KESALAHAN DAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
1. Pengertian
Kemampuan Bertanggungjawab
(Zurechnungsfahigkeit
– Toerekeningsvatbaarheid)
Telah disebutkan, bahwa
untuk adanya pertanggung-jawab pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu
bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan
apabila ia tidak mampu bertanggung jawab.
Bilamana seseorang itu
dikatakan mampu bertanggung-jawab ? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan
bertanggung jawab itu ? KUHP tidak memberikan rumusannya. Dalam literatur hukum
pidana Belanda dijumpai beberapa definisi untuk “kemampuan bertanggung jawab”.
Simons : “kemampuan
bertanggung jawab dapat diartikan
sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan
sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya”.
Dikatakan selanjutnya, bahwa
seseorang mampu bertanggung jawab, jika
jiwanya sehat, yakni apabila :
- Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum
- Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
Van Hamel : kemampuan bertanggung jawab
adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan) yang
membawa 3 kemampuan :
- Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri
- Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan
- Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatannya-perbuatannya itu
Van Bemmelen : seseorang yang dapat
dipertanggung-jawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan hidupnya dengan
cara yang patut.
Definisi van Bemmelen ini singkat, akan
tetapi juga kurang jelas, sebab masih dapat ditanyakan kapankah seseorang itu
dikatakan “dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut” ?
Adapun Memorie van Toelichting (memori
penjelasan) secara negative menyebutkan mengenai kemampuan bertanggung jawab
itu, antara lain demikian :
Tidak ada kemampuan bertanggung jawab
pada sipelaku :
a.
Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk
memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau
diperintahkan oleh undang-undang.
b.
Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang
sedemikian rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu
bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya.
Definisi-definisi tersebut memang ada
manfaatnya, tetapi untuk setiap kali dalam kejadian yang kongkrit dalam praktek
peradilan menilai jiwa seorang terdakwa dengan ukuran-ukuran tadi tidaklah
mudah. Sebagai dasar untuk mengukur hal tersebut, apabila orang yang normal
jiwanya itu mampu bertanggung jawab, ia mampu untuk menilai dengan pikiran atau
perasaannya bahwa perbuatannya itu dilarang oleh undang-undang dan berbuat
sesuai dengan pikiran atau perasaannya itu.
Dalam persoalan kemampuan bertanggung
jawab itu ditanyakan apakah seseorang itu merupakan “norm-adressat” (sasaran
norma), yang mampu. Seorang terdakwa pada dasarnya dianggap (supposed) mampu
bertanggung jawab, kecuali dinyatakan sebaliknya (lihat pembahasan tentang
dasar-dasar penghapus pidana).
2. Kesalahan
2.1. Pengertian
Kesalahan
Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan membuktikan bahwa orang itu
telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan
hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang
dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal
tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk dapat
dipertanggungjawabkannya orang tersebut masih perlu adanya syarat, bahwa orang
yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective
guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatnnya, perbuatannya harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Dalam hal ini berlaku asas “TIADA
PIDANA TANPA KESALAHAN” atau Keine Strafe ohne Schuld atau Geen straf zonder
Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa (“culpa” disini dalam arti luas, meliputi
juga kesengajaan).
Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia atau dlam peraturan lain,
namun berlakunya asas tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan
dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama
sekali tidak bersalah, Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU No.
4 / 2004) berbunyi : Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali
apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang,
mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah
bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Bahwa unsur kesalahan
itu, sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang, dapat juga dikenal dari
pepatah (Jawa) “sing salah, seleh” (yang
bersalah pasti salah). Untuk adany pemidanaan harus ada kesalahan pada
sipelaku. Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang telah disebutkan di atas
mempunyai sejarahnya sendiri.
Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat pertumbuhan dari hukum pidana yang
menitikberatkan kepada perbuatan orang beserta akibatnya (Tatstrafrecht atau
Erfolgstrafrecht) ke arah hukum pidana yang berpijak pada orang yang melakukan
tindak pidana (taterstrafrecht), tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari
Tatstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang ada dewasa ini dapat disebut
sebagai Sculdstrafrecht, artinya bahwa, penjatuhan pidana disyaratkan adanya
kesalahan pada si pelaku.
Tidak berbeda dengan konsep yang berlaku dalam sistem hukum di Negara
Eropa Kontinental, unsur kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana di
Negara Anglo Saxon tampak dengan adanya maxim (asas) “Actus non facit reum nisi
mens sit rea” atau disingkat dengan asas “mens rea”. Arti aslinya ialah “evil
will” “guilty mind”. Mens rea merupakan subjective guilt melekat pada sipelaku
subjective gilt ini berupa intent (kesengajaan setidak-tidaknya negligence
(kealpaan).
2.2. Dasar Pemikiran
Filosofi
dasar yang mempersoalkan kesalahan sebagai unsur yang menjadi persyaratan untuk
dapat dipertanggungjawabkannya pelaku berpangkal pada pemikiran tentang
hubungan antara perbuatan dengan kebebasan kehendak. Mengenai hubungan antara
kebebasan kehendak dengan ada atau tidak adanya kesalahan ada 3 pendapat dari :
a. Aliran
klasik yang melahirkan pandangan indeterminisme, yang pada dasarnya
berpendapat, bahwa manusia mempunyai kehendak bebas (free will) dan ini
merupakan sebab dan segala keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak
maka tidak ada kesalahan dan apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada
pencelaan, sehingga tidak ada pemidanaan.
b. Aliran
positivist yang melahirkan pandangan determinisme mengatakan, bahwa manusia
tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh
watak (dalam arti naPasalu-naPasalu manusia dalam hubungan kekuatan satu sama
lain) dan motif-motif ialah perangsang-perangsang yang datang dari dalam atau
dari luar yang mengakibatkan watak tersebut. Ini berarti bahwa seseorang, tidak
dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia
tidak punya kehendak bebas. Namun meskipun diakui bahwa tidak punya kehendak
bebas, itu tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
Justru
karena tidak adanya kebebasan kehendak itu maka ada pertanggungan-jawab dari
seseorang atas perbuatannya. Tetapi reaksi terhadap perbuatan yang dilakukan
itu berupa tindakan (maatregel) untuk ketertiban masyarakat, dan bukannya
pidana dalam arti penderitaan sebagai buah hasil kesalahan oleh si pelaku.
c. Dalam
pandangan ketiga melihat bahwa ada dan tidak adanya kebebasan kehendak itu
untuk hukum pidana tidak menjadi soal (irrelevant). Kesalahan seseorang tidak
dihubungkan dengan ada dan tidak adanya kehendak bebas
1.3. Kesalahan Menurut Beberapa Sarjana
Guna
memberi pengertian lebih lanjut tentang kesalahan dalam arti yang
seluas-luasnya, di bawah ini disebutkan pendapat-pendapat dari berbagai
penulis.
a. MEZGER
mengatakan : kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk
adanya pencelaan pribadi terhadap si pelaku tindak pidana (Schuldist der
Erbegriiffder Vcrraussetzungen, die aus der Strafcat einen personlichen Verwurf
gegen den Tater begrunden).
b. SIMONS
mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “sociaal ethisch” dan
mengatakan antara lain :
“Sebagai
dasar untuk pertanggungan jawab dalam hukum pidana ia berupa keadaan psychisch
dari si pelaku dan hubungannya terhadap perbuatannya,” dan dalam arti bahwa
berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) itu perbuatannya dapat dicelakakan kepada
si pelaku”.
c. VAN
HAMEL mengatakan, bahwa “kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian
psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pelaku dan terwujudnya
unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungan jawab
dalam hukum (Schuld is de verant woordelijkheid rechtens)”.
d. VAN
HATTUM berpendapat : “Pengertian kesalahan yang paling luas memuat semua unsur
dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap
perbuatan yang melawan hukum, meliputi semua hal, yang bersifat psychisch yang
terdapat dapat keseluruhan yang berupa strafbaarfeit termasuk si pelakunya (al
het geen psychisch is aan dat complex, dat bestaat uit een strafbaar feit en
deswege een strafbare dader).
e. KARNI
yang mempergunakan istilah “salah dosa” mengatakan : “Pengertian salah dosa
mengandung celaan. Celaan ini menjadi dasarnya tanggungan jawab terhadap hukum
pidana”. Selanjutnya ia katakan : “Salah dosa berada, jika perbuatan dapat dan
patut dipertanggungkan atas si perbuat; harus boleh dicela karena perbuatan
itu; perbuatan itu mengandung perlawanan hak; perbuatan itu harus dilakukan,
baik dengan sengaja, maupun dengan salah”.
f. POMPE
mengatakan antara lain : “Pada pelanggaran norma yang dilakukan karena
kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang
bersifat melawan hukum itu adalah perbuatannya. Segi dalamnya, yang bertalian
dengan kehendak si pelaku adalah kesalahan. Pengertian kesalahan psychologisch.
Dalam arti ini kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan psychologis (batin)
antara pelaku dan perbuatannya. Hubungan batin tersebut bisa berupa kesengajaan
atau kealpaan, pada kesengajaan hubungan batin itu berupa menghendaki perbuatan
(beserta akibatnya) dan pada kealpaan tidak ada kehendak demikian. Jadi di sini
hanya digambarkan (deskriptif) keadaan batin berupa kehendak terhadap perbuatan
atau akibat perbuatan.
Dari
pengertian-pengertian kesalahan dari beberapa sarjana di atas maka pengertian
kesalahan dapat dibagi dalam pengertian sebagai berikut :
- Pengertian kesalahan yang normatif
Pandangan
yang normatif tentang kesalahan ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya
berdasar sikap batin atau hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya,
tetapi di samping itu harus ada unsur penilaian atau unsur normatif terhadap
perbuatannya. Penilaian normatif artinya penilaian (dari luar) mengenai
hubungan antara sipelaku dengan perbuatannya.
“Penilaian
dari luar” ini merupakan pencelaan dengan memakai ukuran-ukuran yang terdapat
dalam masyarakat, ialah apa yang seharusnya diperbuat oleh sipelaku secara
extreem dikatakan bahwa “kesalahan seseorang tidaklah terdapat dalam kepala
sipelaku, melainkan di dalam kepala orang-orang lain”, ialah di dalamkepala
dari mereka yang memberi penilaian terhadap sipelaku itu. Yang memberi
penilaian pada instansi terakhir adalah hakim.
Di
dalam pengertian ini sikap batin si pelaku ialah, yang berupa kesengajaan dan
kealpaan tetap diperhatikan, akan tetapi hanya merupakan unsur dari kesalahan
atau unsur dari pertanggung-jawaban pidana. Di samping itu ada unsur lain ialah
penilaian mengenai keadaan jiwa sipelaku, ialah kemampuan bertanggungjawab dan
tidak adanya alasan penghapus kesalahan.
1.4. Kesalahan dalam Hukum Pidana
Kesalahan ini dapat dilihat dari 2 sudut
:
- menurut akibatnya ia ada hal yang dapat dicelakakan (verwijtbaarheid)
- menurut hakekatnya ia adalah hal dapat dihindarkannya (vermijdbaar-heid) perbuatan yang melawan hukum
Dari pendapat-pendapat tersebut di atas
maka dapatlah dimengerti bahwa kesalahan itu mengandung unsur pencelaan
terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah
melakukan sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakakan
kepadanya, pencelaan disini bukannya pencelaan berdasarkan kesusilaan,
melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku. Bukan “ethische schuld”,
melainkan “veranwoordelijkheid rechtens, seperti dikatakan oleh van Hamel.
Namun demikian, untuk adanya kesalahan hemat kami harus ada pencelaan ethis,
betapapun kecilnya. Ini sejalan dengan pendapat, bahwa “das Recht ist das
ethische Minimum”. Setidak-tidaknya pelaku dapat dicela karena tidak
menghormati tata dalam masyarakat, yang terdiri dari sesama hidupnya, dan yang
memuat segala syarat untuk hidup bersama.
1. Arti “kesalahan” dalam hukum
Pidana
Dalam hukum pidana
kesalahan memiliki 3 pengertian yaitu :
a.
kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya,
yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban dalam hukum pidana”;
di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) sipelaku atas
perbuatannya. Jadi apabila dikatakan, bahwa orang bersalah melakukan sesuatu tindak
pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya.
b.
kesalahan dalam arti bentuk kesalahan
(sculdvorm) yang berupa :
1.
kesengajaan (dolus, opzet, vorzatz atau
intention) atau
2.
kealpaan (culpa, onachtzaamheid,
fahrlassigkeit atau negligence).
c.
kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan
(culpa) seperti yang disebutkan dalam b.2 di atas. Pemakaian istilah
“kesalahan” dalam arti ini sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja istilah
“kealpaan”.
Dengan diterimanya
pengertian kesalahan (dalam arti luas) sebagai dapat dicelanya si pelaku atas
perbuatannya, maka berubahlah pengertian kesalahan yang psychologis menjadi
pengertian kesalahan yang normatif (normativer schuldbegriff).
2. Unsur-unsur dari kesalahan
(dalam arti yang seluas-luasnya)
Kesalahan dalam arti
seluas-luasnya amat berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana dimana meliputi
:
a.
adanya kemampuan bertanggungjawab pada
sipelaku (schuldfahigkeit atau zurechnungsfahigkeit); artinya keadaan jiwa
sipelaku harus normal. Disini dipersoalkan apakah orang tertentu menjadi
“normadressat” yang mampu.
b.
hubungan batin antara sipelaku dengan
perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), ini
disebut bentuk-bentuk kesalahan. Dalam hal ini dipersoalkan sikap batin
seseorang pelaku terhadap perbuatannya.
c.
tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan
atau tidak ada alasan pemaaf meskipun apa yang disebut dalam a dan b ada, ada
kemungkinan bahwa ada keadaan yang mempengaruhi sipelaku sehingga kesalahannya
hapus, misalnya dengan adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa (ps. 49 KUHP)
Kalau ketiga-tiga
unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai
pertanggungan jawab pidana, sehingga bisa dipidana.
Dalam pada itu harus
diingat bahwa untuk adanya kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya
(pertanggungan jawab pidana) orang yang bersangkutan harus pula dibuktikan
terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.
Kalau ini tidak ada,
artinya, kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak ada perlunya untuk
menerapkan kesalahan sipelaku.
Sebaliknya seseorang
yang melakukan perbuatan yang melawan hukum tidak dengan sendirinya mempunyai
kesalahan, artinya tidak dengan sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu.
Itulah sebabnya, maka
kita harus senantiasa menyadari akan dua pasangan dalam syarat-syarat pemidaan
ialah adanya :
1.
dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid
van het feit)
2.
dapat dipidananya orangnya atau pelakunya
(strafbaarheid van de persoon).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar