besar. Perkiraan biaya bagi HPH
besar untuk mengeluarkan kayu legal di Indonesia (termasuk pajak ‘informal’
sebesar 20%) ke pintu pabrik sekitar US$ 85/m3, sedangkan biaya kayu ilegal
sebesar US$ 32/m3. Selisih yang cukup mencolok sebesar US$ 53/m3 jika dikalikan
jutaan meter kubik, tentu saja akan membuat para pelaku mendapat hasil yang
menggiurkan. Hasil riset yang dilaksanakan oleh Tropical Forest Management
Project (United Kingdom), juga menunjukkan ketimpangan manfaat ekonomi Kejahatan kehutanan, seperti
yang ditunjuk dalam tabel 1.
Perlu diingat disini bahwa mengacu
pada KUHP, Aturan Penutup yaitu pasal
103 KUHP yang berbunyi, “ Ketentuan –
ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan –
perbuatan yang oleh ketentuan perundang – undangan lainya diancam dengan
pidana, kecuali jika oleh undang – undang ditentukan lain”.Ini merupakan
landasan atas lex spesialis lex generalis,
yang berarti mengutamakan yang khusus dengan mengesampingkan yang umum ( yang
disebut lex spesialis disini adalah
Undang – undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sedangkan
lex generalis adalah KUHP
).Sehubungan dengan hal tersebut maka penerapan penerapannya mengacu pada
Undang – undang Kehutanan jo Undang – undang anti Korupsi.
Table 1. Perbandingan
Perincian Pembalakan Legal dan Ilegal yang Didasarkan pada Data di Indonesia
Tahun 1998
KOMPONEN
|
LEGAL LOGGING
|
ILLEGAL LOGGING
|
Harga
pasar dari kayu bulatX (US$/m3)
|
90
|
40
|
Biaya
Operasional
|
47
|
20
|
•
Tenaga Kerja
|
4
|
3,5
|
•
Kapital
|
17
|
x9,5
|
•
Bahan Bakar
|
7
|
7
|
•
Jalan
|
1
|
xx‐
|
•
Manajemen
|
18
|
x‐
|
Keuntungan
Sesudah Pajak
|
23
|
20
|
Pendapatan
pemerintah
termasuk
pajak
|
20
|
‐
|
SSumber
: Indonesia Corruption Watch (ICW)
Sedangkan
unsur ketiga “merugikan keuangan negara” dapat dikaitkan bahwa hutan merupakan
salah satu kekayaan negara. Mengambil pohon‐pohon
yang di luar prosedur dapat menyebabkan kerugian negara, mengingat hutan
merupakan salah satu sumber devisa. Padahal setiap pemegang izin usaha
pemanfaatan hutan, dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan
dana jaminan kinerja (Pasal 35 ayat 1 UU No. 41 tahun 1999). Di samping itu
mereka juga wajib menyediakan dana investasi untuk pelestarian hutan (Pasal 35
ayat 2 UU No. 41 tahun 1999). Dengan melakukan penebangan di luar prosedur,
maka para pelaku tidak membayar iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dana
jaminan kinerja yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Dengan
menggunakan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak hanya para pelaku
lapangan saja yang dapat terjerat hukum, para pemodal Kejahatan kehutanan pun dapat dijerat pasal tindak pidana
korupsi dengan mengetahui aliran dana. Peran PPATK dalam mengungkap aliran dana
hasil illegal yang berperan sentral untuk membawa para pemodal kayu illegal ke
meja persidangan
Para
pembeking yang berasal dari aparat negara yang melindungi kasus Kejahatan kehutanan pun dapat dijerat
dengan pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Pasal tersebut
menyatakan “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)”.
Ancaman
hukumannya pun lebih berat menggunakan UU Anti Korupsi. Di dalam UU tersebut
ancaman hukuman maksimal sampai 20 tahun, sedangkan UU Kehutanan ancaman
hukumannya sampai 15 tahun. Ancaman hukuman maksimal di UU Pengelolaan
Lingkungan Hidup lebih rendah lagi yakni 10 tahun.
Di samping itu, kalau kita hanya mengunakan UU Kehutanan,
aparat penegak hokum yang berwenang untuk melakukan penyidikan hanya
kepolisian. Jika aparat kepolisian menjadi beking dari pelaku Kejahatan kehutanan, maka kasus
tersebut tidak akan sampai ke tahap penuntutan oleh kejaksaan. Tetapi jika
menggunakan UU Anti Korupsi, aparat yang dapat melakukan penyidikan bertambah
banyak yakni bisa melibatkan kepolisian, kejaksaan, bahkan Komisi Pemberantasan
Korupsi (bila melibatkan penyelenggara negara). Dengan penegakan hokum yang
melibatkan banyak aparat, diharapkan kasus Kejahatan kehutanan dapat tertangani secara menyeluruh. Namun
sangat disayangkan, UU Anti Korupsi tersebut jarang digunakan untuk menjerat
pelaku‐pelaku Kejahatan
kehutanan. Dalam beberapa kasus, UU Anti Korupsi hanya dikenakan jika
pejabat telah mengkorup Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan
(PSDH).
Komisi
Pemberantasan Korupsi menyatakan kota/kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur
menempati peringkat tinggi dalam laporan kasus korupsi. Dari 40 ribu laporan
yang masuk, 1.254 buah di antaranya ihwal kasus korupsi. "Banyaknya
laporan sejak 2004 hingga sekarang," kata pejabat KPK, Bibit Samad Rianto,
di Balikpapan, Sabtu lalu, dalam acara diskusi publik di Balikpapan. Bibit
memaparkan, Kota Samarinda menempati posisi pertama di Kalimantan Timur untuk
kasus korupsi terbanyak. Jumlah laporannya mencapai 264 kasus. Disusul Kutai
Kartanegara 203 kasus, Berau 106 kasus, Bontang 100 kasus, dan Paser 95 kasus.
Komisi memilah penanganan kasusnya untuk ditangani sendiri atau dilimpahkan ke
institusi kejaksaan ataupun kepolisian.Beberapa kasus korupsi pejabat
Kalimantan Timur, di antaranya, yang melibatkan bekas Gubernur Kalimantan Timur
Suwarna Abdul Fatah, bekas Bupati Kutai Kartanegara Syaukani H.R., hingga Wakil
Bupati Kutai Kartanegara Samsuri Aspar. 3)
B. Penerapan Undang – undang Tindak Pidana
Korupsi dalam Menjerat Pelaku Kejahatan Kehutanan
Setiap perbuatan Kejahatan
Kehutanan yang telah ditentukan dan diancam
sebagaimana diatur dalam Undang - undang. Perbuatan Kejahatan Kehutanan yang dilakukan dapat dikatakan
merupakan perbuatan korupsi, apabila perbuatan tersebut telah mengarah kepada
kejahatn yang memperkaya diri sendiri atau orang lain dan atau merugikan
negara.
Akan tetapi hal tersebut harus
dibuktikan dengan apakah telah memenuhi unsur – unsur perbuatan Korupsi. Adapun
unsur – unsur perbuatan korupsi sebagaimana diatur dan diancam sebagai contoh
unsure dalam pasal 2 Undang – undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi :
a. setiap orang
b. melawan hukum
c. memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi
d. dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara
Sebagai contoh Penerapan
Undang – undang Anti Korupsi yaitu pada Kasus Suwarna AF (Gubernur Kaltim).
Kasus Posisi:
1. Suwarna AF
sebagai Gubernur Kaltim mencanangkan program lahan kelapa sawit di Kalimantan
Timur.
2. Yang
dipermasalahkan dalam kasus ini yakni Suwarna telah mengeluarkan tiga produk surat yang mengandung unsur korupsi dan dapat merugikan
keuangan negara.Pertama, surat
rekomendasi persetujuan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit kepada
11 perusahaan. Kedua, surat
persetujuan prinsip pembukaan lahan dan izin pemanfaatan kayu terhadap tiga
perusahaan PT Berau Perkasa Mandiri, PT Sebuku Sawit Perkasa dan PT Bumi
SimanggarisIndah. Ketiga, dispensasi garansi bank untuk 7 perusahaan yakni PT
Tirta Madu Sawit Jaya, PT Marsam Citra Adi Perkasa, PT Bulungan Hijau Perkasa,
PT Berau Perkasa Mandiri, PT Sebuku Sawit Perkasa, PT Bumi Simanggaris Indah
dan PT Kaltim Bakti Sejahtera. Perusahaan tersebut dibawah Surya Dumai Group
dengan pimpinan Martias. Tiga produk surat
itu. Kebijakan Suwarna diindikasikan bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yakni SK Menhutbun No.107/Kpts‐II/1999 tentang Perizinan Usaha Perkebunan dan SK Menhutbun
Nomor 538/Kpts‐II/1999 tentang Izin Pemanfaatan
Kayu.
3. Sejak 19 Juni
2006 Suwarna telah ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus
dugaan korupsi pelepasan ijin pembebasan lahan perkebunan kelapa sawit hektar.
Pra Peradilan:
Permohonan praperadilan ini
didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 12 Juli 2006.
Alasan permohonan praperadilan karena KPK telah bertindak sewenang‐wenang dalam melakukan penahanan dan telah melanggar asas
kepastian hukum dalam melakukan penyidikan perkara berkaitan dengan Program
Sawit Sejuta Hektar sampai dengan penahanan terhadap Pemohon. Karena KPK telah
melanggar penerapan UU secara bersurut (retroaktif). Larangan UU berlaku surut
diatur pasal 1 ayat 1 KUHP.
Putusan Pra Peradilan
Peradilan:
Hakim tunggal Kresna Menon
dalam sidang pembacaan keputusan praperadilan menyatakan penahanan yang
dilakukan KPK terhadap Suwarna adalah sah menurut hukum. Menurut hakim,
perintah penahanan, penahanan lanjutan atau perpanjangan penahanan yang
diajukan oleh penyidik KPK telah memenuhi syarat‐syarat
subjektif dan objektif. Mengenai adanya penafsiran tentang syarat subjektif,
Kresna menilai karena alasan subyektif tidak djelaskan secara rinci dalam
aturan hukum pidana, maka alasan subyektif untuk melakukan penahanan bias
ditafsirkan sendiri oleh lembaga yang berwenang melakukan penahanan. KPK
dianggap telah menjalankan prosedur seperti yang diatur dalam hukum acara
karena sudah terlebih dahulu mengeluarkan surat
perintah penahanan yang juga telah ditembuskan kepada keluarganya. Ia juga
menilai materi yang diajukan pemohon, seperti masalah KPK yang dinilai
melanggar asas retroaktif dan penetapan pemohon sebagai tersangka dinilai bukan
obyek pemeriksaan praperadilan.
Selain itu, hakim menilai
KPK telah memiliki alat bukti yang cukup sesuai pasal yang disangkakan kepada
pemohon, yaitu pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidanan Korupsi tentang perbuatan memperkaya diri sendiri,
orang lain atau korporasi secara melawan hukum, atau tentang penyalahgunaan
wewenang.
Dakwaan
Dalam sidang yang digelar
di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itu, penuntut umum KPK mendakwa Suwarna
telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 346,8 miliar. Menurut penuntut umum,
kerugian tersebut diakibatkan serangkaian perbuatan Suwarna dalam kurun waktu
sejak Agustus 1999 sampai Desember 2002. Perbuatan Suwarna yang dinilai
penuntut KPK melanggar mulai dari pemberian rekomendasi areal perkebunan sawit,
memberikan persetujuan sementara Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Perkebunan
(HPHTP sementara) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), hingga memberikan
persetujuan prinsip pembukaan lahan dan pemanfaatan kayu. Suwarna juga dianggap
telah menyalahi aturan ketika memberikan dispensasi kewajiban penyerahan
jaminan bank (Bank Garansi) kepada perusahaan yang tergabung dalam Surya Dumai Group
yang dikendalikan Martias alias Pung Kian Hwa tanpa mengindahkan peraturan
teknis bidang kehutanan.
Selain itu, Suwarna juga
memberi perintah secara lisan kepada Kepala Kantor Wilayah Kehutanan dan
Perkebunan Propinsi Kaltim serta Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Kaltim untuk
menerbitkan IPK yang belum memenuhi syarat kepada Surya Dumai Group. Dengan
mengantongi IPK tersebut, Martias pada kenyataannya tidak melaksanakan
pembangunan perkebunan kelapa sawit. Tapi hanya memanfaatkan IPK guna mengambil
kayu pada areal hutan yang direkomendasikan untuk perkebunan. Hasilnya, Martias
memperoleh kayu sebanyak 692 meter kubik senilai Rp 346,8 miliar.
Tindakan Suwarna tersebut oleh
penuntut dalam dakwaan primairnya diancam dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18
UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah
dengan UU 20/2001 (UU Korupsi) jo Pasal 55 ayat (1) ke‐1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam dakwaan subsidairnya,
Suwarna dianggap menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya dengan serangkaian perbuatan yang memberikan ijin kepada Surya Dumai
Group untuk pembukaan lahan dan pemanfaatan kayu. Perbuatan ini diancam Pasal 3
jo Pasal 18 UU Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke‐1 KUHP jo
Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Tuntutan
Tuntutan digelar pada
tanggal 2 Maret 2007. Penuntut Umum KPK menuntut Gubernur Kalimantan Timur
Mayjend (Purn) Suwarna Abdul Fatah 7 tahun penjara dan denda Rp200 juta
subsider kurungan 6 bulan. Terdakwa melanggar pasal 2 ayat (1) jo pasal
18 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan UU 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke‐1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Terdakwa kasus
korupsi pelepasan ijin pembebasan seribu hektar lahan perkebunan kelapa sawit ini
dinilai tidak menikmati sendiri hasil korupsinya. Justru Martias alias Pung
Kian Hwa, pengendali sejumlah perusahaan yang tergabung dalam Surya Dumai
Group, yang menikmati hasil korupsi Suwarna. Merujuk pada perhitungan ahli
BPKP, Penuntut KPK menaksir Suwarna telah memperkaya Martias sebesar Rp 5,16
miliar atau korporasi sebesar Rp578 miliar yangberasal dari penjualan kayu
perusahaan‐perusahaan yang bernaung di bawah Surya Dumai Group (SDG),
atau setidak‐tidaknya sebesar Rp346 miliar. Angka‐angka tersebut menunjukkankerugian yang ditanggung negara.
Menurut Penuntut KPK, kerugian tersebut diakibatkan serangkaian perbuatan
Suwarna sejak Agustus 1999 hingga Desember 2002. Pelanggaran hukum dilakukan
Suwarna ketika memberikan persetujuan sementara Hak Pengusahaan Hutan Tanaman
Perkebunan (HPHTP sementara) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), hingga memberikan
persetujuan prinsip pembukaan lahan dan pemanfaatan kayu.
Suwarna juga dianggap telah
menyalahi aturan ketika memberikan dispensasi kewajiban penyerahan jaminan bank
(Bank Garansi) kepada sejumlah perusahaan yang tergabung dalam Surya Dumai
Group yang dikendalikan Martias tanpa mengindahkan peraturan teknis bidang
kehutanan.
Selain itu, Suwarna juga
memberi perintah secara lisan kepada Kepala Kantor Wilayah Kehutanan dan
Perkebunan Propinsi Kaltim serta Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Kaltim untuk
menerbitkan IPK yang belum memenuhi syarat kepada Surya Dumai Group. Dengan
mengantongi IPK tersebut, Martias pada kenyataannya tidak melaksanakan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Tapi
hanya memanfaatkan IPK guna mengambil kayu pada areal hutan yang
direkomendasikan untuk perkebunan. Belakangan terungkap, proyek pembukaan lahan
itu terbengkalai. Yang aneh, sebagian besar lahan sudah ditebangi kayunya, tapi
tidak ditanami kelapa sawit.
Putusan
Pengadilan Tingkat Pertama
Majelis hakim yang diketuai
Gus Rizal hanya menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp200
juta subsidair tiga bulan kurungan. Majelis hakim menyatakan Suwarna terbukti
melakukan tindak pidana korupsi terkait pelepasan izin pembebasan lahan
perkebunan kelapa sawit seribu hektar. Pidana uang pengganti tidak dikenakan
karena tidak ada fakta persidangan yang menyatakan Suwarna menikmati hasil
tindak pidana korupsi yang dilakukannya.
Walaupun terbukti melakukan
tindak pidana korupsi, majelis hakim menilai perbuatan Suwarna tidak memenuhi
unsur‐unsur Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana
dakwaan primair JPU Majelis hakim justru berpendapat dakwaan subsidair yakni
Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang terbukti.
Putusan ini diwarnai dengan
pendapat berbeda atau dissenting opinion dari salah seorang anggota
majelis, Slamet Subagio. Slamet menyatakan tidak setuju dengan pendapat
mayoritas majelis hakim yang menyatakan perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur‐unsur pasal dalam dakwaan primair. Dalam pertimbangannya,
majelis hakim menyatakan berdasarkan fakta persidangan terungkap bahwa Suwarna
telah membuat sejumlah kebijakan dalam rangka Program Pembangunan Perkebunan
Kelapa Sawit Sejuta Hektar Kalimantan Timur. Kebijakankebijakan tersebut
diantaranya diberikan kepada sejumlah perusahaan yang ternyatatergabung dalam
Surya Dumai Grup.
Kebijakan dimaksud antara
lain penerbitan surat
persetujuan prinsip pembukaan lahan dan pemanfaatan Kayu, rekomendasi areal
perkebunan sawit, persetujuan sementara hak pengusahaan hutan tanaman
perkebunan (HPHTP sementara), izin pemanfaatan kayu (IPK), dan dispensasi
kewajiban penyerahan jaminan bank garansi dana reboisasi (DR) dan provisi
sumber daya hutan (PSDH).
Majelis hakim berpendapat
perbuatan Suwarna belum dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan yang melanggar
hukum karena beberapa kebijakan yang dibuatnya seperti surat persetujuan prinsip pembukaan lahan dan
pemanfaatan Kayu dan persetujuan HPHTP sementara belum ada dasar hukumnya.
Pertimbangan majelis hakim diantaranya didasarkan pada keterangan ahli Soeparno
dari Biro Hukum Departemen Kehutanan yang menyatakan HPHTP sementara, sejauh
ini tidak ada dasar hukumnya.
Sementara itu, untuk
dakwaan subsidair, majelis hakim menegaskan bahwa kebijakan‐kebijakan yang dibuat Suwarna terbukti telah melampaui
kewenangannya sebagai Gubernur Kaltim. Sebagai contoh, kebijakan menerbitkan surat persetujuan prinsip
pembukaan lahan dan pemanfaatan Kayu yang semestinya bukan kewenangan seorang
Gubernur atau Kepala Daerah.
Berdasarkan Pasal 9 ayat
(1) SK Menhut No. 107/Kpts‐II/1999 tanggal 3 Maret 1999
tentang Perizinan Usaha Perkebunan, maka izin usaha perkebunan berskala besar
diterbitkan oleh Menhut. Padahal, usaha perkebunan yang dijalankan perusahaan‐perusahaan Surya Dumai Grup masuk kualifikasi usaha
perkebunan skala besar karena lebih dari 10 ribu hektar. Selain itu, majelis
juga menyatakan kebijakan‐kebijakan yang dibuat Suwarna
terbukti secara nyata telah menguntungkan orang lain yakni Martias alias Pung
Kian Hwa yang tidak lain adalah pimpinan Surya Dumai Grup.
Terkait unsur kerugian
negara, majelis hakim berpendapat perhitungan kerugian negara yang dilakukan
oleh ahli dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak valid.
Pasalnya, ahli BPKP hanya menghitung kerugian negara berdasarkan data‐data yang dimiliki penyidik KPK dan tidak melakukan
penelusuran ke lapangan.
Perhitungan ahli BPKP tidak
melingkupi fakta adanya tunggakan sejumlah perusahaan Surya Dumai Grup sebesar
Rp5.7 milyar untuk PSDH dan Rp1,5 milyar untuk DR yang telah dibayar lunas.
Akibatnya, jumlah kerugian negara Rp346.823.970.564,24 yang diperoleh ahli BPKP
kurang akurat dan oleh karenanya dikesampingkan oleh majelis hakim.
Selanjutnya, majelis hakim dalam menghitung kerugian negara mendasarkan pada
keuntungan yang diperoleh Surya Dumai Grup akibat diterbitkannya pemberian IPK
yang tidak sesuai dengan aturan. Majelis hakim merujuk pada keterangan Martias
dalam BAP penyidik KPK pada 3 Mei 2006 yang menyatakan keuntungan yang
diperoleh sebesar Rp5.167.723.032.
Pengadilan Tingkat Banding:
Jika pengadilan tingkat
pertama memvonis Suwarna 18 bulan penjara dengan dakwaan subsider, maka
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru menghukum Suwarna empat tahun penjara dan
denda Rp 250 juta subsider dua bulan. Majelis hakim perkara Suwarna yang
terdiri atas Suratno, Iswari, Widodo, Abdurrahman Hasan, dan Ny Amik membacakan
vonis terhadap Suwarna pada 26 Juni 2007. Majelis hakim menilai Suwarna
terbukti melanggar dakwaan primer, yaitu melanggar Pasal 2 Ayat 1 Undang‐Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. 4)
Mengenai hukuman yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terlepas dari hal –
hal yang memberatkan dan meringankan hukuman yang dijatuhkan terhadap seseorang
yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
korupsi. Melakukan tindak pidana korupsi dengan, jika
pengadilan tingkat pertama memvonis Suwarna 18 bulan penjara dengan dakwaan
subsider, maka Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru menghukum Suwarna empat
tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider dua bulan.
Seharusnya hukuman yang dijatuhkan harus diperberat, karena tindakan
tersebut telah merusak hutan dan tindak pidana korupsi dan merupakan perbuatan
amoral. Apabila hukuman yang dijatuhkan terlalu ringan, maka akan membawa kesan
betapa lemahnya hukum kita dan sekaligus terjadi pelecehan terhadap norma hukum
yang berlaku.
Untuk itu penulis berharap seyogyanya terhadap terdakwa pelaku tindak
pidana korupsi yang dikaitkan dengan kejahatan kehutanan dijatuhi hukuman yang
cukup berat, agar dikemudian hari tidak lagi akan mengulangi perbuatan yang
serupa atau bisa dijadikan pelajaran bagi para pelaku korupsi yang lainnya.Dengan
pertimbangan dampak dan akibat dari kerusakan hutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar