GUGURNYA
KEWENANGAN MENUNTUT DAN MENJALANKAN PIDANA
A. GUGURNYA KEWENAGAN MENUNTUT.
Pada prinsipnya kewenangan
melakukan penuntutan hadir seketika ada dugaan terjadinya tindak pidana. Disini
dianggap bahwa kepentingan umum dianggap langsung terkena sehingga pihak yang
terkena tindak pidana itu harus menerima adanya penuntutan sekalipun ia sendiri
tidak menghendakinya. Namun demikian terdapat beberapa hal yang menjadi dasar
atas gugurnya kewenangan jaksa untuk melakukan penuntutan menurut KUHP adalah :
a.
Tidak
adanya pengaduan dalam hal delik aduan (pasal 72-75 KUHP)
b.
Ne
bis in idem (pasal 76 KUHP)
c.
Matinya
terdakwa (pasal 77 KUHP)
d.
Daluwarsa
(pasal 78 KUHP)
e.
Telah
ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang
hanya diancam dengan denda saja (pasal 82 KUHP).
Sementara
ketentuan diluar KUHP adalah :
a.
Abolisi
b.
Amnesti
Delik Aduan.
Kewenangan
melakukan penuntutan pada prisipnya tidak berhubungan dengan kehendak
perorangan kecuali dalam beberapa delik tertentu diantaranya perzinahan (pasal
284), persetubuhan terhadap anak dibawah umur (pasal 287-288), untuk melarikan
wanita (pasal 332), pencemaran nama baik (319) dan lain-lain.
I.1. Bentuk Delik Aduan
Dalam ilmu
pengetahuan hukum pidana, delik aduan dibagi dalam dua bentuk :
a.
Delik
Aduan Absolut
Dalam
hal dianggap bahwa kepentingan orang yang terkena tindak pidana itu melebihi
kerugian yang diderita oleh umum, maka hukum memberikan pilihan kepadanya untuk
mencegah atau memulai suatu proses penuntutan.
Misal
:
Seorang
perempuan muda yang telah disetubuhi boleh memilih untuk menikahi laki-laki
yang menyetubuhinya daripada pelaku dijatuhi pidana.
Delik
aduan absolute ini dapat dijumpai antara lain dalam ketentuan pasal 293
(perbuatan cabul terhadap anak dibawah umur) pasal 322 (pelanggaran kewajiban
menyimpan rahasia), pasal 335 (1) & (2) (perbuatan tidak menyenangkan) atau
pasal 369 (pengancaman).
b.
Delik
Aduan relative
Karakter
delik aduan ini tidak terletak pada sifat kejahatan yang dilakukan melainkan
pada hubungan antara pelaku / pembantu dan korban. Baik hubungan karena
keturunan / darah atau dalam hal hubungan perkawinan. Dalam hal relasi antara
sifat keperdataan yang lahir dari h8ubungan tersebut dapat menjadi alasan dalam
mencegah terjadinya penuntutan. Kebanyakan delik-delik ini terkait dengan delik
dibidang harta benda (pasal 367 KUHP).
II.2.
Yang berhak mengadu (subyek).
Ketentuan umum dalam pasal 72 KUHP
menentukan :
1)
Jika
ybs. Belum 18 th / belum cukup umur / dibawah pengampunan (pasal 72) :
·
Oleh
wakil yang sah dalam perkara perdata;
·
Wali pengawas / pengampu
·
Istrinya
·
Keluarga
sedaraj garis lurus
·
Keluarga
sedarah garis menyimpang sampai derajat ke-3
2)
Jika
ybs meninggal pasal 73 oleh :
·
Orang
tuanya
·
Anaknya,
atau
·
Suami
/ istri (kecuali ybs tidak menghendaki).
Disamping
ketentuan umum tersebut diatas , ada pula ketentuan-ketentuan khusus, misalnya
:
v Untuk perzinahan
(pasal 284).
Yang
berhak mengadu hanya suami / istri yang tercemar (ketentuan pasal 72 dan 73
diatas tidak berlaku).
Penarikan
kembali pengaduan dapat dilakukan, sewaktu-waktu, selama pemeriksaan dalam
siding pengadilan belum dimulai (ayat 4). Jadi ketentuan pasal 75 KUHP tidak
berlaku.
v Untuk melarikan
wanita (pasal 332)
Yang
berhak mengadu :
Ø Jika belum cukup umur
oleh : wanita ybs, atau orang yang harus memberi ijin bila wanita itu kawin
Ø Jika sudah cukup
umur, oleh : wanita ybs, atau suaminya.
II.3. Tenggang waktu pengajuan pengaduan (pasal 74)
a.
Bertempat
tinggal di Indonesia 6 bulan sejak mengetahui
b.
Bertempat
tinggal di luar Indonesia 9 bulan sejak mengetahui adanya kejahatan.
II.4. Penarikan kembali aduan.
Dibuatnya suatu pengaduan tidak dengan serta
merta berarti bahwa ijin memberikan kewenangan penuntutan dilakukan secara
final. Memang selayakanya pengaduan mencakup pelaporan (aangifte) dengan permohonan dilakukannya penuntutan (verzoek tot vervolging). Bila pengaduan
sudah disampaikan, pada dasarnya jaksa penuntut umum tak perlu menunggu
lewatnya daluarsa menarik adauan, meskipun undang-undang memberikan jangka
waktu 3 bulan (pasal 75). Akan tetapi jika aduan tersebut ditarik kembali, maka
kewenangan menuntut menjadi hapus.
B. NE BIS IN IDEM (PASAL 76)
Arti sebeanarnya dari
neb is in idem ialah “tidak atau jangan dua kali yang sama”. Sering juga
digunakan istilah “nemodebet bis vexari”
(tidak seorangpun atas perbuatnya dapat diganggu / dibahayakan untuk kedua
kalinya) yang dalam literature Angka Saxon diterjemahkan menjadi “No one could be put twice in jeopardy for
tha same offerice”.
Dasar pikiran atau
ratio dari azas ini ialah :
a)
Untuk
menjaga martabat pengadilan (untuk tidak memerosotkan kewibawaan Negara);
b)
Untuk
rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan.
Diakuinya azas Neb is
in idem ini terlihat dalam rumusan pasal 76 KUHP yang berbunyi (ayat (1) sub 1)
sbb :
“Kecuali dalam hal
putusan haikm masih mungkin diulangi (herzeining),
orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia
terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap”.
Dengan demikian
penuntutan terhadap seseorang dapat hapus berdasar neb is in idem, apabila
dipenuhi syarat-syarat sbb :
Ø Ada putusan yang
berkekuatan hukum tetap;
Ø Orang terhadap siap
putusan itu dijatuhkan adalah sama;
Ø Perbuatan (yang
dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
Dengan adanya syarat
ini berarti terhadap putusan tersebut harus sudah tidak ada alat hukum / upaya
hukum (rechtsmiddel) yang dapat
dipakai untuk merubah keputusan tersebut. Ada pendapat bahwa peninjauan kembali
(herzeining) merupakan salah satu
upaya hukum, sehingga pengecualian yang tersebut dalam pasal 76 itu (yaitu
adanya herzeining merupakan
pengecualian terhadap azas ne bis in idem)
sebenarnya tidak perlu. Jadi menurut pendapat ini, dengan adanya herzeining berarti putusan itu memang
belum berkelanjutan dari tuntutan hukum yang pertama, jadi bukan merupakan
tuntutan hukum yang kedua kali.
B.1. Adanya putusan hakim yang
berkekuatan hukum tetap;
Keputusan hakim (yang
berkekuatan hukum tetap) yang dimaksud disini adalah keputusan terhadap
perbuatan atau perkara ybs, yaitu yang dapat berupa :
I.
Pembebasan
(vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP
(dulu 313 RIB).
II.
Pelepasan
dari segala tuntutan hukum (ontslag van
allerechtvervolging) pasal 191 ayat (2) KUHAP (dulu 314 RIB);
III.
Penjatuhan
pidana pasal 193 ayat (1) KUHAP (dulu 315 RIB).
Jadi
keputusan-keputusan tersebut sudah mengandung penentuan terbukti tidaknya
tindak pidana atau kesalahan terdakwa. Azas ne bis in idem tidak berlaku untuk
keputusan hakim yang belum berhubungan dengan pokok perkara, yang biasanya
disebut “penetapan-penetapan” (beschikking),
misalnya :
a.
Tentang
tidak berwenangnya hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan;
b.
Tentang
tidak diterimanya tuntutan Jaksa karena terdakwa tidak melakukan kejahatan;
c.
Tetang
tidak diterimanya perkara karena penuntutan sudah daluwarsa.
Adanya
penetapan-penetapan serupa itu tidak merupakan alasan untuk adanya neb is in
idem. Jadi pasal 76 KUHP tidak mengenai penetapan-penetapan. Perlu pula
diperhatikan bahwa putusan-putusan hakim seperti dikemukakan diatas adalah
putusan yang menyangkut perkara pidana, jadi keputusan mengenai hukum pidana.
Apabila misalnya
seorang pengendara motor menabrak penjual soto dan dia dituntut secara perdata
untuk memberi ganti rugi, maka putusan hakim mengnai hal ini tidak menghalangi
untuk dilakukannya penuntutan dalam perkara pidananya. Jadi dalam hal ini tidak
ada neb is in idem.
Begitu pula
sebaliknya, apabila yang diputus adsalah perkara pidananya lebih dulu, maka
putusan ini tidak merupakan alasan untuk neb is in idem dalam perkara gugatan
perdata. Jadi tegasnya pasal 76 KUHP hanya berlaku untuk perkara-perkara
pidana.
Adanya keputusan
hakim yang menjadi syarat neb is in idem ini tidak hanya keputusan hakim
Indonesia, tetapi dapat juga keputusan hakim Negara lain (hakim asing). Hal ini
disebut dalam pasal 76 (2) dengan syarat putusan hakim asing tersebut harus
berupa :
a)
Putusan
yang berupa pembebasan;
Dengan
syarat-syarat diatas, maka apabila keputusan hakim asing yang berupa pemidanaan
baru sebagian dijalani, maka orang tersebut di Indonesia dapat dituntut lagi.
Dalam pengertian “telah dijalani seluruhnya” putusan hakim asing itu, menurut
Pompe termasuk pidana bersyarat (V.V. = voorwaardelijke
veroordelling) dan pelepasan bersyarat (V.I.
= voorwaardelijke invrijheidstelling).
b)
Putusan
yang berupa pelepasan dari tuntutan hukum;
Orang
yang dituntut harus sama. Ini merupakan segi subyektif dari persyaratan neb is
in idem. Apabila misalnya A dan B melakukan tindak pidana bersama-sama, akan
tetapi yang tertangkap dan dituntut pidana baru A, maka dalam hal B kemudian
tertangkap ia tetap masih dapat dituntut walaupun misalnya A dibebaskan.
c)
Putusan
berupa pemidanaan :
-
Yang
sekuruhnya telah dijalani, atau
-
Yang
telah diberi ampun (grasi), atau;
-
Yang
wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena kadaluwarsa.
B.2.
Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus
terdahulu itu.
Harus ada feit / perbuatan yang sama. Ini segi obyektif dari neb
is in idem (objective identiteit).
Masalah ini merupakan masalah yang paling sukar, seperi halnya dijumpai dalam concursus/ gabungan tindak pidana.
Misal :
A
melakukan pemerkosaan dijalan umum (pasal 285 dan 281). Seandainya Jaksa hanya
menuntut berdasar pasal 285 (perkosaan) saja dan ternyata tidak terbukti,
sehingga terdakwa lepas dari segala tuntutan, maka apakah Jaksa masih dapat
menuntut yang kedua kalinya berdasar pasal 281 (melanggar kesusilaan dimuka
umum) ? dan pakah putusan yang pertama merupakan res judicata (putusan yang neb is in idem)?
Jawaban
terhadap masalah ini tergantung atau berkisar pada apa yang dimaksud dengan “feit”. Kalau kasus diatas dipandang
sebagai concursus realis, sehingga
dapat dikatakan terdakwa melakukan beberapa perbuatan, maka dimungkinkan ada
penuntutan lagi. Akan tetapi apabila dipandang sebagai concursus idealis, dimana hanya dipandang ada satu perbuatan, maka
hanya dimungkinkan adanya satu kali penuntutan saja.
Catatan :
-
Apabila dipandang sebagai concursus realis, maka tidak ada
neb
is in idem;
-
Apabila dipandang sebagai concursus idealis, maka ada neb is
in idem;
Dalam
yurisprudensi, ajaran feit materiil
pada neb is in idem telah ditinggalkan pada
tahuan 1932, yaitu dengan Arrest HR 27 Juni 1932.
Kasusnya
: Orang yang sedang mabuk ditempat umum mengganggu ketentraman umum, telah
memukul dada dan menendang kaki seorang anggota polisi yang sedang menjalankan
tugasnya.
Mula-mula
terdakwa diputus dan dipidana karena menganiaya polisi (pasal 356 sub. 2),
kemudian oleh jaksa dituntut lagi mengenai menggangu ketentraman umu dalam
keadaan mabuk (pasal 492). Tuntutan kedua ini oleh pengadilan diterima dan
terdakwa dijatuhi pidana. Terdakwa banding, dan pengadilan tinggi menyatakan
ada ne bis in idem. Jaksa mengajukan kasasi ke Hoge Raad dengan mengatakan
bahwa perbuatan terdakwa itu merupakan dua perbuatan dipandang dari sudut hukum
pidana, jjadi disini tidak ada perbuatan yang sama, seperti dimaksud dalam
pasal 76 HR melihat disini juga ada 2 perbuatan yang mempunyai cirri yang
berlainan, sehingga tuntutan jaksa dapat diterima.
Persoalan
feit / perbuatan pada pasal 76,
disamping berlkaitan erat de4ngan masalah concursus, juga berhubungan dengan
masalah, alternativitas dalam tuduhan
dapat meliputi masalah :
a.
Perbuatannya/ketentuan
yang dilanggar :
Misal
: perbuatan A sebenarnya dapat dikualifisir dalam 3 kemungkinan yaitu :
1)
Dengan
sengaja menghilangkan nyawa orang lain (pasal 338),
2)
Karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain (pasal 359),
3)
Dengan
sengaja menganiaya yang berakibat mati (pasal 351 ayat (3)).
b.
Waktu
terjadinya tindak pidana
Misal
seorang dituntut telah melakukan pencurian pada tgl 1 Juni 1979, tetapi didalam
surat tuduhan tercantum tgl 1 Juli 1979. apabila terdakwa dibebaskan unutk
tuduhan pencurian tercantum tgl. 1 Juni, Jaksa tidak dapat menuntut lagi
berdasar tgl. Yang betul. Disini ada neb is in idem. Dalam hala ini sebenarnya
sebelum ada putusan, jaksa dapat mengajukan permintaan unutk “merubah surat
tuduhan berdasar pasal 282 HIR, asal Feitnya tetap.
c.
Tempat
terjadinya tindak pidana.
Misal
semula terdakwa dituduh mencuri di taman Diponegoro, kemudian dibebaskan. Jaksa
kemudian mengajukan tuduhan lagi. Berdasar tempat pencurian yang sebenarnya
dilakukan yaitu di Stadion Diponegoro. Disinipun ada neb is in idem.
Kesukaran
dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perkataan ”feit” dirubah menjadi “strafbaar
feit”. Dengan perubahan ini menurut Pompe, penerapan pasal 76 lebih mudah.
Namun diakui bahwa itu berarti menyempitkan berlakunya pasal 76, artinya
kemungkinana penuntutan kembali menjadi longgar. Tetapi menurut Pompe, halangan
dalam penuntutan baru, dapat lebih merugikan kepentingan umum dari pada
mengulangi percobaan untuk penerapan undang-undang pidana dengan
setepat-tepatnya.
C. MATINYA TERDAKWA (PASAL 77) DAN MATINYA TERPIDANA (PASAL
83).
Hal ini wajar karena
KUHP berpendirian bahwa yang dapat menjadi subyek hukum hanyalah orang dan
pertanggungan jawab bersifat pribadi. Dalam hal ini tidak ada suatu
tanggungjawab pidana diwariskan. Konsekwensi dari pemikiran ini adalah bahwa
kematian seorang tersangka atau terdakwa menyebabkan kewenangan seorang Jaksa
penuntut menjadi gugur. Sementara kematian seseorang terpidana menyebabkan
kewajiban menjalankan pidana menjadi terhapuskan.
D. DALUWARSA (VERJARING).
D.1
Daluwarsa Penuntutan.
Ditetapkannya lemabga
daluarsa penuntutan dalam KUHP pada dasarnya dilandasi oleh beberapa pemikiran
yaitu :
v Dalam kenyataannya
perputaran waktu tidak hanya secara perlahan menghapuskan akibat tindak pidana
yang terjadi akan tetapi juga mengahpuskan keinginan untuk melakukan
pembalasan.
v Berjalannya waktu
sekaligus menghapuskan jejak-jejak tindak pidana yang menyebabkan kesulitan
pembuktian.
v Bahwa pelaku setelah
bertahun-tahun menyembunyikan diri sudah cukup terhukum dengan kehidupan yang
tidak tenang dan penuh kecemasan.
Namun demikian yang
utama dari ketiga lasan itu adalah kebutuhan untuk memidana dan kesulitan
pembuktian menjadi alasan utama. Karena itu adagium
punier non (simper) necesse est (menghukum tidak selamanya perlu) menajdi
dasar dari keberadaan lembaga ini.
D.1.1.
Tenggang Waktu Daluwarsa Penuntutan.
Tenggang waktu daluwarsa ditetapkan dalam
pasal 78 (1), yaitu :
·
Untuk
semua pelanggaran dan kejahatan percetakan : sesudah 1 tahun;
·
Untuk
kejahatan yang diancam denda, kurungan atau penjara maksimum 3 tahun :
daluwarsanya sesudah 6 tahun;
·
Untuk
kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun daluwarsanya 12 tahun;
·
Untuk
kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup : daluwarsanya sesudah 18
tahun.
Menurut pasal 79,
tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali
dalm hal-hal tertentu yang disebut dalam pasal tersebut yang menyangkut vorduurende delict (delik berlangsung
terus lihat penjelasan dalam bab tetang jenis delik). Adapun yang diatur dalam
pasal 79 adalah :
-
Kejahatan
terhadap mata uang (pasal 244) perhitungan daluwarsa didasarkan pada waktu
setelah uang dipakai atau diedarkan;
-
Kejahatan
terhadap kemerdekaan seseorang (pasal 328, 329, 330 dan 333), daluwarsa
dihitung keesokan hari setelah orang tersebut dibebaskan atau ditemukan
meninggal dunia;
-
Kejahatan
terhadap register kependudukan (pasal 556-558 a), sehari setelah data tersebut
dimasukkan dalam catatan register.
D.1.2. Pencegahan dan penangguhan.
a. Pencegahan (stuiting).
Menurut pasal 80 (1)
tenggang daluwarsa terhenti / tercegah (gestuit) apabila ada tindakan
penuntutan (daad van vervolging). Pada mulanya tindakan penuntutan diartikan
secara luas yaitu mencakup juga tindakan-tindakan pengusutan (daad van
opsporing). Tetapi yurisprudensi kemudian menerima pendapat yang lebih sempit,
yaitu hanya perbuatan-perbuatan penuntut umum yang langsung menyangkutkan
hakimdalam acara pidana (misal menyerahkan perkara ke siding, mendakwa /
mengajukan tuduhan, memohon revisi), jadi tindakan pengusutan tidak lagi
dianggap termasuk tindakan penuntutan. Menurut pasal 80 (2) sesudah terjadinya
pencegahan (stuiting) mulai berjalan
tenggang daluwarsa yang baru, jadi selama terhentinya selama ada tindakan
penuntutan tenggang waktunya tidak dihitung.
b. Penangguhan (scorsing).
Menurut pasal 81 (1)
tenggang daluwarsa penuntutan tertunda/tertangguhkan (geschorst) apabila ada perselisihan praejudisiil, yaitu
perselisihan menurut hukum perdata yang terlebih dulu harus diselesaikan
sebelum acara pidana dapat diteruskan. Dalam hal ada penundaan/pertangguhan
(schorsing) maka tenggang waktu yang telah dilalui, sebelum diadakannya
penundaan, tetap diperhitungkan terus. Hanya saja selama acara hukum perdata
berlangsung dan belum selesai, tenggang daluwarsa tuntutan pidana,
dipertangguhkan. Hal ini dimaksudkan agar terdakwa tidak diberi kesempatan
untuk menunda-nunda penyelesaian perkara perdatanya dengan perhitungan dapat
dipenuhinya tenggang daluwarsa penuntutan pidana.
D.2. Daluwarsa Pemidanaan.
Sama dengan daluarsa penuntutan maka
landasan pemikiran atas daluarsa pemidanaan didasarkan kepada dua hal yaitu :
1.
dalam
kenyataannya perputaran waktu tidak hanya secara perlahan menghapuskan akibat
tindak pidana yang terjadi akan tetapi juga menghapuskan keinginan unutk
melakukan pembalasan
2.
bahwa
pelaku setetlah bertahun-tahun menyembunyikan diri sudah cukup terhukum dengan
kehidupan yang tidak tenang dan penuh kecemasan.
Perbedaannya disini
adalah alasan kesulitan pembuktian tetunya tidak lagi relevan disini.
D.2.1.
Daluwarsa kewenangan menjalankan pidana.
Tenggang waktu daluwarsanya diatur dalam pasal 84
(2), yaitu :
v untuk semua
pelanggaran : daluwarsanya 2 tahun.
v Untuk kejahatan
percetakan : daluwarsanya 5 tahun.
v Untuk kejahatan
lainnya : daluwarsanya sama dengan daluwarsa penuntutan (lihat pasal 78 )
ditambah sepertiga.
Pada
ayat (3) ditetapkan bahwa :
“tidak
ada daluwarsa untuk kewenangan mejalankan hukuman mati”.
Menurut
pasal 85 (1) tenggang daluwarsa dihitung mulai pada keesokan harinya sesudah
putusan hakim dapat dijalankan. Ini tidak sama dengan putusan hakim yang
inkracht van gewijsde (putusan ayat berkekuatan tetap). Pada umumnya memang
putusan hakim yang berkakuatan hukum tetap. Tetapi ada putusan hakim yang sudah
dapat dieksekusi sebelum keputusan itu berkekuatan tetap, yaitu
“verstek-vonnis” (keputusan diluar hadirnya terdakwa).
D.2.2. Pencegahan Dan Penagguhan Daluwarsa
Pemidanaan.
a.
pencegahan
(stuiting)
pencegahan
(stuiting) terhadap daluwarsa hak untuk menjalankan / mengeksekusi pidana dapat
terjadi dalam dua hal (pasal 85 ayat (2)) yaitu :
1)
Jika
terpidana melarikan diri selama menjalani pidana.
Dalam
hal ini, tenggang daluwarsa baru dihitung pada keesokan harinya setelah
melarikan diri.
2)
Jika
pelepasan bersyarat dicabut
Dalam
hal ini, maka pada esok harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang
daluwarsa baru.
Dengan
demikian selama ada pencegahan, maka jangka lewat waktu yang telah dilalui
hilang sama sekali (tidak dihitung).
b.
penagguhan
(schorsing).
Penundaan (schorsing) terhadap daluwarsa
hak untuk mengeksekusi pidana dapat terjadi dalam dua hal (pasal 33 ayat (3)
yaitu :
Ø selama perjalanan
pidana ditunda menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Ø selama terpidana
dirampas kemerdekaannya (ada calon tahanan), walaupun perampasan kemerdekaan
itu berhubung dengan pemidanaan lain.
A. Ketentuan Gugurnya
Kewenangan Menuntut Dan Menjalankan Pidana di luar KUHP.
E.1.
Grasi.
Grasi
tidak menghilangkan putusan hakim ybs. Keputusan hakim tetap ada, tetapi
pelaksanaannya dihapuskan atau dikurangi / diringankan. Jadi grasi dari
presiden, dapat berupa :
·
Tidak
mengeksekusi seluruhnya,
·
Hanya
mengeksekusi sebagian saja
·
Mengadakan
komutasi yaitu jenis pidananya diganti, misal penjara diganti kurungan,
kurungan diganti dengan denda, pidana mati diganti penjara seumur hidup.
Dasar
pemikiran lembaga grasi menurut Remelink adalah keadaan pada waktu hakim
menjatuhkan putusan tidak atau kurang diperhatikan atau mungkin pertimbangan
dan yang bila (secara memadai sebelumnya ia keathui, akan mendorongnya
menjatuhkan pidana atau tindakan lain atau bahkan untuk tidak menjatuhkan
sanksi sekalipun. Grasi dapat dikabulkan manakala hukuman yang dijatuhkan
dianggap tidak akan mencapai tujuan atau sasaran pemidanaan itu sendiri.
Perihal
prosedur Grasi diatur dalam undang-undang 22 tahun 2002, menurut ketentuan
pasal 2 ayat (2) grasi hanya dapat dimohonkan bagi terpidana yang dijatuhi
pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 tahun. Dalam pasal 2
ayat (3) permohonan grasi hanya dapat diajukaqn 1 (satu) kali, kecuali dalam
hal :
I. Terpidana yang pernah
ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal
penolakan permohonan grasi tersebut;
II. Terpidana yang pernah
diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah
lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
Sementara
pasal 3 permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi
terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.
Permohonan
grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya atau oleh keluarga terpidana, dengan
persetujuan terpidana (pasal 6 (1-2)) kecuali dalam hal terpidana dijatuhi
pidan mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa
persetujuan terpidana (pasal 6 ayat (3)).
Permohonan
grasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7 diajukan secara tertulis
oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya kepada Presiden. Salinan
permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada
Mahkamah Agung. Permohonan grasi dan slinannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala Lembaga
Pemasyarakatan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (3), Kepala Lembaga
Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan
salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat
pertama paling lambat 7 hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan
salinannya.
Dalam
jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) haru terhitung sejak tanggal
penerimaan salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 8,
penagdilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara
terpidana kepada Mahkamah Agung. Dan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tigta)
bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan
tertulis kepada Preisden. Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi
setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Jangka waktu pemberian atau
penolakan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 (tiga) bulan
terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung, keputusan Presiden
dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.
E.2. Amnesti.
Amnesti
dapat didefinisikan sebagai pernyataan umum (yang diterbitkan dalam suatu
aturan perundang-undangan) yang memuat pencabutan senua akibat pemidanaan dari
suatu delik tertentu atau satu kelompok delik tertentu, demi kepentingan semua
terpidana maupun bukan, terdakwa ataupun bukan, mereka yang identitasnya diketahui
ataupun tidak namun bersalah melakukan tindakan tersebut. Oleh karena itu
amnesti mencakup perkara dalam fase ante sentantiam (sebelum dijatuhkanya
putusan) maupun post sentantiam (pasca proses ajudikasi).
Dalam
praktek amnesti diberikan karena alasan politik.
E.3.
Abolisi.
Seperti
halnya grasi dan amnesti, abolisi merupakan hak prerogative presiden yang
ditetapkan dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Abolisi mengandung pengertian
penghapusan yang diberikan kepada perseorangan yang mencakup penghapusan seluruh
akibat penghukuman seluruh akibat penjatuhan putusan, termasuk putusan itu
sendiri. Abolisi dengan demikian berlaku ante
sentiam yang berkaitan dengan dilepaskannya kewenangan melakukan penuntutan
atau pelanjutan dari penuntutan yang sudah dimulai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar