A. KESALAHAN DALAM DELIK
PELANGGARAN
Persoalan kesalalahan
pada tindak pidana berupa pelanggaran. Pada tidak pidana berupa kejahatan
diperlukan adanya kesengajaan atau kealpaan. Dalam undang-undang unsur-unsur
dinyatakan dengan tegas atau dapat diambil dari kata kerja dalam rumusan tindak
pidana itu. Dalam rumusan tindak pidana berupa pelanggaran pada dasarnya tidak
ada penyebutan tentang kesengajaan atau kealpaan, artinya tidak disebut apakah
perbuatan dilakukan dengan sengaja atau alpa. Hal ini penting untuk hukum acara
pidana, sebab kalau tidak tercantum dalam rumusan Undang-undang, maka tidak
perlu dicantumkan dalam surat tuduhan dan juga tidak perlu dibuktikan.
Dalam hal ini berlakulah ajaran “fait
materiel” (de leer an het matericle feit ajaran perbuatan materiil) dimana
menurut M.v.T. :
Pada pelanggaran
hakim tidak perlu mengadakan pemeriksaan secara khusus tentang adanya
kesengajaan, bahkan adanya kealpaan juga tidak, lagi pula tidak perlu memberi
keputusan tentang hal tersebut. Soalnya apakah terdakwa berbuat/tidak berbuat
sesuatu yang bertentangan dengan Undang-undang atau tidak.
Contoh : arrest H.R tanggal 14 Pebruari
1916 (arrest air dan susu).
Duduk perkara;
A.B., pengusaha (veehouder) menyuruh
melever susu kepada para langganan. Yang mengedarkan susu itu D, pelayan. Pada
suatu ketika susu yang dilever oleh D itu
ternyata tidak murni (dicampur air). D tidak tahu menahu tentang hal
itu. Pasal 303a dan 344 Peraturan Polisi Umum mengancam dengan pidana Barang
siapa melever susu dengan nama susu murni, padahal dicampur dengan sesuatu
(tidak murni). Ini merupakan tindak pidana berupa pelanggaran.
A.B. dituntut dan dalam tingkat banding
dijatuhi pidana.
A.B. mengajukan kasasi, dengan alasan
yang lebih kurang demikian:
a.
Rechtbank Amsterdam salah menerapkan Pasal 47 W.v.S Belanda (Pasal 55 K.U.H.P),
sebab telah memutuskan secara tidak benar bahwa A.B. telah menyuruh lakukan
perbuatan yang dituduhkan, tanpa menyelidiki terlebih dahulu apakah pelaku
materiil (ialah D) tidak bertanggung-jawab atas perbuatan itu.
b.
tidak terjadi persoalan apakah pelaku materiil (D) dianggap tidak berhak untuk
menyelidiki murni dan tidaknya susu yang disuruh melevernya.
c. lebih-lebih
pasal 303a dan 344 tersebut mengancam dengan pidana barang siapa melever susu
yang tidak murni tanpa memandang ada kesalahan atau tidak.
Permohonan kasasi ini ditolak oleh Hooge
Raad, dan terhadap alasan yang dikemukakan oleh A.B. H.R. memberi pertimbangan
antara lain sebagai berikut:
a. Telah
dinyatakan terbukti bahwa penuntut kasasi (A B) telah menyuruh pelayannya (D)
untuk melever susu dengan sebutan “susu murni” padahal dicampur dengan air. Hal
mana tidak diketahui oleh D.
b. memang
dalam pasal 303 tidak disebut dengan tegas bahwa orang yang melakukan perbuatan
itu harus mempunyai kesalahan (“enige schuld”), akan tetapi ini tidak dapat
disimpulkan bahwa orang yang tidak mempunyai kesalahan sama sekali (geheel
gemis van schuld) peraturan ini dapat diterapkan kepada.
c. tidak
ada suatu alasanpun, terutama dalam riwayat W.v.S. yang memaksa untuk
menganggap dalam hal unsur kesalahan tidak dicantumkan dalam rumusan delik,
khususnya dalam pelanggaran, pembentuk Undang-undang menyetujui sistem,
orang yang berbuat harus dipidana yang terdapat
dalam Undang-undang, sekalipun ternyata tidak ada kesalahan sama sekali (asas :
afwezigheid van alle schuld).
d. Untuk
menerima sistim tersebut (dalam c), yang bertentangan dengan rasa keadilan dan
asas ”tiada pidana tanpa kesalahan” yang juga dianut dalam hukum pidana kita,
hal ini harus tegas-tegas ternyata dalam rumusan delik.
Arrest air dan susu penting untuk
perkembangan hukum pidana. Dengan arrest itu, maka:
a. ajaran
“fait materiel” pada pelanggaran ditinggalkan.
b. Diakui
untuk pertama kalinya oleh badan pengadilan yang tertinggi (Belanda) berlaku
asas ”tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld).
B. PIDANA DAN PEMIDANAAN (HUKUM PENITENSIER)
Sebelum membahas materi ini terlebih
dahulu kita memahami apa yang dimaksud dengan pidana dan pemidanaan. Pidana
merupakan nestapa/derita yang dijatuhkan dengan sengaja oleh negara (melalui
pengadilan) dimana nestapa itu dikenakan pada seseorang yang secara sah telah
melanggar hukum pidana dan nestapa itu dijatuhkan melalui proses peradilan
pidana. Adapun Proses Peradilan Pidana (the criminal) justice process)
merupakan struktur, fungsi, dan proses pengambilan keputusan oleh sejumlah
lembaga (kepolisian, kejaksaan,pengadilan & lembaga pemasyarakatan) yang
berkenaan dengan penanganan & pengadilan kejahatan dan pelaku kejahatan.
Pemidanaan merupakan penjatuhan
pidana/sentencing sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum untuk
mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang yang melalui proses peradilan
pidana terbukti secara sah dn meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak
pidana. Jadi pidana berbicara mengenai hukumannya dan pemidanaan berbicara
mengenai proses penjatuhan hukuman itu sendiri.
Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang
yang melakukan pelanggaran pidana karena pidana juga berfungsi sebagai pranata
sosial. Dalam hal ini pidana sebagai bagian dari reaksi sosial manakala terjadi
pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma yang mencerminkan nilai dan struktur masyarakat
yang merupakan reafirmasi simbolis atas pelanggaran terhadap “hati nurani
bersama“ sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu. Bentuknya
berupa konsekwensi yang menderitakan, atau setidaknya tidak menyenangkan.
Ilmu yang mempelajari pidana dan
pemidanaan dinamakan Hukum Penitensier/Hukum Sanksi. Hukum Penitensier adalah
segala peraturan positif mengenai sistem hukuman (strafstelsel) dan sistem
tindakan (matregelstelsel), menurut Utrecht, hukum penitensier ini merupakan
sebagaian dari hukuman pidana positif yaitu bagian yang menentukan:
1. Jenis
sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal ini terhadap KUHP dan sumber-sumber
hukum pidana lainnya (UU pidana yang memuat sanksi pidana dan UU non pidana
yang memuat sanksi pidana);
2. Beratnya
sanksi itu;
3. Lamanya
sanksi itu dijalani;
4. Cara
sanksi itu dijalankan;dan
5. Tempat
sanksi itu dijalankan.
Sanksi berupa pidana maupun tindakan
inilah yang akan dipelajari oleh hukum penitensier.
I S T I L A H
Ada beberapa istilah yang digunakan
untuk materi ini, al: Hukum Penitensier, Hukum Sanksi, Straf, Hukuman, Punishment,
dan Jinayah.
Menurut beberapa ahli hukum pidana lain,
hukuman, menurut pendapat Moeljatno: lebih tepat ”pidana” untuk menerjemahkan
straf. Sudarto juga berpendapat demikian. Sedangkan R. Soesilo mendefinisikan
pidana / hukum sebagai perasaan tidak enak / sengsara yang dijatuhkan oleh
Hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar UU Hukum Pidana.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief,
unsur-unsur atau ciri-ciri pidana meliputi:
1. Suatu
pengenaan penderitaan/nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
2. Diberikan
dengan sengaja oleh badan yang memiliki kekuasaan (berwenang);
3. Dikenakan
pada seseorang penanggung jawab peristiwa pidana menurut UU ( orang memenuhi
rumusan delik/pasal).
SEJARAH PIDANA DAN
PEMIDANAAN DI INDONESIA
Pidana dan pemidanaan di Indonesia
dimulai sejak Wetboek van Strafrecht (Wvs) diundangkan yaitu tahun 1915 dan
berlaku di indonesia berdasarkan UU No. 1/1946 tentang KUHP (berdasarkan atas
konkordansi). Jenis-jenis hukuman yang dapat dijatuhkan oleh Pengadilan berdasarkan
plakat tgl. 22 April 1808, al:
1. Dibakar
hidup, terikat pada suatu tiang (hanya untuk pelaku pembakar/pembunuh)
2. Dimatikan
dengan suatu keris
3. Dicap
bakar.
4. Dipukul,
dipukul dengan rantai (pidana badan/corporal punishment)
5. Ditahan/dimasukkan
dalam penjara
6. Kerja
paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum.
Menurut Utrecht dan R.Soesilo, hukum
pidana merupakan suatu sanksi yang bersifat istimewa: terkadang dikatakan
melanggar HAM karena melakukan perampasan terhadap harta kekayaan (pidana
denda), pembatasan kebebasan bergerak/kemerdekaan orang (pidana
kurungan/penjara) dan perampasan terhadap nyawa (hukuman mati). Di samping itu
hukum pidana merupakan ultimum remedium (senjata pamungkas, jalan
terakhir, jalan satu-satunya/tiada jalan lain).
Selanjutnya kita akan membahas siapakah
pihak yang berhak menuntut, menjatuhkan, dan memaksa pelaku untuk menjalankan
pidana. Beysens seperti dikutip oleh Utrecht menyatakan pada dasarnya negaralah
yang berhak, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan tata tertib negara
(dilihat dari sudut obyektif), dalam hal ini KUHP merupakan peraturan yang
dibentuk oleh negara dan perbuatannya merupakan tindakan yang dapat
dipertanggung jawabkan oleh pelaku (dilihat dari sudut subyektif);
Utrecht juga menambahkan bahwa negaralah
yang berhak melakukan hal tersebut, mengingat;
- Negara sebagai organisasi sosial tertinggi oleh karena itu sangat logis jika negara diberi tugas mempertahankan tata tertib masyarakat;
- Negara sebagai satu-satunya alat yang dapat menjamin kepastian hukum.
Teori-Teori yang berkaitan
dengan Pemidanaan Tujuan Pemidanaan Menurut Doktrin
1.
Teori Absolut/Retributif/Pembalasan (lex talionis), para penganutnya antara
lain E. Kant, Hegel,Leo Polak, Mereka berpandapat bahwa hukum adalah sesuatu
yang harus ada sebagai konsekwensi dilakukannya kejahatan dengan demikian orang
yang salah harus dihukum. Menurut Leo Polak (aliran retributif), hukuman harus
memenuhi 3 syarat:
a.
Perbuatan tersebut dapat dicela (melanggar
etika)
b.
Tidak
bboleh dengan maksud prevensi (melanggar etika)
c.
Beratnya hukuman seimbang dengan beratnya
delik.
2. Teori
relatif / tujuan (utilitarian), menyatakan bahwa penjatuhkan hukuman harus
memiliki tujuan tertentu, bukan hanya sekedar sebagai pembalasan. Hukuman pada
umumnya bersifat menakutkan, sehingga seyogyanya hukuman bersifat
memperbaiki/merehabilitasi karena pelaku kejahatan adalah orang yang “sakit
moral” sehingga harus diobati. Jadi hukumanya lebih ditekankan pada treatment
dan pembinaan yang disebut juga dengan model medis.
Tujuan
lain yang hendak dicapai dapat berupa upaya prevensi, jadi hukuman dijatuhkan
untuk pencegahan yakni ditujukan pada masyarakat luas sebagai contoh pada
masyarakat agar tidak meniru perbuatan atau kejahatan yang telah dilakukan
(prevensi umum) dan ditujukan kepada si pelaku sendiri, supaya jera/kapok,
tidak mengulangi perbuatan/kejahatan serupa; atau kejahatan lain (prevensi
khusus). Tujuan yang lain adalah memberikan perlindungan agar orang
lain/masyarakat pada umumnya terlindung, tidak disakiti, tidak merasa takut dan
tidak mengalami kejahatan.
3.
Teori Gabungan, merupakan gabungan dari
teori-teori sebelumnya. Sehingga pidana
bertujuan untuk:
·
Pembalasan, membuat pelaku menderita
·
Upaya prevensi, mencegah terjadinya tindak
pidana
·
Merehabilitasi Pelaku
·
Melindungi Masyarakat
Saat ini sedang
berkembang apa yang disebut sebagai Restorative Justice sebagai koreksi atas
Retributive justice. Restorative Justice (keadilan yang merestorasi) secara
umum bertujuan untuk membuat pelaku mengembalikan keadaan kepada kondisi
semula; Keadilan yang bukan saja menjatuhkan sanksi yang seimbang bagi pelaku
namun juga memperhatikan keadilan bagi korban. Pemahaman ini telah diakomodir
oleh R-KUHP tahun 2005.
Tujuan Pemidanaan berdasarkan Pasal 54 R-KUHP tahun 2005:
Pasal 54
(1) Pemidanaan
bertujuan:
a. mencegah
dilakukanya tindak pidana dengan
menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna;
c. menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d. membebaskan
rasa bersalah pada terpidana dan;
e. memaafkan
terpidana.
(2) Pemidanaan
tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia .
Dalam pasal 55 R-KUHP
juga terdapat pedoman pemidanaan yang belum diatur dalam UU kita.
Pasal 55;
(1) Dalam
pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a. Kesalahan
pembuat tindak pidana;
b. Motif
dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. Sikap
batin pembuat tindak pidana;
d. Apakah
tindak pidana dilakukan dengan berencana;
e. Cara
melakukan tindak pidana;
f. Sikap
dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. Riwayat
hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana
h. Pengaruh
pidana terhadap massa depan pembuat tindak pidana;
i. Pengaruh
tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j. Pemaafan
dari korban dan/atau keluarganya dan /atau;
k. Pandangan
masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
(2) Rintangan
perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan
atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak
menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi
keadilan dan kemanusiaan.
Dari aturan diatas dapat dicermati bahwa
dalam R-KUHP menganut teori prevensi, rehabilitasi dan restotaif dalam tujuan
pemidanaannya. Teori prevensi umum tercermin dari tujuan pemidanaan mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman kepada
masyarakat. Teori rehabilitasi dan resosialisasi tergambar dari tujuan
pemidanaan untuk memasyarakatkan terpidana, dengan melakukan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna. Dan restoratif terdapat dalam tujuan
pemidanaan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh
tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam damai
dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan memaafkan
terpidana.
Jenis-jenis Hukuman/Pidana
Menurut Pasal 10 KUHP :
a. Hukuman
Pokok:
1. Hukuman
mati
2. Penjara
(sementara waktu atau seumur hidup)
3. Kurungan
4. Denda
(UU No. 1/1960, dikonversi: dikali 15)
5. Tutupan
(UU No.20/1946)
b. Hukuman
Tambahan:
1. Pencabutan
beberapa hak tertentu
2. Perampasan
barang tertentu
3. pengumuman
keputusan hakim
Jenis-jenis Hukuman / Pidana
Menurut R-KUHP:
Pasal 65
(1) Pidana
pokok terdiri atas:
a.
pidana penjara;
b.
pidana tutupan
c.
pidana pengawasan
d.
pidana denda; dan
e.
pidana kerja sosial.
(2) Urutan
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana
Pasal 66
Pidana mati merupakan pidana pokok yang
bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.
Pasal 67
(1) Pidana
tambahan terdiri atas:
a. pencabutan
hak tertentu;
b. perampasan
barang tertentu dan/atau tagihan;
c. pengumuman
putusan hakim;
d. pembayaran
ganti kerugian; dan
e. pemenuhan
kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
(2) Pidana
tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang
berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lain.
(3) Pidana
tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang
berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan
tindak pidana.
(4) Pidana
tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan
untuk pidan pidananya.
Uraian tentang jenis-jenis
hukuman menurut KUHP:
Hukuman/pidana Mati (diatur
dalam pasal 11 jo Pasal 10 KUHP)
Tindak Pidana yang diancam dengan
hukuman mati :
A. Dalam
KUHP :
·
Pembunuhan berencana
·
Kejahatan terhadap keamanan negara
·
Pencurian dengan pemberatan
·
Pemerasan dengan pemberatan
·
Pembajakan di laut dengan pemberatan.
B. Diluar
KUHP;
·
Terorisme
·
Narkoba
·
Korupsi
·
Pelanggaran HAM Berat; Kejahatan terhadap
kemanusiaan dan genosida yang dilakukan secara meluas dan sistematis.
Hukuman mati dijalankan oleh algojo di
tiang gantungan (ps.11 KUHP), tapi berdasarkan Penpres no. 2/1964 : ditembak
dibagian jantung dan/atau kepala dan tidak dilakukan di muka umum (rahasia,
baik waktu dan tempat eksekusinya).
Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada
anak; pidana mati tidak dapat dilakukan pada orang yang setelah dihukum menjadi
gila dan wanita hamil.
Eksekusi baru dapat dilakukan jika orang
gila itu sembuh dan wanita tersebut telah melahirkan.
Hukuman/Pidana Penjara
(Menurut pasal-pasal dalam KUHP dan UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan)
Pasal 12 KUHP:
Hukuman penjara lamanya seumur hidup
atau sementara/pidana penjara dilakukan dalam jangka waktu tertentu (min 1
hari-selama-lamanya 15 tahun atau dapat dijatuhkan selama 20 thn, tapi tidak
boleh lebih dari 20 thn). Pidana penjara dilakukan di penjara (prison/jail), di
indonesia disebut sabagai Lembaga Pemasyarakatan (LP/lapas). Untuk pemulihan
kembali hubungan antara narapidana dan masyarakat, Penghuninya disebut
narapaidana/napi (inmates): Warga Binaan Pemasyarakatan (berdasarkan UU
No.12/1995).
Pembagian Sistem Penjara –
gevangenisstelsel, menurut Utrecht :
·
Sistem Pennsylvania, AS : para hukuman terus
menerus ditutup sendiri-sendiri dalam satu kamar sel. Terhukum hanya melakukan
kontak dengan penjaga sel/sipir penjara. Dilakukan peringatan: terhukum
diperkenankan melakukan pekerjaan tangan dan secara terbatas dapat menerima
tamu, tapi ia tetap dilarang bergaul dengan terhukum lain
·
Sistem Auburn, New York, AS, disebut juga
sebagai silent system, di mana para hukuman pada siang hari disuruh bekerja
bersama-sama tapi tidak boleh saling bicara, malam hari kembali ke sel.
·
Sistem Irlandia (Irish System) yang berasal
dr mark system, menggunakan penilaian. Para hukuman mula-mula ditempatkan dalam
ruang tertutup terus menerus, dalam hal ini diterapkan hukum yang keras.
Terhukum diberikan waktu untuk merenung, menyesali perbuatannya dan diharapkan
ia dapat memperbaiki diri. Kalau dibiarkan bergaul dengan napi lain
dikhawatirkan bisa saja menjadi bertambah jahat. Jika berkelakuan baik, maka
hukumannya diperingan : mulai
dimasyarakatkan dan dapat diberikan the rise of feformatory (pelepasan
bersyarat), publik work prison, dan ticket to leave. Kemudian diperkenankan
kerja sama-sama, lalu secara bertahap diberi kelonggaran untuk bergaul satu
sama lain. Pelepasan bersyarat dapat dilakukan jika telah menjalani dari ¾
hukumannya.
·
Sistem Elmira (NY, AS), diperuntukan bagi
terhukum yang berusia tidak lebih dari 30 thn. Disebut sebagai penjara
reformatory yakni tempat untuk memperbaiki orang menjadi warga masyarakat yang
berguna. Mirip dengan sistem Irlandia namun titik berat lebih pada usaha-usaha
untuk memperbaiki si pelaku, jadi terpidana diberikan pengajaran, pendidikan
dan pekerjaan yang nantinya bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.
·
Sistem Borstal (LONDON, UK). Dalam
penerapannya ada ketentuan khusus dari Menteri Kehakiman (Minister of justice).
Khusus untuk pelaku yang masih muda yaitu mereka yang berusia kurang dari 19
th. Seperti LP Pemuda dan LP Anak laki-laki di Tangerang, Banten.
·
Sistem Osborne (NY,US). Memilih ‘BOS’ –
mandor dr kalangan napi sendiri untuk mengatur napi : Tamping/building tender.
Di
Indonesia diterapkan ke 5 nya :
·
Beberapa hukuman dimasukkan dalam satu sel
atau 1 orang/1 sel. Minimum security/maximum security/Super Maximum Security
(SMS)
·
Napi pada umumnya boleh keluar dari sel pada
pagi dan/atau siang hari, sore masuk sel sampai besok pagi. Ada jadwal
kegiatannya.
·
Jika melakukan pelanggaran berat atau
berkelakuan tidak baik ataupun melanggar aturan maka dimasukkan dalam sel
sendirian, disebut juga dengan tutupan sunyi.
·
Boleh bekerja di luar sel secara bersama-sama
= kerja di kebon/taman, masak di dapur, bersihkan kolam, kerja di bengkel LP
untuk buat kerajinan/furniture, menjahit, menyulam, merangkai bunga dsb. Boleh
belajar/sekolah dlm LP, boleh membaca, dengar radio/nonton TV olah raga dsb.
Antara warga binaan boleh saling berinteraksi sesuai dengan jam yang telah
ditentukan.
·
Dapat diberikan pelepasan bersyarat PB-
reclassering), jika telah menempuh 2/3 dr hukumannya (pasal 15 KUHP). Selain
itu terdapat juga ketentuan tentang pidana percobaan seperti yang diatur dalam
Pasal 14a KUHP.
·
Meskipun hukuman penjara dilakukan
bersama-sama tapi tetap ada pemisahan mutlak :
© Laki-laki
dan perempuan
© Orang
dewasa dan anak di bawah umur
© Orang
yang dihukum/ditahan – orang yang dihukum karena upaya preventif
© Orang
militer dan orang sipil
Pidana kurungan
Dilaksanakan di penjara, tapi lebih
bebas, ada hak pistole yaitu tersedia fasilitas yang lebih dari
terpidana penjara.
Pidana Denda (Pasal
30 ayat (1) KUHP dan UU No. 1/1960)
Dengan adanya pidana denda seringkali
penerapan Hukum Pidana menjadi kabur karena pidana denda dianggap bukan pidana
karena pelaku tadi ada di LP.
Pidana Tutupan (UU
No.20/1946)
Pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dengan
mempertimbangkan bahwa perbuatan yang dilakukan didasari oleh suatu motivasi
yang patut dihormati/dihargai. Tempatnya di penjara, namun diberikan fasilitas
yang lebih baik karena terpidana boleh membawa dan menikmati buku bacaan dan
radio/tape. Untuk hukuman ini terdapat 1 yurisprudensi di Jogja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar